Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sampah Menumpuk: Budaya Konsumerisme dan Buruknya Pengelolaan


Topswara.com -- Hampir dua bulan sampah menumpuk di pinggir Jalan Kramat, Lingkungan 18, Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan. Sejumlah warga resah karena dikhawatirkan tumpukan sampah menjadi sumber penyakit, menimbulkan bau tidak sedap, merusak pemandangan, ditambah musim hujan yang rawan banjir membuat sampah akan hanyut dan tergenang di pemukiman rumah warga. 

Sampah yang menumpuk tersebut sebagian merupakan sampah rumah tangga yang sengaja dibuang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di pinggir jalan seperti yang dikutip dalam medanbisnisdaily.com.

Penanganan masalah sampah di Indonesia memang belum sepenuhnya menjadi perhatian, baik pemerintah maupun masyarakat. Sejumlah lembaga maupun gerakan sosial yang fokus pada masalah lingkungan telah berupaya keras. Sejumlah gagasan dirumuskan. Langkah taktis pun bermunculan. 

Sayangnya, problem sampah seolah tiada akhir. Inilah prinsip ekonomi kapitalisme yang mewadahi konsumerisme masyarakat. Sebab ekonom kapitalis Adam Smith menyatakan bahwa sifat konsumerisme manusia memiliki sisi positif. Gaya hidup ini dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. 

Alhasil, konsumerisme tidak hanya sekadar berburu barang mewah. Faktanya, nyaris seluruh lapisan masyarakat tanpa sadar terkondisikan untuk bergaya hidup mewah. Sebab saat ini, semua transaksi dapat terjadi hanya dalam sekali klik. 

Apalagi jika ada barang diskon. Masyarakat tidak segan membeli barang agar mereka bisa tampil beda dan bisa memamerkan diri sesuai model terkini. Inilah sebab, masyarakat kapitalistik sulit memilah yang mana kebutuhan dan mana keinginan, karena dalam pandangan kapitalisme, apa pun yang manusia butuhkan harus dipenuhi tanpa kecuali. 

Cara pandang hidup masyarakat seperti ini dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Ideologi Barat ini menjadikan kepuasan individu sebagai tolak ukur kebahagiaan.
Sehingga muncullah pola hidup konsumtif di tengah masyarakat. Jika prinsip tersebut ditarik dalam realitas peningkatan volume sampah, konsumerisme yang kian meningkat jelas berdampak langsung pada lingkungan. 

Di sisi lain, ada paradigma mendasar yang memerlukan kajian sistemis dalam tata kelola lingkungan. Paradigma kapitalisme yang mengutamakan kepentingan korporasi adalah faktor yang menyulitkan niat untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Hasrat meraup keuntungan telah mengerdilkan kesadaran korporasi untuk memperhatikan lingkungan. 

Ditambah permaslahan upah pekerja pengangkut sampah tidak sesuai dengan jasa yang dilakukan dalam mengangkut sampah tersebut sehingga loyalitasnya dalam bekerja pun tidak terbentuk.
Padahal, masalah lingkungan bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, butuh kebijakan yang mampu menuntaskan masalah lingkungan hingga ke akar-akarnya. Dari tataran individu, masyarakat hingga negara. 

Sebab, kerusakan lingkungan yang berdampak pada krisis iklim ini bersifat holistik. Maka kelestarian lingkungan adalah poin penting dalam pembangunan. Islam sangat memperhatikan lingkungan. Allah SWT. berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS Al-A’raf: 56).

Berdasarkan hal ini, manusia wajib menjaga lingkungan. Segala aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan wajib manusia jauhi. Termasuk konsumerisme merupakan penyakit sistemis akibat nilai sekularisme yaitu paham pemisahan agama dari kehidupan. 

Apabila solusi sampah hanya berputar pada antisipasi dampak tanpa mengatasi akar masalah maka solusi tersebut seperti tambal sulam. Faktanya sudah beragam solusi dan inovasi ditawarkan, namun sampai saat ini belum ada yang efektif menangani permasalahan sampah.  

Maka penyakit konsumerisme akan dihapus oleh Islam. Sebab konsep pola konsumsi dalam Islam adalah dengan mendorong produktifitas dan tidak melarang konsumsi. Namun, Islam mendorong manusia memiliki gaya hidup bersahaja yaitu mengkonsumsi sesuai kebutuhan dan melarang menumpuk barang tanpa pemanfaatan. 

Semua itu dilakukan bukan berdasarkan manfaat yang mereka rasakan, lebih dari itu mereka melakukannya karena dorongan keimanan. Dari sisi individu, Islam mengajarkan mereka memiliki kesadaran terhadap pola konsumsi. Karena apa yang mereka belanjakan dan konsumsi akan ada pertanggung jawaban kelak diakhirat. Dari segi masyarakat dan negara tidak akan menyuburkan pola konsumtif masyarakat kapitalis. 

Tolak ukur kebahagiaan bukan kepuasan dengan membeli barang melainkan seberapa banyak harta yang dimiliki untuk dibelanjakan di jalan Allah. Mereka melakukan itu untuk meraih ridha Allah. Masyarakat akan diedukasi untuk memiliki kesadaran memilah sampah berdasarkan jenisnya. 

Negara akan mengatur kota dan desa agar sampah dari hasil konsumsi normal masyarakat bisa dikumpulkan di tempat khusus, dengan teknologi canggih sampah akan dikelola oleh negara agar tidak mencemari lingkungan. Penguasa juga akan menggalakkan edukasi mengenai pola hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan. 

Mengenai upah pekerja juga akan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan sehingga tidak ada pihak yang terzalimi agar loyalitas pekerja terbentuk dalam pekerjaan tersebut. Inilah solusi yang ditawarkan Islam. Individu, masyarakat dan negara yang demikian tidak akan terwujud kecuali dalam sistem Islam yang menerapkan Islam kaffah yaitu daulah khilafah.



Oleh: Halizah Hafaz Hutasuhut S.Pd
Aktivis Dakwah dan Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar