Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pesta Demokrasi 2024, Akankah Membawa Perubahan?


Topswara.com -- Pesta Demokrasi 2024 sudah mulai dipersiapkan sejumlah partai politik. Calon presiden (capres) yang diusung mulai digodog dalam forum pertemuan partai politik agar tak salah jalan dalam pemilu nanti. Begitu halnya dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Dilansir dari Kompas.com (13/6/2022), Aboe Bakar Al-Habsyi selaku Sekretaris Jenderal PKS mengatakan bahwa partainya masih terbuka kepada siapa saja tokoh calon presiden untuk didukung pada Pilpres 2024.

Menurut Aboe Bakar, partainya tidak mau terburu-buru dalam menentukan dukungan. Dirinya menggunakan istilah Jokowi “ojo kesusu” dalam menentukan standar capres dan menyiapkan strategi jelang Pilpres. Menurutnya, penentuan siapa capres yang didukung diperlukan beberapa tahapan, seperti saling berjalan, berkenalan hingga muncul kemistrinya. 

Selain itu PKS perlu melihat bagaimana rencana program capres tersebut serta visi ke depan dalam membangun Indonesia. Segala hal tesebut perlu disamakan dengan visi dari PKS itu sendiri. Pengujian diperlukan dalam hal ini agar sesuai dengan kriteria yang diinginkan pihak partai. 

Melalui Aboe Bakar, PKS menegaskan bahwa saat ini belum menunjukkan kecondongannya pada satu calon tertentu. PKS perlu cukup waktu untuk memperhitungan secara matang untuk menentukan dukungannya.

Pesta demokrasi memang masih dua tahun mendatang. Namun, vibrasinya memang sudah terasa saat ini. Partai politik mulai lirik kanan kiri serta tak lupa untuk tetap memasang filter terhadap siapa saja calon yang bergabung dalam koalisi partainya. Mereka mulai mengatur strategi agar bisa menang dalam Pilpres 2024 mendatang. 

Hal tersebut wajar dalam demokrasi. Karena dalam demokrasi, suara terbanyak akan dianggap menang. Kemenangan mutlak diperoleh dari hasil perhitungan suara yang menunjukkan dukungan masyarakat terhadap capres yang dipilihnya. 

Semakin banyak partai yang berkoalisi tentu akan semakin banyak suara yang didapat. Tentunya semakin banyak partai yang berkoalisi dalam dukungan mampu menimbulkan pengaruh yang besar pula dalam pandangan masyarakat. Mirisnya, tidak semua masyarakat peduli dengan kemampuan atau kredibilitas dari capres tersebut.

Strategi partai politik dalam menentukan dukungannya tentunya juga melihat latar belakang capres. Bagaimana historinya di mata masyarakat, jejak digital, dan yang paling penting adalah siapa saja pihak-pihak  berpengaruh yang ada di belakangnya. Tentu partai politik sangat mempertimbangkan hal ini. 

Semakin banyak pemilik modal yang berdiri di belakang capres, tentu berpeluang besar mendapat dukungan dari banyak partai politik juga. Bukan rahasia, bahwa mulusnya jalan seorang capres berasal dari dukungan pihak-pihak kapitalis yang tidak akan hitung-hitungan dalam mengeluarkan dana untuk proses kampanye. 

Jika kita analisis, latar belakang para kapitalis yang ada di belakang para capres tersebut tentu tidak mungkin hanya berdasar loyalitas semata. Di era kapitalisme yang semakin erat mengakar ini, tidak ada satupun hal yang tidak diinisiasi oleh materi. Tidak ada yang gratis, begitu jika disimpulkan. Pihak yang berada di belakang para capres tentunya memiliki kepentingan untuk semakin melanggengkan pundi-pundi penghasilannya. 

Sudah bisa diprediksi, jika capres terpilih berhasil menang dalam Pilpres maka keuntungan yang diraih akan jauh lebih besar daripada modal yang dikeluarkan. Setiap kebijakan sang Presiden juga bisa ditebak arahnya. Lebih parah lagi jika dilanjutkan dengan bagi-bagi kursi kekuasaan. 

Maka salah jika demokrasi berasal sepenuhnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kalimat tersebut hanya retorika yang tak terlihat faktanya di masyarakat. Namun, mengapa dengan kejadian berulang seperti ini kita tidak berkaca pada bobroknya sistem demokrasi? 

Seperti layaknya pesta pada umumnya. Pesta demokrasi yang sudah terlihat bagaimana akhirnya hanya ajang menghambur-hamburkan anggaran. Selain dana kampanye yang jumlahnya fantastis, pelaksanaan pemilu juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. 

Tak jarang juga dijumpai kecurangan ataupun hasil yang sudah bisa ditebak sebelum penghitungan suara. Begitulah bobroknya sistem demokrasi kapitalis yang sampai saat ini masih dipertahankan. Padahal, tidak akan ada perubahan dengan sistem yang salah. 

Hasil dari sistem ini tidak akan menghasilkan pemimpin yang lebih baik. Sistem ini juga tidak akan menjadikan perbaikan dalam segala bidang kehidupan umat seperti yang diharapkan banyak orang.

Sistem demokrasi pasti akan tumbang karena merupakan sistem yang batil. Sistem buatan manusia yang hanya menguntungkan sebagian manusia saja. Sistem demokrasi harus diganti secara mutlak dengan sistem yang shahih dan sesuai dengan fitrah manusia, yaitu sistem Islam. 

Di dalam sistem Islam, pemimpin tidak dipilih berdasarkan banyaknya dukungan semata. Seorang pemimpin atau khalifah dipilih karena keshalihannya. Seorang khalifah yang beriman tentu akan membawa kepemimpinannya mendekat kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam kitabnya Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (2002) karya Abdul Qadim Zallum, metode satu-satunya dalam pengangkatan khalifah (nashb al-khalîfah) adalah baiat. Baiat ini adalah istilah lain untuk akad (kontrak) politik di antara dua pihak. Pihak pertama yakni Umat Islam atau para wakil umat yang sering disebut Ahlul Halli wa Aqdi atau Majelis Umat. 

Pihak yang kedua adalah kandidat khalifah itu sendiri. Baiat mengandung komitmen dari pihak umat untuk menaati khalifah yang dibaiat. Adapun khalifah yang dibaiat juga berkomitmen untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di tengah-tengah umat.

Sungguh sangat berbeda jika kita sandingkan sistem demokrasi yang berasal dari manusia dan sistem Islam yang berasal dari sang pencipta. Jika demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, maka Islam meletakkan kedaulatan pada hukum syarak. 

Demokrasi yang amat sangat rapuh karena pengaruh nafsu manusia dan Islam yang kokoh karena hukumnya mengikat manusia. Manusia yang beriman akan memandang segala sesuatu dengan penuh tanggung jawab dan takut akan hari pembalasan. Sudah saatnya, kita beralih menuju sistem yang benar, sistem yang menguntungkan semua umat, bukan hanya menguntungkan segelintir golongan. Wallahu’alam bi shawwab.


Oleh: Hima Dewi, S.Si. M.Si.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar