Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Setop Alarm Kekerasan Seksual!


Topswara.com -- Lagi dan lagi, terjadi kekerasan seksual pada anak. Bahkan pantas disebut sebagai kejahatan seksual. Karena sadisnya perbuatan ini. Seorang remaja putri berusia lima belas tahun di Kabupaten Moutong Parigi Sulawesi Tengah menjadi korban kekerasan seksual oleh sebelas orang pria. 

Korban hingga mengalami kerusakan pada organ reproduksinya. Pendamping korban mengungkapkan ada dugaan kejadian ini mengarah kepada prostitusi anak.

Kasus berat lainnya terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Korban anak berusia delapan tahun diperkosa oleh delapan orang di berbagai tempat. 

Menurut Data Simfoni PPA, terjadi 9.588 kekerasan seksual terhadap anak sepanjang tahun 2022. Sebaran tempat dan pelaku yang beragam. Baik terjadi di dalam rumah tangga hingga ke satuan pendidikan. Baik dilakukan oleh orang terdekat, orang baru dikenal atau tidak dikenal oleh korban, teman, pacar dan lainnya.

Tidakkah ini menjadi momok bagi kita semua? Begitu mengerikannya jika peristiwa semacam ini terus terjadi.

Timbulnya Kejahatan Seksual

Kejahatan bisa timbul dari dorongan dalam diri pelaku, stimulan luar dan kesempatan melakukan kejahatan tersebut. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina sementara ia dalam keadaan beriman." (HR. Abu Dawud, No. 4691, Ibnu Majah, No. 3936, dan at-Tirmidzi, 2625).

Rasulullah SAW ini mengingatkan bahwa faktor iman amatlah penting pada diri seseorang. Iman yang lemah membuat seseorang mudah berbuat jahat atau maksiat. Karena dalam pandangan Islam, tindak kemaksiatan adalah suatu kejahatan. Perbuatan zina dan perkosaan merupakan tindak maksiat.

Tayangan pornografi dan pornoaksi serta berbagai tontonan yang menggerus iman sekaligus menjadi stimulan bagi munculnya dorongan syahwat seksual pada diri seseorang begitu berseliweran dalam berbagai media dan sangat mudah diakses. 

Masyarakat terdidik dengan pola pikir materialistis dan pemenuhan nafsu semata. Iman dan akal sehat tergilas oleh pembiaran terhadap pemicu kejahatan. Bukankah sudah ada undang-undang? Nyatanya undang-undang maupun peraturan yang ada tidak dalam posisi mencegah dan menutup pintu kejahatan. 

Demikian pula kesempatan turut serta menjadi faktor timbulnya kejahatan seksual ini. Pergaulan yang tidak berdasar kepada Islam yakni atas nama kebebasan berupa khalwat (berduaan laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom) dan ikhtilath (interaksi bersama laki-laki dan perempuan tanpa kepentingan yang dibolehkan syariat) terbuka lebar di negeri ini.

Sanksi Saja Tidak Cukup

Sanksi saja tidak cukup untuk menghentikan alarm tindak kejahatan seksual. Ada beberapa langkah yang mesti dilakukan. 

Pertama, penanaman iman dan ketakwaan pada seluruh anggota masyarakat secara kontinyu dan simultan. Tidak cukup hanya disisipkan dalam kurikulum pendidikan dan tidak cukup hanya diberikan pada satuan pendidikan formal. 

Dalam sistem pendidikan Islam, penanaman iman dan takwa dibentuk sejak di pendidikan dasar. Iman dan takwa akan membuat seseorang menahan diri berbuat dosa baik saat sendiri atau di tengah keramaian karena ia sadar ada Allah yang selalu mengawasi. 

Setiap perbuatannya kelak akan dihisab dan siksa neraka yang amat pedih siap menanti. Selain itu, atmosfer ketaatan dan malu atau takut berbuat jahat dan maksiat mesti diciptakan oleh negara. 

Kedua, menutup pintu-pintu pemicu kejahatan seksual. Memberantas tayangan pornografi dan pornoaksi, melarang total peredaran miras/narkoba, mewajibkan para perempuan menutup aurat sehingga pandangan laki-laki dapat lebih terjaga dan aturan preventif lainnya.

Ketiga, menerapkan sanksi pidana Islam. Perkosaan (ightisabh) bukanlah hanya soal zina, melainkan sampai melakukan pemaksaan atau ikrah yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya, hakim dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”

Hukuman takzir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam. Takzir di antaranya berupa dera dan pengasingan. Jika pelakunya sudah menikah ia dirajam sampai mati. Jika belum menikah, maka dicambuk 100 kali dengan pemberatan berupa takzir, dengan memperhatikan modus kejahatan seksual yang dilakukan.

Demikianlah untuk menghentikan kejahatan seksual tidak bisa tetap bertahan dengan paradigma sekularisme materialisme. Paradigma ini membawa solusi yang bersifat pragmatis bukan antisipatif, tidak menyentuh kepada akar permasalahan. 

Sebab sekularisme materialisme menciptakan gaya hidup bebas dan materialistis. Khalwat dan ikhtilath tidak mungkin dilarang dalam sistem seperti ini. Menutup aurat juga tidak bisa diwajibkan karena melanggar kebebasan seseorang. Miras/minol sebatas diatur karena terbentur dengan kepentingan bisnis para kapitalis, padahal miras/minol tidak jarang membawa pengkonsumsinya melakukan kejahatan.

Syariat Islam bukanlah aturan yang eksklusif hanya menguntungkan dan menyelamatkan umat Islam saja. Sebab Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh manusia.


Oleh: Munajah Ulya
(Pemerhati Sosial dan Isu Keperempuanan)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar