Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kekerasan Anak Kian Ramai, Apakah Kota Layak Anak (KLA) Menjadi Solusi?


Topswara.com -- Baru-baru saja kasus eksploitasi anak kembali terjadi di Jakarta Barat. Dalam kasus ini seorang remaja putri berinisial NAT berusia 15 tahun mengaku disekap dan dijadikan pekerja seks komersial selama 1,5 tahun. Awalnya korban NAT tidak mengetahui bahwa pekerjaan yang ditawarkan terlapor adalah Pekerja Seks Komersial (PSK). 

Korban hanya ditawarkan penghasilan besar dan NAT juga diancam oleh terlapor dengan dalih memiliki utang sebesar Rp35 juta. Hal itulah yang membuat korban tidak bisa berhenti dari pekerjaannya tersebut. Selama menjalani pekerjanya, korban NAT tinggal di sebuah  apartemen yang disewa terduga pelaku. 

Ayah korban mengaku bahwa setiap pulang ke rumah, korban tidak pernah lama, hanya sekitar 20 menit dan langsung balik lagi ke apartemen tempat ia bekerja sebagai pemuas nafsu para laki-laki (beritasatu.com, 18/09/2022).

Selain kasus tersebut, ada sebanyak 32 kasus kekerasan terhadap anak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sedang ditangani oleh lembaga Save The Children (nasional.tempo.co, 13/09/2022).

Adapun hasil analisa data yang diperoleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) didapati sebanyak 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sejak tahun 2021, ada 7.004 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Kemenpppa juga melakukan Survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja. 

Maka dari itu hasilnya sebanyak 4 dari 100 laki-laki usia 13-17 tahun dan 8 dari 100 perempuan usia 13-17 tahun di perkotaan pernah mengalami kekerasan seksual. Alhasil 3 dari 100 laki-laki usia 13-17 tahun dan 8 dari 100 perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami tindakan kekerasan seksual sepanjang hidupnya (kompas, 24/03/2022).

Terasa aneh, kasus eksploitasi marak terjadi di negeri ini. Padahal, pemerintah telah mengantisipasi eksploitasi anak melalui program Kota Layak Anak (KLA). Bahkan KLA makin banyak diangkat dan dijadikan utama pembangunan daerah. Pemerintah yaitu Kemenpppa bersama kementerian menjadikan KLA sebagai satu cara untuk memenuhi hak anak dan memberikan penghargaan kepada kota-kota ramah anak setiap tahunnya. 

Adapun hak anak adalah mengacu pada konvensi hak anak yaitu hak sipil dan kebebasan lingkungan, keluarga  dan pengasuhan alternatif kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan dan pemanfaatan waktu luang, kegiatan budaya, serta perlindungan khusus anak.

Akan tetapi, faktanya di berbagai daerah peraih predikat KLA kian masih saja terjadi tindakan kekerasan hingga eksploitasi terhadap anak. Fakta eksploitasi anak yang masih terus bertumbuh membuktikan bahwa predikat KLA tidak dapat menjamin terciptanya perlindungan anak. 

Bahkan bisa saja jaminan perlindungan anak hanyalah di atas kertas sekadar syarat agar lolos mendapatkan predikat KLA, artinya solusi yang diadopsi pemerintah tidak mampu untuk mencegah kekerasan dan eksploitasi terhadap anak.

Selaku Ketua Lembaga Keperempuanan PMII Komisariat Majapahit, Mojokerto, Ana Yuskristiyanigsih, mengkritik penghargaan KLA kategori Madya yang diterima Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto. Menurutnya, penghargaan tersebut kurang tepat karena data dari BPS, angka anak terlantar di Kabupaten Mojokerto pada 2020 sebanyak 3.942 anak, baik laki-laki maupun perempuan. 

Menurut Ana, penghargaan KLA seharusnya dibarengi dengan program dari Pemkab Mojokerto yang mampu menyejahterakan anak, tidak hanya memenuhi syarat dokumen agar mendapatkan penghargaan tersebut (faktualnews, 09/08/2021).

Akar masalah eksploitasi anak dan kekerasan seksual disebabkan solusi yang diambil berdasarkan nilai-nilai sekuler Barat yang sangat jauh dari aturan agama yang akhirnya liberalisme masih menjadi  pedoman dalam kehidupan. Maka, tidak heran persoalan anak tidak pernah dapat terselesaikan sampai kapan pun selama tata kehidupan masih berlandaskan pada kebebasan akal manusia sebagaimana dalam sistem sekuler-kapitalisme. 

Korban-korban eksploitasi anak akan terus bermunculan dengan beragam modus. Masyarakat membutuhkan solusi yang utuh untuk menyelesaikan persoalan anak secara tuntas.

Solusi yang tepat dari eksploitasi dan  kekerasan hanya ada pada Islam. Islam memandang bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga, selain itu anak adalah calon pemimpin masa depan, aset bangsa yang sangat berharga. 

Oleh karena itu, anak diharuskan tumbuh dan berkembang optimal agar menjadi generasi penerus yang  mumpuni. Dalam hal ini, Islam memberikan aturan yang mampu menyelesaikan persoalan anak dan memenuhi kebutuhan akan rasa amannya.

Islam satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur ibadah atau aspek ruhiyah saja, melainkan Islam merupakan akidah siyasi yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Penerapan aturan Islam ini terbebankan pada negara, karena menjadi tanggung jawab pemimpin.

Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim).

Dalam hadis lainnya Rasulullah SAW. bersabda: “Imam adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Berbagai usaha perlindungan negara agar anak tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual sehingga membentuk perlindungan terpadu yang menyeluruh dalam semua bidang. Pada bidang ekonomi, sistem pengaturannya dengan menjamin nafkah bagi setiap warga negara termasuk anak yatim dan terlantar. 

Islam juga memberikan kebebasan bagi perempuan dari kewajiban mencari nafkah sehingga mereka lebih fokus sebagai ibu, madrasah pertama dalam mendidik dan mencetak kepribadian sang anak. 

Sistem ekonomi Islam juga akan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi para pencari nafkah, maka dari itu masyarakat tidak akan pernah berpikir menghalalkan segala cara yaitu dengan eksploitasi anak untuk mencari pundi-pundi rupiah.

Pada bidang pendidikan, negara dalam Islam akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam, guna menghasilkan kepribadian Islam, membentuk masyarakat agar memiliki keimanan yang kuat dan selalu terikat pada hukum syarak, seperti dapat memilah perbuatan terpuji atau tercela. Senantiasa mengajarkan cara berteman dengan baik tanpa ada memukul, bullying bahkan menzalimi.

Untuk para pelaku kejahatan kriminalitas seperti eksploitasi dan kekerasan seksual, dalam hukum Islam memiliki sanksi yang diterima oleh pelaku sehingga akan menimbulkan efek jera (zawajir) dan penebus dosa manusia di akhirat (jawabir), akhirnya pelaku takut dan tidak akan melakukan kembali kejahatan tersebut. 

Oleh karena itu, kita membutuhkan solusi aturan sang Khalik sekaligus Mudabbir  melalui pedoman Al-Qur’an dan As-Sunah yang dipimpin oleh khalifah untuk menerapkan Islam secara kafah.

Wallahualam bissawab.


Oleh: Sutiani, A.Md
Aktivis Dakwah Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar