Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengakhiri Nasib Buruk Pekerja Migran


Topswara.com -- Kisah pilu pekerja migran Indonesia kembali terdengar. Adalah Merrience, asal NTT, seorang mantan PMI yang menceritakan derita penyiksaan selama bekerja sebagai pembantu di Malaysia (BBC News Indonesia, 01/03/2023). 

Merrience tidak sendiri. Sebelumnya banyak kasus penyiksaan yang terungkap dan diajukan ke pengadilan. Bahkan lebih menyedihkan, ada PMI meregang nyawa di tangan majikannya. Kasus penyiksaan hingga kematian PMI terus berulang. 

Ditahun 2017 tercatat 217 kematian PMI, termasuk kematian Adelina Sau yang menimbulkan reaksi publik. Ini menunjukkan bahwa kondisi PMI sangat rentan eksploitasi dan sasaran kekerasan. 

Namun kondisi rentan tersebut tidak menyurutkan warga Indonesia untuk mengadu nasib di luar negeri. Diperkirakan, ada 3 juta lebih PMI yang menyebar di negara-negara seperti Malaysia, Hongkong dan Arab Saudi. 

Realita PMI beriringan dengan kondisi negara yang dibelit berbagai krisis terutama ekonomi. Kemiskinan, pengangguran dan rendahnya kualitas SDM menjadi mata rantai yang sulit diputus. 

Bagi individu dan keluarga, jalan keluar yang menjanjikan adalah menjadi pekerja migran. Mereka rela ataupun terpaksa meninggalkan tanah air dan keluarga demi pekerjaan dan uang. Meski mayoritas menjadi pekerja kasar seperti buruh atau pekerja domestik seperti ART. Posisi tawar yang rendah membuat mereka sangat berisiko mengalami eksploitasi dan kekerasan. Kendati demikian, di sisi pemerintah, PMI dianggap pahlawan devisa.

PMI dan tragedinya semestinya tidak terjadi. Indonesia sebagai negara berkembang seharusnya membutuhkan tenaga kerja yang berlimpah seiring upaya perbaikan kualitas hidup rakyat. 

Selain produksi barang, jasa-jasa dibutuhkan. Lapangan kerja akan tumbuh pada sektor ekonomi primer seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan dan manufaktur. 

Rakyat juga akan mengejar jasa-jasa pendidikan, kesehatan, teknik pertukangan dan penelitian. Lapangan kerja mestinya tercipta luas. Namun kenyataannya lapangan pekerjaan dan usaha begitu sempit. 

Tatanan seolah menjebak rakyat hidup dalam lingkaran kemiskinan dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi dan investasi asing nyatanya tidak membuka lapangan kerja bagi anak negeri. Justru tenaga kerja asing yang berdatangan. 

Sistem ekonomi kapitalisme membuat sumber ekonomi dikuasai para kapitalis atau pemilik modal. Fungsi pemerintah dalam sistem ini terbatas sebagai regulator, perumus aturan atau regulasi. 

Pada akhirnya, aturan yang dibuat memberi karpet merah pada korporasi dan melayani kepentingan mereka. Sumber-sumber ekonomi dikuasai dan memperkaya pemilik modal tersebut. Mereka memonopoli akses terhadap kegiatan ekonomi baik hulu dan hilir dengan kekuatan modal. 

Korporasi besar bahkan sudah mengambil alih lapangan usaha yang semestinya dimiliki rakyat. Contoh penguasaan tanahtanah dan lahan yang membuat mereka menguasai bidang pangan dan usaha pertanian dan perkebunan, serta bisnis retail atau eceran. 

Karenanya lapangan pekerjaan yang tersedia sebatas yang dibuka dan dibutuhkan korporasi, bukan yang dibutuhkan rakyat. Wajar jika lapangan usaha rakyat justru menyempit. 

Sisi lain yang memperparah adalah pemasukan negara yang kecil karena bertumpu pada pajak. Pemasukan ini tidaklah sebanding jika pemerintah benar-benar mengelola sendiri. Seharusnya berlaku managemen berbasis negara terhadap kekayaan milik umum seperti hutan, tambang mineral, logam atau energi. Hasil pengelolaan pemerintah akan menjadi pemasukan negara untuk melayani rakyat. 

Keuangan negara yang minim dalam sistem kapitalisme membuat negara tidak optimal melayani kebutuhan publik. Negara kewalahan menyediakan tenaga guru dan tenaga kesehatan dan menggaji secara layak. Padahal pengangkatan guru atau tenaga kesehatan akan menjadi solusi dan mengurangi pengangguran intelektual. 

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, ada stimulus kuat bagi pembukaan lapangan usaha dan pekerjaan untuk rakyat khususnya para laki-laki. Dalam Islam, bekerja adalah salah satu sebab memiliki. 

Pekerjaan dalam Islam tidak hanya ijaroh atau kontrak kerja untuk jasa. Makna bekerja mencakup menghidupkan tanah mati, berburu, mudarobah dan lainnya. Sistem ekonomi Islam memberikan dorongan bekerja karena ada hukum pertanahan yang memudahkan kepemilikan tanah. Usaha-usaha rakyat baik individu atau kelompok akan tumbuh di tiap daerah. 

Selain itu, pengelolaan kekayaan milik umum oleh negara akan memberi pemasukan besar bagi negara. Pemerintah bisa mengucurkan modal usaha dengan utang non ribawi kepada pencari modal usaha. 

Negara juga akan sangat memperhatikan pengelolaan urusan rakyat dan kesejahteraan. Tenaga kerja yang dibutuhkan akan direkrut negara seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, teknik dan penelitian. Pemerintah tidak akan berhemat dalam merekrut baik ASN atau tenaga kontrak. 

Syariat Islam tidak melarang seseorang menjadi pekerja migran. Namun kebolehan tersebut harus memperhatikan ketentuan hukum Islam lainnya. Misalnya tentang wanita yang bekerja. Dan negara harus memberikan perlindungan pada rakyatnya walaupun berada di negara lain. Kewibawaan negara secara politik sangat menentukan relasi terhadap negara atau bangsa lain. 

Sistem Islam memberikan kebaikan dan solusi bagi para pencari kerja, khususnya mereka yang wajib bekerja. Dengan sistem Islam akan terbuka kesempatan untuk memperoleh rezeki yang halal dan mulia. 

Wallahu alam bisshawab.


Oleh: Harmiyani Moidady
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar