Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Percepatan Elektrifikasi Kendaraan Nasional Tanpa Visi Ideologis, Akankah Berujung Manis?


Topswara.com -- Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Tentu saja para pendiri bangsa ini menginginkan agar seluruh rakyat Indonesia sejahtera bukan hanya di penguasanya. Harapan mereka, bangsa ini pun semakin maju dan diakui dalam percaturan dunia.

Salah satu terobosan pemerintah agar bangsa ini maju yaitu dengan melakukan percepatan elektrifikasi kendaraan nasional. Pada tanggal 13 September 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan Atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Penggunaan mobil listrik pun diharapkan menjadi salah satu solusi atas isu pencemaran lingkungan yang disebabkan emisi karbon kendaraan yang menyebabkan pencemaran udara. Selain itu, bisa menghemat energi, terutama mengurangi konsumsi BBM di transportasi. Sehingga bisa menghemat pengeluaran biaya operasional, baik secara individu ataupun pengeluaran daerah dan negara.

Apalagi, Indonesia memiliki potensi besar untuk membuat komponen utama mobil listrik, yaitu baterai dengan bahan bakunya nikel. Menurut data BKPM, Indonesia memiliki 30 persen cadangan nikel dunia, yaitu sebesar 21 juta ton. Nikel dapat ditemukan di berbagai wilayah, seperti Halmahera Timur di Maluku Utara, Morowali di Sulawesi Tengah, Pulau Obi di Maluku Utara, dan Pulau Gag di Kepulauan Raja Ampat.

Dengan potensi ini, pemerintah serius mendorong percepatan penggunaan kendaraan listrik. Pemerintah optimis bahwa Indonesia akan menjadi episentrum mobil listrik dunia. Hingga, sosialisasi pun terus digalakkan kepada masyarakat, instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, juga pada pelaku industri otomotif.
Kondisi Tambang Nikel.

Memang benar, Indonesia merupakan salah satu penghasil nikel terbesar di dunia. Namun sayangnya, menurut peneliti pada Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman, peta industri nikel nasional telah bergeser dengan cepat dalam waktu 4 tahun terakhir. Jika pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai Indonesia, yakni PT. Vale Indonesia Tbk. (INCO) sebesar 25 persen, PT. Aneka Tambang Tbk. (ANTM) sebesar 19 persen dan perusahaan lainnya sebanyak 3 persen.

Pada tahun 2021, hampir 70 persen tambang nikel dikontrol asing. PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menguasai sebanyak 50 persen produksi hilir nikel. IMIP adalah perusahaan patungan antara Tsangshan Steel Holding asal China (66,25 persen) dan perusahaan lokal PT. Bintang Delapan Mineral (33,75 persen). Selain itu, perusahaan China lainnya yaitu PT. Virtue Dragon Nickel Industry mengontrol 11 persen (bisnis.com, 17/9/2021).

Perusahaan milik Indonesia sendiri hanya menguasai kurang dari 30 persen, dimana INCO sebesar 22 persen dan ANTM hanya sebanyak 7 persen. Data ini membuktikan bahwa Indonesia tidak menjadi pemeran utama dalam menguasai tambang nikel di negerinya. 

Paradigma Kapitalisme

Pemerintah berambisi bahwa Indonesia bisa menjadi episentrum kendaraan listrik dunia. Untuk mewujudkannya, perlu biaya yang tak sedikit,  mencapai US$ 8,7 miliar atau setara Rp130,5 triliun (kurs 15.000). Dengan kondisi keuangan negara yang minim, cara untuk mendapatkan aliran modal ini tiada lain dengan membuka pintu investasi bagi swasta/asing.

Tentunya untuk menarik minat para investor, segala cara dilakukan. Pemerintah rela mengikuti apapun yang investor inginkan meski Indonesia kehilangan peran strategisnya. Asal proyek bisa terwujud dan hal ini akan berimbas pada terbangunnya citra dalam kepemimpinannya.

Tak ayal jika pemerintah berdiri bersama korporasi memuluskan kepentingan para investor, baik swasta maupun asing. Meraup keuntungan dari proyek fantastis ini. Akibatnya, eksploitasi SDA energi pun tak bisa dihindari. Alih-alih mandiri, Indonesia malah semakin tercengkeram secara ekonomi dan politik. Kedaulatan negara bahkan dipertanyakan.

Kesejahteraan masyarakat pun semakin bias. Faktanya, justru dengan kehadiran perusahaan tambang, malah menjadi petaka bagi masyarakat di wilayah sekitar konsensi. Contohnya di Morowali, Sulawesi. Masyarakat terutama para petani kehilangan ruang produksi karena adanya alih fungsi lahan. Berbagai masalah lingkungan terjadi akibat penambangan nikel tanpa memperhatikan keseimbangan alam. 

Masyarakat sekitar pun kehilangan sumber air karena berebut dengan perusahaan, serta beragam konflik sosial dan kesenjangan yang ditimbulkan.
Inilah yang terjadi apabila pengelolaan energi berdasar paradigma sistem kapitalisme neoliberal. 

Sistem tersebut menciptakan keserakahan, menggerus rasa kemanusiaan dan merusak keseimbangan alam demi meraup keuntungan. Alih-alih mendapatkan kesejahteraan, tata kelola SDA energi berdasarkan sistem ini malah mengakibatkan rakyat sekitar konsensi semakin menderita.

Penguasa hanya sibuk membangun citra dalam kepemimpinannya. Lalai menjalankan tanggung jawab dalam mengurusi rakyat dan meningkatkan kesejahteraannya. Tak berupaya secara serius membangun kedaulatan serta kemandirian negara karena negara tidak memiliki visi ideologis.

Elektrifikasi kendaraan tanpa visi ideologis malah akan berujung tragis. Kemandirian dan kedaulatan negara akan semakin terkikis karena harus mengikuti permainan para kapitalis. Mimpi menjadi episentrum mobil listrik dunia pun hanya utopis.

Paradigma Islam

Islam akan menjadikan penguasa berada pada pihak rakyat. Sebab, penguasa adalah pelindung, pelayan, dan pengurus umatnya. Ia akan bersama rakyat dan berupaya mensejahterakan individu per individu rakyatnya. 

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,
"Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang pengurusannya (HR. Bukhari dan Muslim).

Walhasil, ketika mobil listrik diproduksi dalam sistem Islam (khilafah), itu semata demi kemaslahatan masyarakat. Maka, negara akan memberikan kemudahan bagi seluruh warga negara untuk mendapatkannya dengan biaya yang terjangkau. Sebagai wujud pelayanan negara kepada rakyatnya.

Dalam pandangan Islam, SDA energi (an-naar) termasuk dalam kepemilikan umum yang harus dikelola sepenuhnya oleh negara. Negara mendapatkan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,
“Manusia itu berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga aspek yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Ibnu Majah).

Oleh karena itu, Islam melarang negara mengeksploitasi SDA hingga merusak keseimbangan alam dan mengambil keuntungan dari kepemilikan umum tersebut. Apalagi sampai menyerahkan urusan pengelolaannya kepada swasta atau asing. Sebab, jika demikian bisa menyebabkan kemudaratan, yaitu rakyat tidak bisa mendapatkannya dengan mudah dan merata.

Keberadaan negara yang memiliki visi ideologislah yang mampu menciptakan negara yang kuat, mandiri, berdaulat, dan terdepan memimpin. Ia berdaulat dan mandiri secara ekonomi sehingga tidak mudah disetir bangsa lain dengan dalih investasi. Ia memiliki wibawa di hadapan rakyat dan negara lain. Bukan karena pencitraan tapi semata demi mencapai ridha Allah dengan menerapkan sistem Islam dalam kehidupan secara menyeluruh.


Oleh: Lussy Deshanti Wulandari 
(Pemerhati Umat)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar