Topswara.com -- Pelayanan haji tahun ini di anggap carut marut. Ratusan ribu jemaah haji Indonesia di laporkan sempat terlantar di Muzdalifah tanpa pasokan logistik karena keterlambatan bus penjemputan. Masalah lain juga muncul di Arafah dan Mina, seperti tenda yang kurang dan ketersediaan air bersih dan sanitasi.
Polemik layanan haji yang kurang optimal ini, langsung di respon oleh Pemerintah Indonesia. Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas sudah melaporkan kacaunya pelayanan yang di berikan Mushariq. Yakni perusahaan swasta yang teken kontrak dengan Indonesia untuk menyediakan pelayanan logistik, transportasi, dan akomodasi untuk jemaah haji atau di sebut Syarikah Arab Saudi.
Nah, skema kontrak negara peserta haji dengan Syarikah Arab Saudi ini adalah pertama kalinya dilakukan dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji. Selama berabad-abad, sebelumnya peran pembimbing dan Munawir dalam pelaksanaan haji menjadi tanggung jawab para Syekh Arab yang kemudian menjadi mu'assasah pada 1984. Peran pelayanan pada tamu-tamu Tuhan saat ibadah haji yang di usung mu'assasah di anggap tergerus, oleh logika bisnis syarikah yang berorientasi profit.
Sungguh miris ketika kebutuhan kaum muslimin akan fasilitas menjalankan ibadah tidak terurus dengan baik bahkan cenderung dijadikan ajang bisnis, seperti yang di katakan Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mengatakan masalah terlantarnya jemaah haji di Musdalifah hingga pelayanan lainnya akibat dari aturan pemerintah Arab Saudi itu sendiri. Penyelenggaraan haji yang semula ditangani government to government, menjadi business to business, (MetrotvNews.com, 30/06/2023)
Berubahnya sistem penyelenggara pelayanan haji menghilangkan dimensi spirit pelayanan yang dulu di perankan mu'assasah.
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tamunya. (HR. Bukhari Muslim).
Nampaknya hadis ini mungkin sudah terlepas dari benak kaum para penanggung jawab dan penyelenggara haji. Yakni pihak-pihak yang diberi amanah oleh Allah untuk menyambut tamu-Nya. Terbukti, tahun ini terjadi banyak polemik yang meliputi :
Kurangnya penyediaan tenda di Mina, hingga tidak sedikit Jemaah haji terpaksa tidur di dekat toilet karena terlalu sesak
Keterlambatan pasokan makanan dan minuman. Sebagian jemaah dapat jatah makan siang di jam 3 sore dan sebagian lainnya mendapat jatah makan malam di jam 9 malam. Bahkan jemaah mengeluhkan menu makanan yang di sediakan pihak catering tidak layak makan.
Padahal menjalankan ibadah haji sangatlah berat, belum lagi jemaah harus beradaptasi dengan kondisi cuaca di Arab yang panasnya mencapai 48°C, Jadi bisa terbayangkan bagaimana strugglenya, apalagi mayoritas jemaah haji Indonesia adalah lanjut usia (lansia).
Kemudian, beberapa fasilitas bagi jemaah lansia yang disarankan seperti kursi roda dan golf car tidak berfungsi optimal.
Sudah jamak diketahui, jika swasta yang bermain, maka tentu saja tujuan utama pelaksanaannya adalah demi meraih keuntungan materi sedangkan kemudahan pelayanan, keamanan dan kenyamanan jemaah dikesampingkan. Motif bisnis sangatlah merugikan.
Negara melalaikan amanahnya untuk memberi fasilitas kemudahan dan melindungi para jemaah haji. Para jemaah haji pun, kekhusyukannya terusik sehingga esensi ibadah haji untuk perubahan gagal terwujud. Harapan mempertebal keimanan dan ketakwaan, mempererat jalinan ukhuwah islamiah, ajang muhasabah massal tidak akan terwujud secara optimal.
Layanan jemaah haji ini butuh perbaikan total, bukan hanya sebatas individu dan organisasi penyelenggara haji, tetapi juga kesungguhan dari penguasa Muslim untuk menjaga betul pelaksanaan syariat Islam tiap warga negaranya.
Negara patut melakukan upaya maksimal untuk menunjang kemudahan penyelenggaraan haji. Yakni dengan sistem kenegaraan yang membuat setiap orang menyadari akan tanggung jawab kepemimpinannya. Dari kepala negara, struktur dibawahnya, juga para pegawai yang mendapat amanah dan tanggung jawab untuk melayani para tamu Allah.
Amanah Allah kepada pemimpin kaum muslimin nanti di akhirat akan dipertanggung jawabkan. Semakin tebal keimanan seorang pemimpin maka akan semakin baik tanggung jawabnya terhadap amanah yang dipikulnya.
Dalam pelaksanaan ibadah haji, para pemimpin kaum muslimin patut memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan kepada jemaah agar jemaah dapat khusyuk beribadah. Pemimpin yang beriman, tidak akan menjual amanahnya kepada swasta karena tujuan hidup dan kepemimpinannya hanyalah demi meraih ridha Allah dan ridha kaum muslimin.
Setiap jiwa yang terluka nanti akan ditanya, bahkan jika ada jemaah yang meninggal karena lapar dan haus maka akan panjang pertanggung jawabannya. Karena bagi Allah, nyawa seorang Muslim lebih berharga dari dunia dan seisinya.
Oleh karenanya, tidak ada sistem yang kompeten untuk mengurusi penyelenggaraan haji selain sistem negara warisan Rasulullah Muhammad SAW. Sistem kekhilafahan yang menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai dasar kepemimpinan untuk melaksanakan Syariat Allah secara kaffah.
Dahulu, Khalifah Harun Al Rasyid memberi kemudahan para jamaah haji dengan membangun jalan dari Irak ke Hijaz, juga menyediakan logistik bagi jamaah yang kehabisan perbekalan yang dananya diambil dari Baitul mall (dana zakat).
Begitu juga dengan Khalifah Abdul Hamid II yang membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah bagi jamaah haji. Begitulah catatan sejarah menunjukkan betapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan para khalifah kepada jemaah haji dari berbagai negara. Para jemaah dilayani dengan sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah. Begitulah pemimpin sebenarnya mencintai rakyatnya dan rakyat pun mencintainya.
Pelayanan khalifah dilakukan tanpa ada unsur bisnis, investasi atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.
Penguasa benar-benar berkhidmat melayani tamu-tamu Allah sesuai dengan syariah Islam. Sangat berbeda kalau dibanding dengan keseriusan penguasa sekarang bukan?
Wallahu a'lam bi ash-Shawaab.
Oleh: Rines Reso
Pemerhati Masalah Sosial
0 Komentar