Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Thrifting, antara Hedonisme dan Industrialisme


Topswara.com -- Pasar pakaian bekas impor sebetulnya sudah ramai sejak lama. Namun, kini tengah mencuat kabar tentang kontroversi penjualan pakaian bekas impor, atau thrifting. 

Kementrian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan penjualan baju bekas impor mengganggu utilisasi industri. Sehingga pemerintah melarang penjualan baju bekas impor. Apalagi, sebentar lagi menjelang hari lebaran. Otomatis, thrifting juga mengganggu penjualan baju lebaran di dalam negeri (republika.com, 17/3/2023).

Presiden Joko Widodo geram karena thrifting yang begitu marak. Menurutnya, thrifting mengganggu industri tekstil dalam negeri (republika.co.id, 19/3/2023). Presiden pun menginstruksikan pada jajarannya untuk mengusut akar masalah ramainya thrifting di Indonesia. Kapolri Sigit Listyanto menegaskan akan menindak tegas segala bentuk penyelundupan, termasuk thrifting.

Thrifting, Hedonisme dan Kemiskinan Akut

Thrifting sebetulnya sudah sangat lama menjamur di Indonesia. Kebutuhan dan keinginan masyarakat akan barang-barang bermerk berkualitas menjadi tuntutan. Sehingga memaksa masyarakat agar kebutuhan tersebut terpenuhi. 

Demi gaya hidup (lifestyle) yang dianggap keren dan modern. Namun, kondisi perekonomian tak mendukung. Dari celah tersebut, menjadi peluang bagi para pebisnis thrifting. Menawarkan segala jenis barang branded dengan harga murah. 

Barang-barang thrifting, yang notabene sebagai barang bekas pakai, menjanjikan gaya baru yang dibutuhkan masyarakat. Wajar saja, pasar thrifting merebut hati masyarakat Indonesia.

Pergeseran gaya hidup masyarakat pun memiliki andil besar. Masyarakat menetapkan keputusan sesuai dengan yang diinginkan. Hedonisme, ujung dari pergeseran sikap masyarakat. 

Gaya hidup Barat yang dianggap sebagai tanda modernitas, menjadi segala sesuatu yang harus dipenuhi. Fakta ini pun sebagai akibat dari rusaknya pemahaman masyarakat. Hilangnya pemahaman yang penting tentang kehidupan. Hingga tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Hawa nafsu dijadikan pijakan menentukan keputusan. Tak peduli, mampu atau tidak. Karena standar yang digunakan adalah penilaian orang lain. Dan kini semakin diperparah dengan budaya "flexing" di media sosial, yang semakin meracuni pemikiran masyarakat.

Semua fakta ini pun membuktikan betapa masyarakat membutuhkan pakaian layak, namun di sisi lain, masyarakat tak mampu menjangkau. Sehingga dapat dikatakan, maraknya thrifting sebagai bukti bahwa kemiskinan negeri ini kian akut dan memprihatinkan.

Thrifting, Akibat Industrialisasi Kapitalistik

Bisnis thrifting menjadi bisnis yang menjanjikan peluang besar. Karena permintaan yang luar biasa. Mayoritas masyarakat ingin tampil keren dan berbeda. 

Wajar saja, saat thrifting dijadikan solusi bagi sebagian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pakaian layak dan pantas. Karena harga yang ditawarkan, sangat terjangkau. Tidak ayal, bisnis thrifting pun menjadi pesaing tangguh industri fashion. 

Bahkan Hippindo (Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia) mengungkapkan bisnis pakaian bekas impor mematikan toko yang menjual merek global (tempo.co, 19/3/2023).

Fakta yang dipertanyakan, mengapa baru sekarang thrifting dipermasalahkan? Padahal sudah merebak sejak lama. Apalagi seruan ini digemborkan saat industri tekstil dalam negeri, collapse. 

Fakta thrifting ini pun dihubungkan dapat mengganggu stabilitas UMKM dalam negeri. Padahal faktanya, UMKM hanya memperpanjang rantai produksi saja. 

Segala pernyataan yang diungkapkan para pemimpin negeri ini menggambarkan keberpihakan pada importir-importir tekstil yang hanya segelintir saja. Atau importir pakaian branded yang dengan jelas membayar mahalnya bea cukai. Sementara, yang menjadi persoalan adalah barang-barang impor ilegal, yang tak memasukkan cukai impor.

Kondisi ini pun memberikan gambaran bahwa pemerintah tak memberikan solusi sistemik pada masalah thrifting. Yang sebetulnya bersumber dari tingginya angka kemiskinan negeri ini. Justru kebijakan-kebijakan yang ditetapkan adalah kebijakan yang hanya berpihak pada para pemilik modal, alias para kapitalis. 

Jelaslah, segala usaha ini hanya sekedar pencitraan dan pembelaan penguasa terhadap pengusaha. Sehingga semua kepentingan rakyat pun otomatis terpinggirkan. Buruknya pengelolaan ala sistem kapitalisme. Menggadaikan kesejahteraan rakyat. Alhasil, kemiskinan menjadi masalah yang tak pernah bisa dituntaskan.

Islam Menjaga Kesejahteraan dan Kecerdasan Umat

Paradigma Islam menyajikan solusi sempurna atas semua masalah kehidupan. Termasuk masalah kemiskinan akut yang tengah dialami negeri ini. Setiap kebijakan yang ditetapkan sistem Islam, ditujukan demi pencapaian kesejahteraan rakyatnya. Tanpa ada diskriminasi apapun. Dan tidak memandang strata sosial. Sejahtera merata.

Kepemimpinan Islam mengedepankan program edukasi umat demi tercapainya keimanan yang bulat. Edukasi yang mengintegrasikan syariat Islam dalam melaksanakan setiap langkah kehidupan. 

Sehingga umat senantiasa memiliki kesadaran agar senantiasa memprioritaskan setiap langkahnya menuju ridho Allah SWT. Pondasi inilah yang menghindarkan jiwa-jiwa umat dari sikap konsumtif dan hedonis. 

Dapat gamblang membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Hawa nafsu pun dapat dikendalikan dengan baik atas dasar iman dan takwa. Dalam kitab Sistem Ekonomi Islam, Nidzamul Al Iqtishodiyyu fil Islam, Syekh Taqiyuddin An Nabhani, mengungkapkan bahwa boleh-boleh saja menikmati kemewahan (rafahiyyah), namun tak boleh kaum muslimin memuja-muja kemewahan (materialistis) yang akhirnya dapat melalaikan. Setiap kaum muslimin selayaknya memiliki gaya hidup sederhana yang khas (tiroziin khassin).

Di sisi lain, negara menerapkan setiap kebijakan yang bermuara pada penjagaan umat seutuhnya. Menyediakan setiap kebutuhan umat yang terjangkau dan layak. Sekaligus menyediakan penghidupan yang mencukupi bagi seluruh rakyat. Termasuk kebutuhan sandang, pangan dan papan yang terbaik. 

Pengelolaan sumberdaya alam yang amanah dapat melahirkan berkah bagi kehidupan suatu tatanan negara. Ini pun menjadi point terpenting dalam mengelola kebutuhan umat.

Segala konsep ini hanya dapat terwujud dalam wadah ideologi yang benar dan khas, yaitu ideologi Islam. Satu-satunya ideologi yang mensejahterakan umat. Ideologi yang terstruktur dalam bingkai Khilafah minahj An Nubuwwah. Mengentaskan segala bentuk kemiskinan dari dalam tubuh umat, baik miskin materi maupun miskin edukasi.

Wallahu a'lam bisshawwab.


Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar