Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sri Lanka Bangkrut, Negara Mana yang Mau Ikut?

Topswara.com -- Baru-baru ini, terjadi kerusuhan hebat di Sri Lanka. Ratusan ribu pendemo merangsek masuk ke istana kepresidenan, mereka "berpesta" menggunakan fasilitas yang ada seperti berenang di kolam renang dan memakai kamar pribadi presiden serta mengambil uang di istana. Kejadian ini merupakan puncak kekecewaan publik terhadap pemerintah akibat berbagai kesulitan yang dirasakan masyarakat belakangan.

Sudah berbulan-bulan, rakyat kesulitan mendapatkan BBM, mereka harus antri berhari-hari, harga kebutuhan pokok pun melonjak tinggi, banyak yang kelaparan hingga pemadaman listrik secara bergilir mencapai 13 jam per hari. Sekolah-sekolah diliburkan karena tidak memungkinkan dilaksanakan bahkan obat-obatan juga langka didapatkan, kalaupun ada harganya mahal.

Fenomena ini terjadi akibat negara mengalami bangkrut, setelah gagal bayar utang luar negeri sebesar 51 miliar dollar AS (Rp 764,79 triliun). Situasi ini, tentu tidak diharapkan oleh negara Sri Lanka, namun faktanya terjadi. Krisis ekonomi berimbas pada krisis sosial dan politik. 

Kenapa Sri Lanka bisa terpuruk begitu cepat, bila dibandingkan dengan negara lain yang utang luar negerinya juga besar? 

Hal ini karena Sri Lanka yang kaya dengan sumber daya alam harus tunduk kepada arahan pembangunan berbasis kapitalisme. Penyusunan anggaran yang bertumpu pada pajak dan utang luar negeri. Mengutamakan pembangunan fisik infrastruktur mercusuar "un faedah" dibandingkan pembangunan sumber daya manusia. Pemakaian mata uang berbasis kertas (fiat money) serta abai terhadap pembangunan sektor strategis seperti pangan dan energi.

Penyusunan anggaran ini tentu harus dikritisi karena menyusahkan rakyat dengan pajak dan utang ribawi yang sangat membebani. Seyogianya sumber pendapatan berasal dari sumber daya alam yang dikelola sendiri oleh negara yang sangat berlimpah bukan mengandalkan pajak dan utang.

Pembangunan infrastruktur pun demikian, seharusnya dibangun dengan uang sendiri dan memperhatikan kebutuhan masyarakat yang paling mendesak, bukan sekedar 'prestise' atau ladang mendulang untung segelintir elit politik tertentu. Sehingga berakibat mangkrak dan beban utang yang besar.

Sebagaimana contohnya pembangunan pelabuhan pendukung atau bandara pendukung tentu tidak mendesak dibangun, apalagi uang tidak ada maka harus diurungkan niatnya. Jika tetap dipaksakan akan berdampak bangkrut dan kedaulatan tergadai. Aset strategis negara yang dibangun bisa berpindah tangan ke negara asing, yang telah mengumumkan dana.
 
Jebakan utang inilah yang menjadi alat penjajahan gaya baru. Akhirnya negara terlilit utang bahkan harus utang lagi untuk bayar utang. Negara ibarat rumah, yang besar pasak daripada tiang artinya pengeluaran yang tidak sebanding dengan pendapatan.

Sementara mata uang yang dipakai negara berdasarkan 'flat money' atau uang kertas  akan terpukul hebat jika kurs mata uang turun terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mata uang kertas sangat terpengaruh dengan isu yang berkembang dan bisa dipermainkan oleh mata uang yang kuat seperti terhadap dolar AS. Mata uang ini juga sebagai alat penjajahan gaya baru. Maka mata uang dunia harus dikembalikan kepada mata uang yang stabil yaitu berbasis emas dan perak jika ingin keluar dari krisis.

Negara juga harus fokus pada penjaminan kedaulatan pangan dan energi untuk menopang kehidupan. Sektor ini adalah sektor strategis nasional yang harus mendapat perhatian serius oleh negara. Jika tidak kegoncangan negara pasti terjadi, sebagaimana yang terjadi di Sri Lanka, antrean BBM, pemadaman listrik juga kekurangan stok pangan membuat rakyat bertindak anarkis.

Di sisi lain sistem demokrasi membuat para penguasa hilang rasa empatinya karena sibuk mengeruk keuntungan diatas penderitaan rakyat. Mereka hidup bergelimang harta sementara kebijakan hanya menguntungkan konglomerat menindas rakyat.

Hal ini niscaya terjadi karena biaya pemilihan penguasa dalam sistem demokrasi yang sangat mahal, hanya konglomerat yang mampu menggelontorkan dana untuk membiayai pemilihan tersebut. Maka wajar jika nafsu konglomerat diutamakan dibandingkan rakyat saat sudah menjabat. 

Begitulah tabiat negara yang berpijak pada nilai-nilai kapitalisme demokrasi. Kebangkrutan suatu kepastian, tidak ada yang bisa mengelak, cepat atau lambat pasti terjadi.

Meskipun telah dinobatkan sebagai negara demokrasi yang ideal dengan multi etnisnya. Hak politik perempuan yang tinggi, juga harmonisasi, namun faktanya Sri Lanka mengalami kebangkrutan yang begitu parah. Anehnya ditengah kebangkrutan itu perebutan kekuasaan terus terjadi.

Oleh karena itu, tatanan global yang menaungi bangsa di dunia ini perlu mendapat koreksi secara mendasar agar kebangkrutan tidak terus melanda. Negara manapun selama masih berpegang pada prinsip kapitalisme demokrasi pasti akan ikut bangkrut.

Maka patutlah dunia saat ini segera mencari alternatif sistem kehidupan yang mampu mewujudkan kestabilan ekonomi, sosial dan politik sehingga kebahagiaan yang sejati bisa dirasakan umat manusia. Sebuah sistem yang tidak berbasis utang ribawi, menghentikan penggunaan 'flat money' atau uang kertas serta bertumpu kepada ekonomi riil, dengan menjaga kedaulatan pangan dan energi. 

Sistem itu hanya dimiliki oleh Islam sebagai ideologi yang shohih bersumber dari Allah SWT Dzat Yang Maha Menciptakan dan Mengatur alam semesta. Islam telah terbukti lebih dari 13 abad mampu menjaga kestabilan ekonomi, sosial dan politik. Wallahu a'lam bishshawab.



Oleh: Diana Wijayanti
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar