Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Matinya Mikrofon dan Matinya Suara Rakyat


Topswara.com -- Sikap kurang terpuji ditunjukkan Ketua DPR RI Puan Maharani saat mematikan mikrofon anggota dewan yang sedang melakukan interupsi pada saat rapat paripurna DPR yang digelar pada Selasa (24/5/2022). 

Amin AK yang menjadi korban ‘hattrick’ mickrofon dimatikan oleh Puan, adalah Komisi VI DPR asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). (republika.co.id, 26 Mei 2022).

Amin bersikeras meminta waktu untuk menyampaikan innterupsinya, dan Puan memberinya waktu 1 menit. Ia pun menjelaskan kejadian terkini mengenai LGBT yang sempat viral di podcast Dedi Corbuzier, serta dikibarkannya bendera LGBT di kantor Kedubes Inggris di Jakarta. 

Setelah Amien berbicara selama 3 menit, tiba-tiba mikrofonnya mati. Tanpa basa-basi dan menghiraukan Amien, Puan menutup rapatnya dengan disambut tepukan tangan dari para anggota dewan yang hadir. (menit.co.id, 26 Mei 2022).

Benarkah aksi tersebut karena tidak sependapat? Entahlah, karena seandainya ada kepedulian terhadap usulan Amin, tentu ini hal yang sangat penting untuk dijadikan agenda rapat selanjutnya bagi DPR untuk membahas tentang kejelasan hukuman bagi pelaku LGBT yang ada di Indonesia. 

Jadi, mematikan mikrofon dengan alasan masuk waktu shalat dan tak menghiraukan substansi usulan tentang hukuman pelaku LGBT tersebut merupakan dikotomi terhadap syariat Islam yang nyata dalam sistem demokrasi.

Tidak ada satu pun dalil yang membenarkan praktik LGBT oleh agama manapun, apalagi Islam. Semakin maraknya perilaku LGBT yang dikampanyekan di berbagai sosial media seharusnya menjadi perhatian pemangku kebijakan terhadap  rusaknya generasi saat ini dan tidak adanya kejelasan hukum terhadap penyimpangan perilaku seksual ini. 

Sementara itu, para pemangku jabatan harusnya tahu bahwa perintah shalat lima waktu sama wajibnya dengan perintah menghukum berat pelaku LGBT (liwath). Tentu Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kelalaian hari ini, karena manusia tak mampu menginterupsi Allah SWT.

Aksi mematikan mikrofon ini seharusnya menyadarkan publik bahwa DPR dalam sistem demokrasi itu sulit dan bahkan mustahil untuk benar-benar menjalankan fungsinya sebagai sarana perwujudan aspirasi publik. Kalau betul mewakili kepentingan publik dan suara rakyat, seharusnya tidak timbang-timbang lagi kepentingan partainya, koalisinya dengan pemerintah. 

Padahal, kita tahu masyarakat sangat berharap pada DPR agar bisa bersikap sejalan dengan aspirasi publik untuk menolak gerakan masif LGBT. 
Berbeda dengan sistem Islam, sistem Islam melahirkan penguasa yang harus bersikap tegas dalam mengoreksi kebijakan yang menyimpang dan mengakomodir seluruh harapan publik atas sikap dan kebijakan pemerintah dalam mengurus Negara. 

Sudah selayaknya DPR menindaklanjuti aspirasi penolakan LGBT yang banyak disuarakan rakyat, dengan menetapkan kebijakan dan/atau keputusan menolak gerakan masif LGBT. 

Lantas, apa yang bisa diharapkan dari mereka yang katanya mewakili suara rakyat? Sungguh, tak ada lagi yang bisa diharapkan dari sistem demokrasi dan orang-orang yang menjalankan sistem ini. 

Untuk itu, marilah bersama-sama untuk serius dan sungguh-sungguh, melibatkan diri dalam aktivitas dakwah untuk mengontrol roda kekuasaan agar berjalan sesuai dengan aturan Allah SWT, agar negeri ini dinaungi keberkahan, menjadi negeri yang baldatun, thayyibatun, warabbun ghaffur.[]


Oleh: Retnaning Putri, S.S.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar