Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jika Suami Tidak Memberi nafkah, Begini Penjelasannya


Topswara.com -- Menanggapi pertanyaan, bagaimana hukum jika suami tidak memberi nafkah, padahal sang suami sehat, tidak cacat dan segar bugar. Kemudian sang Istri tidak memberikan makan dan minum agar sang suami mendapatkan pelajaran, Ahli Fikih Islam K.H. M. Shiddiq al-Jawi menyatakan, jika suami tidak memberi nafkah, padahal ia mampu memberi nafkah, maka suami itu berdosa. 

"Kemampuan itu dapat berupa kemampuan secara hukum (de jure, hukman), yaitu mempunyai pekerjaan, bukan pengangguran, maupun kemampuan secara fakta (de facto, fi’lan), yaitu kondisi fisiknya sehat, tidak cacat, dan tidak sakit," tuturnya kepada Topswara.com, Selasa (24/10/2023).

Dalam kasus di atas, ia menuturkan, suami tersebut memang pengangguran, tetapi sebenarnya mempunyai kemampuan secara fakta (de facto, fi’lan), yaitu tubuhnya sehat dan tidak dalam kondisi cacat atau sakit. Dengan demikian, ia tetap berdosa karena tidak menjalankan kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya yang menjadi tanggungannya. Dalilnya adalah hadis berikut ini:

عَنْ ‏عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو‏ ‏قَالَ ‏ ‏قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‏ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ra. dia berkata, ”Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika dia menahan makan (nafkah berupa makan, pakaian, dan sebagainya) bagi orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim, no. 1662).

"Dalam redaksi hadis menurut Imam Abu Dawud,

عَنْ‏ ‏عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ‏ ‏قَالَ ‏ ‏قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ‏ ‏كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ ‏

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ra., dia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ‘Cukuplah seseorang dikatakan berdosa, jika dia mengabaikan (tidak memberi nafkah) kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya.’” (HR Abu Dawud, no. 1692)," nukilnya.

Namun demikian, ia katakan, jika istri dari suami tersebut rela dan melepaskan hak nafkahnya, maka suami itu tidak berdosa. Memberi nafkah itu meskipun kewajiban bagi suami, tetapi bagi istri, nafkah itu adalah suatu hak. Padahal yang namanya hak, boleh saja istri menuntut hak tersebut, tetapi boleh pula istri melepaskan hak nafkahnya. Melepaskan suatu hak ini dalam fikih Islam disebut dengan istilah at-tanāzul ‘an al-haqq (melepaskan hak), dan hukumnya boleh (mubah) dalam syariat Islam.

Kemudian ia mengutip beberapa dalil-dalil syarak yang menunjukkan bolehmya seseorang melepaskan haknya (at-tanāzul ‘an al-haqq), misalnya: 

Firman Allah SWT.,

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (membebaskan utang), itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 280).

Firman Allah SWT.,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ

“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran.” (QS An-Nisa’: 92).

"Ayat-ayat di atas telah menunjukkan bolehnya seseorang melepaskan suatu hak (at-tanāzul ‘an al-haqq, melepaskan hak), yakni sebenarnya orang itu berhak atas sesuatu dari orang lain, tetapi dia dengan sukarela melepaskan haknya, yaitu dia tidak mengambil hak tersebut," terangnya.

Dengan demikian, menurutnya, tidak apa-apa dan boleh hukumnya bagi istri untuk melepaskan hak nafkahnya dari suaminya, asalkan hal itu dilakukan istri secara sukarela. Namun, jika istri tidak rida dan tidak bisa menerima kondisi yang ada, langkah yang dibolehkan syariat adalah menuntut cerai (talak) dari suami kepada pengadilan syariah. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Sunah, dan ijmak sahabat.

Dalil Al-Qur`an, firman Allah SWT.,

اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ ۗ

“Talak yang dapat dirujuk itu ada dua kali talak. Maka pertahankan [istri kamu] dengan makruf (dengan memberinya nafkah), atau ceraikan dengan cara yang baik.” (QS Al-Baqarah [2] : 229).

Dalil Sunah, sabda Rasulullah SAW.,

اِمْرَأُتُكَ مِمَّنْ تَعُوْلُ تَقُوْلُ أَطْعِمْنِيْ وَإِلاَّ فَارِقْنِيْ

”Istrimu termasuk orang yang wajib kamu tanggung, ia berkata, ‘Berilah aku makan, jika tidak, ceraikanlah aku.’”(HR Ahmad dan Daraquthni).

Dalil ijmak sahabat, diriwayatkan Umar mengirim surat kepada para komandan pasukan perang mengenai para laki-laki yang meninggalkan istri-istrinya (untuk berperang), ”Pilihannya; hendaklah mereka memberi nafkah (kepada istri-istri mereka), atau menceraikan, dan mengirimkan nafkah yang selama ini mereka tahan.”(Imam Syaukânî, Nailul Authâr, 6/384).

Ia menyebutkan bahwa Imam Taqiyuddîn an-Nabhânî mengomentari riwayat itu, “Hal tersebut telah diketahui oleh para sahabat dan mereka tidak mengingkarinya, maka terjadilah ijmak sahabat (mengenai dua pilihan bagi para suami tersebut, yaitu memberi nafkah atau menceraikan istri).” (Taqiyuddîn an-Nabhânî, Al-Nizhâm Al-Ijtimâ’i fi Al-Islâm, hlm. 171).

Lebih lanjut ia menuturkan, adapun rencana istri untuk istri tidak memberikan makan dan minum untuk suaminya, dengan maksud agar suaminya mendapatkan pelajaran, menurut kami tidak sepatutnya dilaksanakan. Hal ini karena pelajaran yang dimaksud istri, belum tentu bisa dipahami atau ditangkap oleh suaminya. Bahkan ini bisa menimbulkan kesalahpahaman yang memperparah keadaan.

"Sebaiknya, istri memberi pelajaran dengan kata-kata, bukan dengan perbuatan (tidak memberi makan suami). Dengan kata-kata, atau ucapan, yakni maksudnya nasihat dan penjelasan hukum syariat Islam mengenai kewajiban suami agar bekerja untuk memberi nafkah, pelajaran yang dimaksudkan oleh istri akan lebih dapat ditangkap dan dipahami oleh suaminya. Wallahualam bissawab," tutupnya. [] Lanhy Hafa
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar