Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Budaya Flexing, Budaya Hedon?


Topswara.com -- Sebelum ada media sosial, budaya flexing sebenarnya sudah ada. Hanya saja fenomena flexing itu tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari manusia. Hanya saja ketika ada media sosial, fenomena flexing makin terfasilitasi. Membahas flexing sebenarnya artinya adalah pamer apa yang dimiliki. Apa pun yang ia miliki ingin ia pamerkan dan tunjukkan kepada banyak orang untuk mendapatkan pengakuan dan validasi warganet.

Dikutip dari laman gramedia.com, menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah tindakan untuk menunjukkan sesuatu yang kalian miliki atau rain, akan tetapi dengan cara yang dianggap orang lain tak menyenangkan. Lalu, menurut kamus Merriam Webster, flexing adalah tindakan memamerkan sesuatu yang dimiliki secara pribadi dengan cara lebih mencolok. Istilah flexing sendiri pertama kali digunakan pada tahun 1899 oleh Thorstein Veblen di bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions.

Sekalipun muncul istilah tahun 1899, tetapi flexing itu ada sejak manusia diciptakan dan diturunkan ke bumi. Manusia memiliki tiga potensi, akal, ghariza, dan hajatul udhuwiyah. Flexing adalah perwujudan dari ghariza baqa (naluri mempertahankan diri), naluri ini apabila dituruti memang haus akan eksistensi dan validasi dari manusia. Tentunya eksistensi dan validasi yang memenuhi kepuasan naluri baqa-nya. 

Mendudukkan Flexing

Sejatinya, buat apa sih flexing? Lalu apa untungnya? Mengapa mereka melakukan flexing? Untuk apa? Apabila mengamati fenomena flexing yang banyak dilakukan orang di media sosial hari ini ada beberapa catatan penting. Pertama, suka caper (cari perhatian) atau inscure. Terkadang memamerkan kekayaan atau keunggulan yang dimiliki karena memang caper. Mereka menganggap perhatian manusia adalah sumber kebahagiaannya. Sehingga, jadi salah ekspektasi ketika bermain media sosial. Ketika banyak yang memperhatikannya, memujinya, mengaguminya atas apa yang ia miliki itu bisa memberikan kepuasan padanya.

Padahal di dalam Islam ketika kita beraktivitas apa pun tidak boleh mengharapkan keridhaan dan pujian manusia. Segala aktivitas yang kita lakukan, semata-mata hanya untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT. Karena jika aktivitasnya pergi ke pengajian, tetapi karena sambil memakai barang-barang branded, di-upload di medsos demi mencari keridhaan manusia ini masuk kategori riya'. Maka penting senantiasa membarui niat kita dalam melakukan segala aktivitas dan ketika meng-upload apa saja ke media sosial. 

Kedua, ujub hingga sombong. Ujub adalah membanggakan dirinya sendiri. Ujub dekat dengan sombong, karena sifat orang sombong adalah suka merendahkan orang lain. Khawatirnya budaya flexing ini adalah budaya orang-orang yang sombong yang menginginkan kehebatannya, pencapaiannya diakui manusia, dan merasa dirinya lebih tinggi dari strata sosial yang ada media sosial. Padahal tidak boleh merendahkan orang lain dalam Islam. Bagaimana pun keadaannya, tidak patut memamerkan kekayaannya di kala banyak manusia yang masih hidup kesusahan. 

Hal itu banyak ditemui pada pejabat, artis, maupun influencer hari ini. Bahkan, mereka sebagai publik figur tidak segan-segan memamerkan gaya hidup hedonis, serba mewah, dan selalu wah di media sosial. Seolah-olah tidak memiliki empati terhadap orang lain yang masih hidup kesusahan. Terlebih apabila mereka itu seorang pejabat, pejabat atau penguasa sejatinya adalah pelayan umat, tetapi malah sibuk flexing pamer kekayaan yang dimiliki di tengah kondisi rakyatnya yang masih kesusahan.

Ketiga, ciri-ciri orang munafik. Flexing bisa mengarah ke ciri-ciri orang munafik, karena budaya itu mengantarkan kepada sifat sombong dan riya'. Melakukan sebuah amalan tidak karena Allah Subhanahu wata'ala melainkan untuk mencari keridhaan manusia, sejatinya mereka sedang menipu Allah Subhanahu wata'ala dan dirinya sendiri. 

"Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan pada kalian adalah syirik kecil." Mereka bertanya, "Apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Riya"." Allah 'Azza Wajalla pada hari Kiamat ketika memberi balasan amal para hamba berfirman, "Pergilah kalian kepada mereka yang kalian riya' di hadapan mereka ketika kalian berada di dunia lalu perhatikan apakah kalian mendapatkan pada mereka balasan?" (HR Ahmad).

Keempat, cinta dunia dan takut mati. Mengapa seseorang bisa memamerkan kekayaannya kecuali karena mencintai kekayaan yang mereka miliki? Saking cintanya hingga dipamerkan. Ini berbahaya, karena pasangan dari cinta dunia adalah takut mati. Padahal semua orang tidak ada yang bisa hidup kekal, semua akan mati, dan harta mereka yang melimpah tidak bisa dibawa mati kecuali harta yang mereka infakkan di jalan Allah SWT. Ini memang penyakit yang diderita umat akhir zaman dan penyakit ini hanya bisa sembuh dengan mengingat mempersiapkan kematian. 

Kelima, memelihara iri, dengki, dan hasad. Terkadang mereka yang flexing itu hanya ingin pengakuan atas kehebatan dan kekayaan yang mereka miliki. Seolah-olah mereka yang flexing berlomba-lomba untuk memamerkan kekayaannya karena tidak mau kalah dengan rekannya. Padahal ini tidak begitu seharusnya. Boleh berlomba asalkan dalam berbuat kebaikan. 

Flexing terbentuk karena gaya hidup hedonis, sekuler, dan liberal. Hedonisme adalah paham yang menuruti hawa nafsu dengan mengejar kesenangan dan kenikmatan dunia. Itu pun didukung dengan pola pikir liberal dan sekuler, yaitu memisahkan Islam dengan kehidupan dan serba bebas dalam melakukan apa pun. Ketika flexing bisa memuaskan dirinya, ia akan terus-menerus flexing tanpa mengindahkan bagaimana tanggapan warganet nantinya.

Parahnya, flexing hari ini dilakukan demi meraup sensasi. Tidak malu memamerkan harta yang mereka peroleh dari korupsi, menipu, bahkan menjual dirinya. Inilah bahaya flexing, sebagai umat Islam tidak patut mengikuti hal ini dan hari terus melakukan syiar Islam demi untuk kemenangan dakwah Islam.[] Ika Mawarningtyas 

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar