Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Demi Konten, Generasi Meresahkan


Topswara.com -- Demi konten, seorang influencer membawa balitanya yang berusia lima bulan naik jetski tanpa pengaman yang memadai. Akhirnya, tak hanya tajam dikritik publik, melainkan juga dapat teguran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kontennya itu dianggap sebagai bentuk eksploitasi anak sebab mengabaikan keselamatan anak demi konten (cnnindonesia.com, 13 Jan 2023). 

Kemudian, demi konten, seorang remaja di Bogor berusaha mencegat truk hingga akhirnya tewas terlindas truk itu sendiri (antaranews.com, 12 Januari 2023). 
Selang beberapa hari, demi konten, seorang pemuda lainnya dari kota Bogor mengulang aksi yang sama dan berakhir tewas tertabrak (liputan6.com, 15 Januari 2023). 

Aksi menantang maut dan membahayakan demi konten semacam ini bukan baru-baru saja terjadi. Tidak berlebihan bila dikatakan demi konten segala hal bisa dilakoni.

Demi Konten, Demi Cuan

Menurut Rahmat Petuguran, seorang peneliti Laboratorium Jurnalistik Tiro Adhi Soerjo, dalam “Demi Konten: Bagaimana YouTube Bisa Menjadi Kanal Penuh Sensasi?” yang disiarkan di www.remotivi.com (8/10/2020), skema monetisasi yang ditawarkan YouTube menyebabkan motif utama para youtuber telah berubah. Bukan karena ingin memberi manfaat pada penontonnya, tetapi memanfaatkan penonton untuk dikonversi menjadi uang.

Skema monetisasi tersebut mendorong para pemilik akun untuk berkerja bak robot yang tidak henti-henti berproduksi. Sekali berhenti menggunggah konten, akan berpengaruh sekali terhadap jumlah penonton. Bisa mendistorsi jumlah subscriber, yang berarti tentu saja mengurangi penghasilan. 

Karenanya, mereka harus menenteng kamera ke mana saja, memproduksi konten apa saja. Kalau perlu, sampai mengekspos ruang privat atau konten ‘unik’ dan menantang tetapi tidak berpikir panjang soal keselamatan. 

Dari aspek selera pemirsa, konten-konten prank, eksplorasi ruang-ruang privat, termasuk konten-konten yang dibuat dengan mempertaruhkan nyawa, memang lebih digemari daripada konten bertema edukasi atau berbagi pengetahuan (alif.id, 25 Agustus 2022).

Mengapa skema monetisasi tersebut berhasil menjerat banyak influencer di dalamnya? Mengapa selera penonton  terhadap konten-konten minim faedah dan tak bermutu justru besar?

Generasi ‘Demi Konten’ Menjamur di Alam Sekuler

Manusia pada dasarnya mencari kebahagiaan. Sayangnya, kehidupan sekuler yang jauh dari agama mengajarkan bahwa kebahagiaan itu didapat dari materi sebanyak-banyaknya. 

Tujuan hidup yang materialistis inilah yang membuat para kreator konten tergiur dengan iming-iming cuan. Demi menjaga akumulasi jumlah penonton kontennya, segala konten dibuat asal viral. 

Alam sekuler menolak memakai aturan agama secara lengkap dalam kehidupan. Akibatnya, koneksi hamba dengan Tuhannya pun muncul saat ibadah ritual saja. Adapun saat membuat konten, keterikatan dengan aturan dari Tuhannya seolah putus dan hilang. 

Akhirnya, konten yang dibuat pun hanya dipertimbangkan dari aspek viral atau tidak, mendatangkan cuan atau tidak. Namun, tak dipikirkan aspek edukatif atau tidak, atau aspek berat atau ringan penghisabannya di akhirat kelak.

Begitu pula dengan penonton. Akibat pola pikir yang sekuler, banyak yang mencari konten sekehendak nafsunya, asal menghibur, asal seru. Penonton tidak menjadikan agamanya sebagai tuntunan dalam mempertimbangkan konten yang layak dikonsumsinya. Wajarlah, siklus penawaran dan permintaan konten-konten minim edukasi tak putus-putus. 

Ditambah lagi, kontrol negara pun terhadap peredaran konten di atas tak tegas. Sebab asasnya yang sekuler, negara menjunjung tinggi hak asasi ala Barat yang memberikan kebebasan berperilaku dan berpendapat. Berulangnya kontroversi yang ditimbulkan para konten kreator menunjukkan kelegahan negara dalam melindungi umat dari konten-konten nirfaedah. 

Bertolak belakang dengan kehidupan sekuler, Islam mengajarkan bahwa meski dunia memberikan kebahagiaan, masih ada kebahagiaan hakiki yang lebih pantas dikejar. 

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran: 14)

Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?". Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. (QS. Ali Imran: 15)

Maka, seorang Muslim yang meyakini dan memahami makna kebahagiaan sejati ini akan berjuang, berkorban, dan berlomba-lomba dalam ketakwaan. Seorang muslim akan menghadirkan ruh(kesadaran akan hubungan makhluk dengan Penciptanya (dalam segala aktivitasnya. 

Kesadaran (ruh) ini dihadirkan dengan memastikan setiap perbuatannya selaras dengan perintah-Nya dan tidak melanggar larangan-Nya. Kesadaran (ruh) ini pula yang menjadi ‘rem’, baik bagi para kreator konten maupun penonton konten.

Para pembuat konten akan memastikan konten yang diproduksinya bermanfaat dan menjadi amal jariyah bagi dirinya. Mereka tak ingin asal viral, melainkan sadar beratnya pertanggungjawaban atas ‘bekas-bekas’ pengaruh yang kontennya tinggalkan. Mereka takut kontennya memberi contoh yang buruk dan menjadi dosa jariyahnya. Mereka ingin agar kontennya berkontribusi mengeksiskan opini Islam.

“…dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (QS. Yasin: 12)

Karena adanya kesadaran sebagai hamba Allah (ruh), masyarakat pun akan memiliki selera konten yang berbeda. Mereka sadar bahwa setiap yang dibaca, disimak, dan ditonton tak bakal luput dari hisab. Maka, mereka akan menikmati konten yang Allah ridai saja, yakni konten yang menguatkan keimanan mereka atau konten yang bermanfaat saja. 

Dengan demikian, siklus penawaran dan permintaan konten nirfaedah dan berbahaya pun akan putus di tengah kehidupan Islam. Tak ada lagi kebutuhan memproduksi konten-konten prank, eksplorasi ruang-ruang privat, atau konten menantang maut karena sepi bahkan tak ada lagi penontonnya.  

Tentu saja, ‘rem’ individu semacam ini tidak bisa muncul dengan sendirinya, melainkan hasil sinergi pendidikan keluarga yang fungsional, kontrol masyarakat yang, dan penerapan hukum Islam oleh negara. 

Keluarga Muslim yang antisekuler akan menanamkan akidah Islam sejak dini sehingga anak-anak tumbuh berpola pikir dan berpola sikap Islam, mengenal identitas diri dan tujuan hidupnya sebagai abdullah, dan mampu memfilter baik-buruk, benar-salah, bahaya-aman. 

Masyarakat yang cinta dakwah akan aktif saling mengingatkan dalam kebaikan. Mereka bukanlah individualis yang membiarkan kemungkaran, termasuk beredar viralnya konten-konten yang nirfaedah atau merusak. Kepedulian ini semata karena ruhnya, yakni kesadaran sebagai hamba Allah yang wajib berdakwah lillah. 

Terakhir dan yang terpenting, ada negara yang berperan sebagai pengurus dan pelindung umat, yakni khilafah islamiah. Negara ini akan terapkan sistem pendidikan Islam yang kurikulumnya berbasis akidah Islam sehingga melahirkan pribadi umat yang berkepribadian Islam. 

Negara pun menerapkan sistem ekonomi Islam yang benar-benar menjamin kesejahteraan orang per orang hingga tidak ada yang terdorong bermaksiat demi menyambung hidupnya. 

Adapun penerapan sistem hukum dan sanksi Islam oleh khilafah akan menindak tegas segala aktivitas yang melanggar syariat, termasuk yang membahayakan nyawa diri dan orang lain. Negara pun sigap menggunakan kewenangannya untuk memblokir konten-konten yang melanggar syariat, bahkan menghukum pelanggarnya. 

Sistem Islam menutup celah menjamurnya generasi ‘demi konten’. Sebaliknya, sistem Islam akan menjadi habitat yang menumbuh suburkan konten-konten edukatif untuk umat. Allahua’lam.


Oleh: Arif Susiliyawati, S.Hum
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar