Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak, Kesejahteraan untuk Siapa?


Topswara.com -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan para menteri dan pimpinan lembaga negara untuk mendisiplinkan bawahannya yang suka pamer harta dan kemewahan. Hal ini dilakukan untuk menanggapi peristiwa yang terjadi di lingkup Pejabat Pajak dan Bea Cukai Kementerian Keuangan di media sosial. Sebab, persitiwa tersebut membuat masyarakat kecewa terhadap pemerintah. (Investor.id, 03/03/23).

Hati nurani siapa yang tidak terusik, saat mendapati seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak ternyata memiliki kekayaan fantastis di luar kewajaran yaitu mencapai Rp 56 miliar. Dan ternyata, hal serupa juga dilakukan oleh para pucuk pimpinan di lingkungan Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak. 

Mirisnya, hal ini terbongkar dari aksi pamer kemewahan yang tentu bukan merupakan hal yang  pantas dilakukan. Pasalnya, apa yang mereka nikmati adalah hasil dari upah yang mereka dapatkan dari menarik pajak rakyat, saat rakyat berjibaku dengan kesulitan hidup, mereka menikmati hidup mewah dalam kesehariannya. 

Negara yang berlandaskan ideologi kapitalisme menjadikan pajak sebagai urat nadi perekonomian. Dengan pajak yang menggurita di berbagai lini, tapi rakyat  sangat jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan. Yang ada justru angka kemiskinan kian bertambah, sehingga benar jika dikatakan, bahwa dalam sistem ini  "yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat."

Hal ini nampak dari jumlah warga miskin per September 2022 yang meningkat menjadi 26,36 juta penduduk, dibandingkan 3 tahun sebelumnya, September 2019, yakni 24,75 juta penduduk. Lalu ada 167,8 juta warga atau 60,7 persen dari populasi rakyat Indonesia, yang penghasilannya di bawah Rp1,1 juta/bulan. Inilah realita hidup dalam naungan kapitalis, alih-alih terwujud kesejahteraan, justru kesengsaraan yang didapat.

Berbeda dengan negara yang menerapkan aturan Islam. Sebagai ideologi sempurna, sistem ini telah mewajibkan negara untuk melindungi harta rakyat dan menjamin kehidupan mereka. Kewajiban inj adalah amanah, yang harus dilaksanakan, layaknya gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh penggembalanya. 

Nabi SAW. bersabda "Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw. ketika menjabat sebagai kepala Negara Islam di Madinah, juga Khulafaur-Rasyidin di masa kepemimpinannya, selain menerapkan hukum-hukum Allah SWT. mereka juga diperintahkan untuk menjaga hak-hak kaum muslim beserta seluruh rakyat serta menjamin kebutuhan hidup mereka. Sebaliknya, agama ini mengancam para penguasa yang menelantarkan kebutuhan rakyat, apalagi menghalangi hak-hak mereka.

Syariat Islam juga menetapkan bahwa pajak tidak boleh dijadikan sebagai sumber penghasilan untuk negara, apalagi dijadikan urat nadi perekonomian. Sistem ini telah menetapkan sumber-sumber pendapatan negara. Di antaranya dari harta kepemilikan umum (seperti pertambangan), zakat dan sedekah, ghanîmah, kharaj, harta yang tak ada ahli warisnya dan sebagainya.

Al-‘Allamah Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh menyatakan bahwa sumber-sumber pendapatan yang telah ditentukan syariah Islam bisa mencukupi APBN. Karena itu negara tidak membutuhkan lagi pungutan pajak, baik secara langsung atau tidak langsung. (An-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm,  hlm. 242).

Namun Islam membolehkan negara mengambil pungutan/pajak dari kaum muslim yang kaya untuk menunaikan berbagai kepentingan yang menjadi hajat umat ketika Baitul Mal atau Kas negara mengalami kekurangan (defisit). Misalnya, untuk membiayai penanganan bencana alam; untuk fakir miskin; untuk kemaslahatan umat yang mendesak seperti pembangunan rumah sakit, jalan, jembatan, sekolah-sekolah; untuk keperluan jihad fi sabilillah, gaji pegawai negara, tentara, dan sebagainya.

Pungutan ini bersifat sementara dan hanya diambil dari kelebihan harta kaum muslim yang kaya. Bukan diambil dari seluruh rakyat, baik secara langsung ataupun tidak langsung, seperti pajak pertambahan nilai (PPN). 

Nabi SAW. bersabda:
"Sedekah terbaik adalah yang berasal dari orang kaya" (HR al-Bukhari).

Terlihat perbedaan yang jelas pajak dalam Islam dengan pajak dalam sistem kapitalisme. Islam menciptakan sistem ekonomi yang memudahkan urusan rakyat. Tidak membebani apalagi mencekik leher mereka. Bahkan pungutan jizyah yang diwajibkan atas ahludz-dzimmah (warga negara non-muslim) juga diberi dispensasi manakala mereka mengalami kesusahan hidup. 
 
Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. menghapus kewajiban jizyah atas seorang lelaki tua yang miskin, beliau bahkan memerintahkan Baitul Mal untuk memberikan bantuan keuangan kepada orang tersebut.

Demikianlah, Islam meniscayakan sosok penguasa yang benar-benar mengurusi umat. Dengan dorongan takwa, mereka akan bekerja keras untuk melindungi dan menjamin kehidupan rakyat. Tanggung jawab yang dipikul sangat lah besar di hadapan Allah SWT. Oleh karenanya harus dijalankan semaksimal mungkin. 

Alhasil, tidak ada alasan untuk tidak menerapkan syariah Islam. Karena hal itu merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh seluruh kaum muslim sekaligus juga merupakan hak Allah SWT. yang wajib ditunaikan. Penerapan syariah Islam akan memberikan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Masihkah, kita mau menunda-nundanya? 
Wallahu A'lam bi Ash-Sawwab.


Oleh: Sipa Putri Aningsih
Aktivis Dakwah dan Sahabat Topswara 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar