Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Banjir Berulang, Upaya Pencegahan Diabaikan


Topswara.com -- Belum genap sebulan Indonesia dilanda hujan, ironinya banjir telah melanda berbagai daerah. Carut marut penanganan masalah banjir pun masih terjadi meski banjir menyapa berulang kali hingga seolah menjadi tradisi tahunan di negeri ini.

Banjir yang melanda sebagian wilayah Aceh Utara sejak Selasa (4/10) terus meluas. Juru Bicara Nasional Penanggulangan Bencana Abdul Muhari mengatakan hingga Kamis sore sebanyak 18.160 warga terpaksa mengungsi.

Begitu juga dengan ibu kota yang menjadi langganan banjir pun tak luput dari bencana sekarang. Setelah dilanda hujan lebat, banjir pun menggenang di beberapa wilayah di Jakarta. Mirisnya, banjir tersebut telah menelan korban jiwa. Sebanyak tiga orang siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 19, Jakarta Selatan meninggal usai tembok sekolah mereka rubuh diterjang banjir pada Kamis (6/10).

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyatakan sebanyak 270 warga di Jakarta Selatan mengungsi ke tempat aman.

Walaupun banjir sudah menjadi langganan, namun penguasa dan masyarakat masih gagap dalam menghadapinya.

Faktanya banjir terjadi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor alam yaitu derasnya curah hujan tetapi juga disebabkan oleh faktor lain yang justru memperparah kondisi banjir tersebut.

Seperti banjir yang melanda Aceh Utara, selain faktor curah hujan yang tinggi, kondisi tanggul daerah aliran sungai (DAS) besar juga kehilangan kemampuan menampung debit air yang meningkat karena memang kondisi tanggul yang rendah dan ada kiriman banjir dari hulu Takengon dan Bener Meriah. Bahkan BPBD Aceh Utara  memperkirakan banjir masih berpotensi meluas ke wilayah lain.

Sedangkan banjir yang melanda Jakarta, pihak BMKG sebenarnya sudah memberi peringatan dini. Hal itu telah disampaikan tanggal 29 September 2022 bahwa potensi cuaca ekstrim di DKI mulai 1 Oktober 2022. Bahkan peringatan dini tersebut diulang pada tanggal 2, 3 dan 4 Oktober, hingga peringatan dini itu pun diulang setiap hari. 

Namun, kondisi lahan yang kurang resapan air, saluran air yang tersumbat dan daerah yang memang menjadi langganan banjir tetap dijadikan pemukiman justru berpengaruh secara signifikan terjadinya banjir. 

Faktor intensitas curah hujan hanya sebagai salah satu faktor pemicu banjir di Jakarta. Seperti daerah Kemang, Jakarta Selatan yang sejak jaman Belanda memang menjadi tempat parkirnya daerah aliran sungai Krukut dan memiliki kontur lebih rendah dari sisi utaranya dan tentu tidak mengherankan menjadi langganan banjir karena air mengalir ke daerah yang lebih rendah tetapi tetap dijadikan sebagai tempat pemukiman.

Alhasil faktor dominan pemicu terjadinya banjir di Jakarta dan Aceh adalah kesalahan manusia, ditambah cuaca ekstrim yang melanda daerah tersebut yang sempat di beritakan oleh BMKG sebelumnya.

Pembukaan lahan tanpa kontrol sehingga zona resapan air telah berubah bentuk menjadi wilayah industri dan pemukiman, ditambah hasrat pembangunan yang kian massif mengakibatkan kontur tanah daratan mengalami penurunan tiap tahun. Hingga keberpihakan penguasa kepada pemilik modal semakin nampak semenjak adanya UU Omnibuslaw. Keberadaan atas hadurnya UU tersebut pernah disayangkan oleh Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) karena pengusaha semakin brutal merusak lingkungan.

Inilah wajah dari sistem kehidupan yang diatur dengan aturan kapitalisme, manusia diberikan hak kepemilikan tanpa batas dan juga kebebasan mengelola sumber daya alam (SDA) yang pengelolaannya tanpa memperhatikan dampak kerusakan lingkungan yang berujung terjadinya bencana.

Mereka hanya memperhitungkan untung rugi, karena mereka adalah pengusaha bukan penguasa yang notabene harus memikirkan kemaslahatan umat.

Pengusaha dalam sistem kapitalisme sangat diuntungkan, karena kepemilikan atas modalnya meniscayakan mereka untuk bisa leluasa bertindak sesuka hati mereka, bahkan mengendalikan negara melalui undang-undang yang mereka kehendaki. 

Maka nampak sekali negara kerap hanya diam saja, ketika para pengusaha atau pemilik pabrik itu merusak lingkungan. Analisis dampak lingkungan (amdal) yang diprasyaratkan oleh negara tak jarang mereka langgar. 

Seperti pembangunan di Jakarta yang tidak memperhatikan tata letak kota, Jakarta sebagai pusat industri memiliki banyak bangunan megah yang didirikan oleh para pengusaha, termasuk perkantoran dan juga pusat perbelanjaan tanpa memikirkan daerah resapan air dan penurunan tanah. Hal itu tentu akan berdampak fatal ketika musim hujan tiba.

Di samping itu masih banyak daerah yang rawan banjir dibiarkan saja ketika dijadikan tempat pemukiman warga, sehingga ketika musim hujan tiba, otomatis banjir mendatangi lokasi pemukiman tersebut dan menyebabkan terjadinya kerusakan di wilayah pemukiman.

Jika masalah mendasar dari banjir tersebut tidak diselesaikan secara serius maka negara akan disibukkan dengan penanganan banjir setiap tahun. Dan menelan pil pahit kerugian materiil yang terus meningkat, bahkan korban nyawa masyarakat.

Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Di dalam Islam, negara akan berusaha maksimal mengantisipasi bencana yang ada termasuk banjir. Negara akan melakukan langkah-langkah untuk mengantisipasi terjadinya banjir dengan memperhatikan daerah yang rawan bencana maka di daerah tersebut tidak boleh dijadikan tempat pemukiman warga. 

Kemudian, ketika tempat yang rawan banjir tersebut telah dijadikan sebagai pemukiman maka negara akan memindahkan tempat pemukiman ke tempat yang lebih aman dari banjir. Negara juga akan mengawasi dengan ketat pembangunan yang dibuat dengan tetap memperhatikan daerah resapan air dan tata kelola yang baik sehingga tidak menyebabkan banjir.

Kemudian, ketika sudah dilakukan langkah antisipasi agar banjir tidak terjadi tetapi karena intensitas hujan tinggi dan tetap terjadi banjir maka negara akan mengambil langkah yang cepat untuk menangani para pengungsi dengan menempatkan mereka ke tempat yang aman dan memperhatikan kebutuhan yang mereka perlukan.

Tetapi penanganan yang cepat dan tepat ini hanya terjadi ketika kita hidup di negara yang berdasarkan pada aturan Islam. Dan ketika kita masih hidup di bawah sistem kapitalisme maka banjir akan selalu berulang karena memang faktor-faktor pencegahan di abaikan.

Wallahu 'Alam


Oleh: Zulia Adi K., S.E 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar