Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Indeks Korupsi Buruk, Adakah Solusi dalam Demokrasi?


Topswara.com -- Korupsi merupakan PR bagi hampir seluruh negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Berbagai cara dan strategi sudah diterapkan dalam rangka memberantas korupsi, namun alih-alih berhasil justru kabar mengejutkan datang dari Transparency International Indonesia (TII) bahwa peringkat indeks persepsi Indonesia mengalami penurunan dari 38 menjadi 34, dari yang awalnya menduduki peringkat 96 menjadi peringkat 110 diantara 180 negara.

Dalam merespon indeks persepsi korupsi Indonesia yang mengalami penurunan, Mahfud MD mengatakan bahwa ia telah mengajak legislatif untuk bekerja sama namun belum mendapat persetujuan. Pemerintah dalam hal ini mengajukan RUU Perampasan Aset, sebagai langkah awal untuk terlebih dahulu mengamankan harta negara dari koruptor sebelum keputusan final pengadilan (CNNIndonesia.com, 4/2/2023).

Menko Polhukam Mahfud MD juga menjelaskan bahwa selain RUU Perampasan Aset yang belum disetujui oleh DPR, terdapat satu RUU lagi yang sedang diajukan pemerintah namun masih tidak mendapat respon, yakni RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai. Mahfud merincikan salah satu poin yang terdapat dalam RUU ini adalah transaksi tunai dibatasi paling banyak 100 juta (Merdeka.com, 4/2/2023).

Upaya Pemberantasan Korupsi

Jika kembali melihat ke belakang ditemukan bahwa korupsi telah eksis bahkan sejak pertama kali pemerintahan Indonesia berdiri, dari zaman orde lama hingga detik ini korupsi tetap berkembang layaknya benalu yang terus menempel pada inangnya. 

Berbagai macam cara, strategi dan kebijakan dibuat dan digaungkan oleh pemerintah dengan misi untuk memberantas tuntas korupsi, namun pada kenyataanya program-program yang pernah ada itu kini hanyalah tinggal kenangan.

Pada masa Orde lama terdapat dua lembaga yang disahkan langsung oleh Presiden Soekarno, yaitu Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara (BAPEKAN) dan Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN). 

Kedua lembaga tersebut
dibentuk untuk menangani kasus korupsi pada masa itu, namun akhirnya kedua lembaga ini saling bertindihan hingga diputuskan untuk dibubarkan. Pada pemerintahan orde baru berbagai macam UU dibuat dan disahkan dengan tujuan menghapus korupsi, sayangnya banyak peraturan yang berjalan tidak efektif.

Pun pada era reformasi terdapat gerakan nasional penyelamatan Indonesia dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai bentuk kesungguhan dalam pemberantasan korupsi. Pada masa itu terdapat Lembaga Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) namun tidak terlihat hasil yang memuaskan. 

Di masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid dibentuk sebuah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat TGPTPK, yang berakhir menyedihkan karena harus dibubarkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan peraturan Nomor 19 tahun 2000.

Saat ini kita mengenal Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) masih dengan visi yang sama dengan berbagai lembaga sebelumnya yakni membersihkan Indonesia dari korupsi. Selain itu berusaha mencoba memperbaharui kebijakan dan strategi tapi tetap saja korupsi semakin merajalela, ditambah dengan fakta terbaru mengatakan bahwa indeks persepsi Indonesia menurun, tentu hal ini semakin membuat masyarakat bertanya- tanya, ada apa sebenarnya? Mengapa seperti ini?

Kapitalisme Lahirkan Korupsi

Kapitalisme dan korupsi tidak dapat dipisahkan, bagaikan sepasang sepatu yang terus berjalan bersama. Demokrasi yang ditunggangi oleh kapitalisme dapat dipastikan tidak akan pernah bersih dari korupsi. 

Bagaimana tidak, pesta demokrasi pemilihan wakil rakyat hanyalah topeng dibalik politik uang. Untuk menjadi penguasa para kandidat memerlukan uang dalam jumlah banyak.

Politik itu membutuhkan biaya yang besar sekali, sehingga dukungan para pengusaha berkantong tebal sangat diperlukan. Kemudian yang terjadi setelah berhasil memenangkan pemilihan, penguasa dan pengusaha bekerja sama dengan mesra untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan. Rasanya mustahil jika kekayaan dalam jumlah besar direlakan begitu saja. Tidak hanya balik modal namun bagi mereka keuntungan juga harus didapatkan.

Simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha dapat berjalan manis ketika rezim kekuasaan berada di genggaman, berbagai kebijakan dibuat untuk memenuhi kepentingan para elit politik. 

Begitu pula dengan hukuman yang diterima oleh koruptor, sama sekali tidak memberikan efek jera, karena para hakim pengadilan pun dapat diperdaya. Jika sistem kapitalisme seperti ini yang terus berlangsung tak heran korupsi semakin mengibarkan bendera kemerdekaan.

Islam Solusi Tuntaskan Korupsi

Di dalam Islam kehidupan bernegara diatur sedetail dan sebaik mungkin, termasuk solusi pencegahan dan penindakan terhadap kasus korupsi. Menurut hukum syariah korupsi dapat disamakan dengan perbuatan berkhianat karena tidak amanah terhadap jabatan yang telah diberikan kepadanya.

Dalam Al-Qur'an surah Al-Anfal: 27 yang berbunyi:

ÙŠٰٓاَÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُÙˆْا Ù„َا تَØ®ُÙˆْÙ†ُوا اللّٰÙ‡َ ÙˆَالرَّسُÙˆْÙ„َ ÙˆَتَØ®ُÙˆْÙ†ُÙˆْٓا اَÙ…ٰÙ†ٰتِÙƒُÙ…ْ ÙˆَاَÙ†ْتُÙ…ْ تَعْÙ„َÙ…ُÙˆْÙ†َ

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.

Para koruptor melakukan pengkhianatan terhadap harta rakyat, seperti menggelapkan uang yang dititipkan kepadanya, melakukan penyuapan dan Tindakan merugikan lainnya, padahal harta tersebut seharusnya dapat digunakan sebagaimana mestinya untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Sanksi yang cocok bagi para koruptor adalah ta’zir, yaitu sanksi yang kadar hukumannya ditentukan oleh hakim tergantung kepada ringan dan berat tindakan kejahatan yang dilakukan. 

Ada berbagai macam hukuman ta’zir, dapat berupa penjara, denda, penyiaran tindak pidana pelaku kepada publik, hukuman cambuk hingga yang paling berat yaitu hukuman mati.

Tidak hanya memberikan hukuman terhadap pelaku namun Islam sebagai agama yang sempurna juga memiliki aturan komprehensif sebagai langkah pencegahan sehingga dapat menuntaskan kasus korupsi, seperti: 

Pertama, dari sisi individu Islam memberikan kewajiban menuntut ilmu yang akan meningkatkan taraf berpikir manusia, sehingga dengan demikian ia memahami apa yang harus diperbuatnya atas segala sesuatu dan standar perbuatannya berdasarkan syariat Islam.

Kedua, dari peran masyarakat sangat penting untuk penjagaan individu-individu yang berada di sekitarnya. Jika melakukan perbuatan menyimpan yang melanggar syariat Islam maka masyarakat segera memberikan teguran, sebagai bentuk penjagaan. Selain itu masyarakat juga berperan menegur pemerintah seperti Khalifah sebagai pemimpin beserta jajaran jika melakukan perbuatan khianat seperti korupsi.

Ketiga, dari peran negara yakni diharuskan untuk melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap aparat negara sehingga tidak ada yang keluar jalan dalam mengemban Amanah. Selain itu negara juga harus memberikan fasilitas dan gaji yang ideal kepada para pegawainya, dengan begitu kehidupan mereka akan tercukupi dan mereka tidak akan berkhianat. 

Nabi SAW bersabda "Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).

Terakhir yang tidak kalah penting Islam melarang tegas aparat negara menerima suap maupun hadiah. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda,

"Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud), dan dalam hadis lain disebutkan,  “Hadiah yang diberikan  kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).
Wallahu'alam bishawab.


Oleh: Naufatti Aufa
Mahasiswi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar