Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konten Demi Eksistensi, Contoh Cara Berpikir yang Rusak


Topswara.com -- Media sosial adalah bagian dari Revolusi Industri keempat di abad ke-21 yang menggubah wajah dunia dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi. Komunikasi dahulu serba privat, seperti surat-menyurat termasuk surat elektronik (email) atau percakapan telepon. 

Namun sekarang cara berhubungan bisa berlangsung secara publik dan mempermudah cara mengetahui berbagai informasi dan mendapatkan iming-iming hadiah apabila membuat konten yang menarik. 

Sayangnya, banyak pribadi yang kebablasan dalam mengejar konten IG dan YouTube. Segala cara seolah dihalalkan demi mencapai iming-iming hadiah penghargaan follower terbanyak dan juga agar mendapat kesan hebat. 

Berbagai cara pun ditempuh, salah satunya adalah dengan membuat konten yang sampai merenggut nyawa seperti yang terjadi seorang perempuan di Leuwiliang, Kabupaten Bogor ditemukan tewas dengan kondisi leher menggantung di sebuah tali. 

Korban berinisial W (21 tahun) tersebut tewas saat membuat konten candaan gantung diri di hadapan teman-temannya via video call. "Dari kata keterangan dari saksi, dia (korban W) itu lagi bikin konten gantung diri dengan melilitkan kain di leher gitu," kata Kapolsek Leuwiliang Kompol Agus Supriyanto, Jumat (3/3) dikutip dari Detik. 

Tidak cukup sampai di situ beberapa bulan yang lalu kejadian yang serupa juga terjadi, tantangan malaikat maut atau berani mati alias BM itu, satu orang atau lebih dari sekelompok remaja harus menghadang truk. Jika selamat atau berhasil menghentikan laju truk, mereka dianggap berhasil menjalankan tantangan. Salah satu dari kelompok harus merekam dan mengunggah aksi tersebut di media sosial.

Kasus remaja yang dijelaskan di awal adalah salah satu dampak krisis identitas. Sebagian orang rela bertindak konyol, bodoh, bahkan tolol demi mendapatkan subscribers, followers, dan likes di media sosial. Ketenaran di media sosial seperti menjadi makanan bagi penciptaan identitas diri, apalagi bagi remaja. 

Menurut WHO, masa remaja berada pada rentang usia 10-19 tahun. Selain itu, remaja juga cenderung memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Masa transisi antara anak-anak dan dewasa ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan pemerintah.

Media sosial memang seperti pedang bermata dua. Yang mulanya ditujukan untuk menyampaikan informasi, menjadi ajang flexing (pamer) dan pembuktian identitas. 

Demi konten, manusia jadi lupa akibat. Demi eksistensi dan memenuhi candu, manusia rela melupakan jangkar kebudayaannya. Andai saja, hingar bingar media sosial yang menggiurkan ini diimbangi dengan pengetahuan literasi yang baik dan bijak. Pastilah konten-konten yang kita konsumsi adalah konten yang membangun semua.

Ini semua tidak lepas dari penerapan sistem yang merusak, baik merusak akal, budaya, dan merusak jiwa. Sehingga apabila taraf berpikir dalam memandang kehidupan berasaskan materi otomatis akan menghasilkan produk krisis identitas. 

Mereka menganggap ukuran kebahagiaan adalah mendapatkan nilai materi yang mereka inginkan. Baik itu berupa pujian pingin popularitas dan iming-iming hadiah, kalau sudah begitu muncullah pribadi yang nekat dan konyol. Hal demikian tidak bisa lepas dari sistem yang berlaku di tengah masyarakat. Jika yang terus menjadi orientasi adalah uang, materi, eksistensi diri, tanpa menjadikan agama sebagai landasan, beginilah yang terjadi seperti sekarang.

Oleh karenanya sistem yang merusak sekarang ini harus di ganti dengan sistem yang berasal dari sang pencipta dan sang pembuat hukum. Sejarah mencatat bagaimana Islam telah berhasil menjadikan para generasi muda yang unggul baik di dunia maupun di akhirat. 

Sebagai contoh Pada zaman Rasulullah SAW seorang pemuda yang bernama  Usamah bin Zaid yang masih berumur 17 tahun jadi panglima. Usamah pulang ke Madinah tanpa kehilangan satu tentara pun. 

Padahal, sebelum sampai ke Syam, Rasulullah wafat, dan berita itu didengar oleh Heraklius, dan Heraklius menyangka pasukan Islam hilang semangatnya. Tetapi nyatanya Usamah yang masih seumuran kita, mampu memimpinnya dan memenangkan peperangan itu tanpa ada pasukan yang terbunuh.

Ada juga Sayyidina Ali Ra. Saat itu, beliau berumur 17 tahun, dan seumuran itu, beliau ikut berperang dalam perang Ahzab, yang sebelumnya juga ikut dalam perang Badar dan Uhud. 

Peperangan itu melawan tiga bani yang bersatu untuk menyerang Madinah. Yaitu Bani Quraisy, Ghathafan dan Bani Quraizhah Yahudi. Untuk melawan kekuatan itu, Rasulullah membentuk parit yang besar, Sami bin Abdullah al-Maghlouth mencatat dalam Jejak Khalifaur Rasyidin, kedalamannya 4,5 M, lebarnya 6,5 M, setelah itu dikasih pembatas setinggi 1,8 M. 

Meski sebesar itu, salah satu tentara yang bernama Amru bin Wadd, seorang musyrikin Arab yang paling pemberani bahkan dijuluki Baidhatul Balad (telur bangsa) mempu malalui parit itu dengan menunggangi kuda.

Tetapi Sayyidina Ali yang masih berumur 17 tahun itu langsung menghadang langkah kudanya, terjadilah pertempuran sengit antar kedua orang yang jago berkuda tersebut hingga debu berterbangan menutupi pertempuran meraka. Tetapi berkat pertolongan Allah, Sayyidina Ali mampu mengalahkannya, dan saat itulah Rasulullah bertakbir diikuti para sahabat.

Pria umur 17 tahun kali ini hidup di Turki, namanya Muhammad, dalam bahasa Turki dipanggil Mehmed. Seumuran itu, beliau sudah diangkat menjadi Khalifah Islam oleh ayahnya. Dan di usianya yang ke-21 tahun, beliau bisa menaklukkan Kostantinopel, namanya Mehmed al-Fatih. Sungguh pencapaian yang luar biasa! Coba bandingin zaman now, bisa apa mereka?

Wallahu a'lam bishawwab 


Oleh: Wakini 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar