Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

RUU KIA Jadi Dilema dalam Sistem Kapitalis


Topswara.com -- Melahirkan buah hati adalah satu momen istimewa yang ditunggu pasangan suami istri. Bagi pasangan yang baru, kelahiran buah hati menjadi momen lahirnya juga sebutan ayah dan ibu. Bagi pasangan yang sudah memiliki buah hati sebelumnya, lahirnya anak berikutnya berarti bertambah amanah yang harus diurusi. Tetapi apa jadinya kalau ibu yang baru melahirkan harus kembali berkiprah di luar karena tuntutan kerja?

Berkaitan dengan hal ini, saat ini DPR sedang menggodok UU Kesejahteraan Ibu dan Anak terkait cuti melahirkan. Beberapa fraksi di DPR sedang memperjuangkan perpanjangan waktu cuti dari yang semula 3 bulan menjadi 6 bulan.

Selama ini waktu cuti melahirkan 3 bulan itu berbeda-beda penggunaannya bagi ibu bekerja yang sedang hamil. Bagi wanita yang tidak ada masalah selama kehamilan, mereka memilih mengambil cuti paska melahirkan. Jadi mereka bisa menghabiskan waktu 3 bulan penuh bersama bayi yang baru dilahirkan. 

Tapi ada juga wanita hamil yang bermasalah selama kehamilannya; ada yang di trimester pertama, ada yang di trimester ketiga, ada yang bahkan selama kehamilan harus 'bed rest' total. Bagi wanita bekerja ini tentu sebuah dilema.
 
Sehingga ada yang kemudian mengambil cuti melahirkan 3 bulan sebelum melahirkan. Akibatnya pasca-melahirkan dia sudah tidak punya masa cuti melahirkan lagi. Menyedihkan bukan?

RUU KIA Angin Segar?

Adanya wacana penambahan cuti melahirkan tentu menjadi angin segar bagi wanita bekerja yang akan melahirkan. Ada lebih banyak waktu untuk beristirahat dan terutama bisa lebih berlama-lama lagi dengan buah hati. Karena bayi baru lahir yang sedang beradaptasi dengan dunia baru butuh sekali dukungan dari orang- orang terdekatnya, terutama ibu. Dia butuh kehangatan, belaian, kasih sayang, dan tentunya asupan ASI dari ibunya. Bayi baru lahir yang di-support penuh oleh orang-orang terdekatnya tentu akan tumbuh dengan baik dan sehat. 

Adapun bagi ibu bekerja yang akan melahirkan, dia akan punya lebih banyak waktu untuk beradaptasi juga dengan suasana baru. Waktu untuk mempersiapkan fisik sebelum melahirkan lebih lama. Begitu juga waktu pemulihan kondisi fisik paska melahirka n juga akan lebih lama. Ibu yang sehat tentu akan sangat dibutuhkan untuk membersamai buah hati yang baru lahir. Dan untuk kembali bekerja tentunya, jika dia memang wanita yang bekerja.

Namun rencana penambahan waktu cuti menjadi 6 bulan ini bisa jadi dianggap negatif dan kurang produktif bagi sebagaian orang. Lamanya waktu cuti dianggap menyia-nyiakan waktu yang jelas mengurangi produktivitas kerja. Selain itu, bagi para pejuang gender, masalah ini dianggap diskriminasi bagi mereka. Kenapa wanita "dirumahkan" lebih lama?
Kenapa wanita bekerja diperlakukan beda dengan pria bekerja? Begitu anggapan mereka.

Padahal dengan memberi waktu cukup lama bersama buah hati adalah demo kebaikan anaknya. Tetapi, bagi pejuang materi yang ingin karirnya tetap bersinar itu dianggap diskriminasi. Justru seharusnya perempuan itu dinafkahi bukan dibiarkan mencari nafkah sendiri. Bahkan sampai meninggalkan anaknya. Namanya anak padahal butuh asuhan dan didikan ibunya. Inilah akibat dari sistem kapitalis yang mengeksploitasi kaum perempuan. 

Islam Memuliakan Wanita

Islam memandang pria-wanita, Muslim-Muslimah mempunyai kedudukan yang sama. Yang membedakan di antara mereka adalah ketakwaannya. Namun Islam memberikan peran yang berbeda semata karena jenis kelamin mereka.
 
Islam memposisikan wanita Muslimah sebagai istri, ibu dan pengatur rumah tangga. Adapun pria berkewajiban untuk memberikan nafkah bagi keluarganya. Seorang Muslimah yang sudah menikah, maka ia menjadi seorang istri yang wajib taat kepada suaminya. 

Kemudian setelah dia mempunyai anak maka ia bertanggung jawab penuh untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang sehat, shalih/shalihah. Inilah yang nanti akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah ta'ala.

Islam membolehkan wanita untuk bekerja, selama pekerjaan yang dilakukannya halal dan dia tidak melalaikan tanggung jawab utamanya sebagai istri, ibu dan pengatur rumah tangga. Apalagi Islam sudah menjamin pemenuhan nafkah seorang istri dan ibu itu kepada suaminya. Sehingga seorang muslimah bisa lebih fokus dan maksimal menjalankan tugas utamanya.

Lantas bagaimana dengan kondisi saat ini, dimana banyak wanita muslimah yang justru harus bekerja? Entah hanya untuk mendukung suami yang sudah bekerja atau bahkan sebagai tulang punggung keluarga?

Adanya RUU KIA bukanlah solusi hakiki sepenuh hati. Masih akan tetap ada masalah bagi muslimah yang bekerja sekaligus menjadi istri dan ibu pengatur rumah tangga. Tapi penerapan syariat Islam kaffah pasti akan menjadi solusi paripurna. Sistem Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan memaksimalkan kewajiban seorang Muslim sebagai pencari nafkah untuk bekerja. 

Sistem Islam akan memuliakan seorang muslimah sebagai Ibu yang akan mencetak generasi-generasi unggul yang akan mengisi peradaban Islam yang mulia. Jadi, Muslimah tak perlu RUU KIA, yang diperlukan adalah penerapan syariat Islam yang akan menjaga kemuliannya. Wallahu a'lambishshawab.


Oleh: Salma Azizah
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar