Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mungkinkah Hoaks Politik Sirna?


Topswara.com -- Pesta demokrasi tinggal setahun lagi. Suasana panas kampanye mulai terasa. Mulai dari mencari kawan dan menentukan lawan, juga berperang opini di media.

Dalam talk show ‘Kolaborasi Melawan Disinformasi Menjelang Pemilu 2024’  di Hotel AOne, Jakarta, Rabu (30/11/2022), anggota Bawaslu, Lolly Suhenty mengungkapkan bahwa kontestasi pemilihan umum kerap diiringi dengan peredaran hoaks yang meninggi. Bahkan, hoaks juga berlanjut setelah pemilihan. Kontennya terkait pelaksanaan pemilu dan hasil perhitungan suara (beritajatim.com, 30/11/2022).

Kondisi di atas diantaranya berdasarkan data dari Bawaslu selama pemilu 2019 dan sebelumnya. Lalu mungkinkah hal tersebut bisa dilawan bahkan sirna?

Hoaks untuk Siapa?

Hoaks disebut juga berita bohong, yakni informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar (Wikipedia). Sedangkan hoaks politik adalah berita bohong tentang politik yang digunakan untuk memprovokasi masyarakat (www.lemhanas.go.id).

Dan anehnya, kejadian tingginya hoaks politik selalu berulang setiap pemilu. Oleh karenanya, berbagai pihak sudah memprediksi akan terjadi juga pada pemilu 2024 mendatang. Tentu saja, hal tersebut bukan tanpa sebab. Bahkan, dapat dipastikan ada pihak-pihak yang sengaja membuat dan menyebarnya, yaitu mereka yang berkepentingan dengan pemilu. Baik sebelum dan sesudah pemilu. 

Jika sebelum pemilu, provokasi dilakukan agar bisa memprovokasi masyarakat sehingga pihak produsen hoaks dapat mendulang banyak suara. Sementara hoaks atas pelaksanaan dan pasca pemilu, berkaitan dengan proses dan hasil perhitungan suara.

Mereka sengaja membuat polarisasi politik di tengah masyarakat. dengan tujuan memecah belah rakyat. Serta, dapat meningkatkan ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu. Hal tersebut diduga memang diharapkan sebagian atau bahkan seluruh peserta kompetisi. 

Karena, sudah jamak dalam sistem demokrasi, menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Maka pihak produsen hoaks, memang mengharap hilangnya kepercayaan di tengah masyarakat sehingga memilih abstain. Dan, memobilisasi pendukungnya untuk memberikan suaranya kepada mereka.

Sementara hoaks politik yang berdampak pada ketidakpercayaan terhadap hasil, mengakibatkan kontestan yang terpilih sulit mendapatkan legitimasi rakyatnya sendiri. Pun, berlanjut ketidakpatuhan rakyat pada kebijakannya. 

Namun diakui atau tidak, penyebab hoaks politik mudah dipercaya masyarakat, diantaranya akibat ketidaktahuan sebagian besar masyarakat terhadap tahapan pemilu. Tetapi, kondisi ini justru diduga dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membuat hoaks politik.  

Patut dicermati, mengapa hoaks politik subur di sistem pemerintahan demokrasi? Bahkan hampir terjadi di seluruh negara pengemban demokrasi. Ini menunjukkan pemilu dalam sistem demokrasi penuh intrik dan tipudaya. Sebab sistem sekuler kapitalis memang meniscayakan mendapatkan kemanfaatan dengan segala cara, termasuk membuat berita bohong terkait pemilu.  

Sehingga masyarakat memilih kontestan tidak melihat kemampuannya sebagai pemimpin serta visi-misi yang diembannya. Bahkan hoaks tersebut mengopinikan larangan politik identitas sebagai pedoman untuk pemilu.

Dari sini jelaslah, para pelaku pemilu yang berkompetisilah yang mendapatkan keuntungan dari berita bohong tersebut.  Dan, sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat.

Islam Melarang Hoaks

Sesungguhnya Allah mengancam orang-orang yang membuat hoaks yakni dengan memerintahkan Rasulullah untuk memerangi mereka. Sebagaimana dalam firmanNya, “Sungguh, jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah tidak berhenti (dari menyakitimu), pasti Kami perintahkan engkau (Nabi Muhammad untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak lagi menjadi tetanggamu (di Madinah), kecuali sebentar “(Al-Ahzab :60).

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut di atas bahwa orang-orang munafik, yaitu mereka yang menampakkan keimanannya, sedangkan di dalam batin mereka menyimpan kekufuran, yaitu orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya. Sementara menurut Ikrimah dan lain-lainnya, yang dimaksud dengan mereka di sini pezina dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah. Yaitu orang-orang yang mengatakan kepada Nabi dan kaum muslim, bahwa musuh dalam jumlah yang sangat besar akan datang menyerang dan sebentar lagi akan terjadi perang dahsyat. Padahal berita itu dusta dan buat-buatan belaka. 

Larangan di atas bukan hanya pada peristiwa tersebut, tetapi juga termasuk ketika memilih pemimpin. Di dalam Islam memilih pemimpin ada banyak cara, pemilu adalah salah satunya. Hal tersebut pernah terjadi ketika berakhirnya masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. 

Saat itu, umat islam mengadakan pemilu di Madinah untuk mencari penggantinya. Dan berhasil dengan terpilihnya Ustman bin Affan sebagai khalifah selanjutnya.  Tentu semua berjalan tanpa hoaks politik.

Bahkan dalam syariat Islam ada barometer sebagai syarat yang harus dipenuhi seseorang jika akan menjadi pemimpin. Diantaranya ia harus seorang yang adil.

Allah SWT berfirman,“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu “ (TQS ath-Thalaq [65]: 2).

Dari ayat di atas, disebutkan bahwa saksi haruslah memiliki sifat adil. Sementara posisi khalifah adalah lebih agung dari saksi. Oleh karena itu, khalifah lebih utama lagi bahwa dia harus seorang yang adil. Sebab, dia adalah seorang pemimpin.  Seorang yang mengurusi seluruh urusan rakyatnya dengan menggunakan syariat Islam.

Maka bagaimana mungkin seorang pemimpin seperti itu, yang akan menerapkan seluruh hukum Islam, yakni adil terhadap rakyatnya, tetapi ia sendiri fasik dengan menyebarkan hoaks ketika di awal proses pemilihannya?

Demikianlah, jika ingin hoaks pemilu sirna, hanya ada satu cara. Yakni segera mengganti sistem sekuler demokrasi dengan menerapkan sistem Islam.

Wallahu A'lam bi Shawab


Oleh: Sitha Soehaimi
Aktivis Dakwah Bogor
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar