Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Remisi Koruptor


Topswara.com -- Tahun ini bisa dibilang tahun remisi buat para koruptor. Sebab sebanyak 421 narapidana tindak pidana korupsi mendapatkan remisi dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-77 tahun. Dan setidaknya ada sekitar empat orang napi langsung dibebaskan. Serta 23 narapidana koruptor kini telah bebas bersyarat, masa hukuman para koruptor menjadi lebih pendek karena dipotong remisi. 

Hal ini menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak, para maling uang rakyat melenggang bebas menikmati remisi. Apa itu remisi? Pengertian remisi yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Remisi artinya pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Namun sebelumnya Mahkamah Agung (MA) telah mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor. Berikut isi pasal dalam PP No. 99 Tahun 2021 yang dihapus MA, Pasal 34 A ayat (1) huruf (a): Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

Sangat disayangkan pemberian remisi bagi para koruptor. Padahal sudah ada peraturan pengetatan remisi korupsi namun sayang telah dicabut. Hal ini semakin menunjukkan bahwa kejahatan korupsi adalah suatu kejahatan biasa. Misalnya kasus mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang baru dua tahun di penjara kini bebas bersyarat, padahal kasus korupsi yang menjeratnya tergolong besar.

Memang aneh bin ajaib, para koruptor ini dibebaskan bersyarat tanpa ada penjelasan yang cukup ke publik, dan pemerintah berdalih bahwa ini sesuai aturan. Aturan yang mana? Aturan atau hukum yang dibuat berlandaskan akal manusia memiliki banyak kelemahan. Sebab setiap isi kepala manusia memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan keinginan yang berbeda pula. Maka akan terjadi banyak pertentangan dalam pelaksanaan aturan tersebut.

Selain itu, yang tidak habis pikir mantan koruptor tidak kehilangan hak mencalonkan diri dalam kontestasi politik. Para mantan narapinada koruptor boleh mencalonkan diri menjadi anggota DPR, MPR maupun aparatur negara. 

Apajadinya suatu negara dipimpin oleh para mantan narapinada. Apakah negeri ini kehabisan pemimpin-pemimpin handal dan mumpuni? Sampai-sampai mantan narapinada koruptor diangkat menjadi aparatur negara.

Namun jika yang melakukan tindak kejahatan dari kalangan kebawah, hukumannya lebih berat. Misalnya kasus yang viral adalah kasus seorang nenek yang kelaparan lalu mencuri singkong dan dihukumi penjara selama 2,5 tahun. Sementara kasus koruptor sekian milyar bahkan sekian triliun hukumannya lebih ringan. Inilah yang dimaksud hukum tajam kebawah dan tumpul keatas, adilkah?

Ini semakin menegaskan bahwa sistem demokrasi yang diadopsi RI sangat ramah terhadap para koruptor. Serta telah memberi banyak kesempatan agar koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi di mata publik. Seolah-olah ingin menegaskan bahwa koruptor itu baik dan layak menjadi pemimpin.

Inilah fakta sistem demokrasi. Selogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanya pemanis bibir. Buktinya rakyat menginginkan para koruptor dihukum berat, malah diberikan remisi. Rakyat mengingkan harga BBM tidak naik malah naik 30 persen. Jadi sistem demokrasi ini untuk rakyat yang mana?

Dengan fakta diatas apakah sistem demokrasi kapitalis masih layak dipertahankan untuk mengendalikan dan mengatur negeri ini? Disisi lain ada sistem yang lebih baik, karena telah terbukti penerapannya selama kurun waktu 13 abad yaitu sistem Islam sistem warisan Rasulullah SAW.


Oleh: Agung Andayani
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar