Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Minim Sampah di Sistem Kapitalisme, Mungkinkah?


Topswara.com -- “Buanglah sampah pada tempatnya!” (Jika sampahnya membludak?)
***

Pada faktanya, seluruh aktivitas manusia tak pernah lepas dari sampah. Sebab, sampah adalah barang sisa yang tidak diinginkan atau tidak bermanfaat. Ia ada setelah berakhirnya suatu proses. Akan tetapi, masing-masing individu punya kriteria berbeda terhadap apakah sebuah benda masih bermanfaat atau tidak (Wikipedia).

Namun, bagaimana jika sampah terus bertambah, dan semakin hari semakin banyak? Apalagi di momen tertentu seperti Idulfitri dan hari besar lainnya, sampah cenderung meningkat tajam. 

Sebagaimana Idulfitri kemarin, kota Bandung  mengalami peningkatan produksi sampah 2-3 persen dari hari biasa. Yakni dari 1200 ton menjadi 1250-1260  ton sampah per hari (jabar.poskota.co.id/2/5/2022/13.44WIB). Kasus serupa juga terjadi di beberapa wilayah misal Depok, Sukabumi, Metro, Pontianak, serta kota lainnya.  

Dan, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), data produksi sampah di Indonesia selama ini selalu naik. Pada tahun 2019,  menghasilkan 64 juta ton sampah, dan naik menjadi 67.8 juta ton pada tahun 2020. Diprediksi tahun 2022 dan tahun-tahun mendatang akan terus meningkat. Tentu jika solusi yang ditawarkan tidak ada perubahan. Selama ini penguasa  hanya fokus mengelola material sampah dan dampaknya, bukan mengubah cara pandang manusia tentang penyebab produk sampah. 

Tak dipungkiri, saat ini mulai ada sekelompok orang yang menyadari sampah berkaitan erat dengan gaya hidup manusia. Mereka mengajak melakukan gaya hidup minim sampah. Tetapi walau sudah bertahun-tahun, sampai kini sampah masih menjadi persoalan besar dunia. Lalu apa sesungguhnya akar persoalannya?

Kapitalisme dan Gaya Hidup Konsumtif

Dalam sistem ekonomi kapitalis, kesejahteraan diukur dengan pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi diukur dengan produktivitas yang tinggi. Akibatnya, sistem kapitalisme mendorong jumlah produk harus berlimpah demi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Selanjutnya, produk ini dikonsumsi agar terjadi proses produksi berikutnya.   

Oleh karenanya, pemilik kapital akan berusaha dengan berbagai cara  agar barang-barang produksinya dikonsumsi.  Diantaranya dengan memberikan kemudahan informasi persuasif tentang berbagai produk. 

Dengan kata lain kapitalisme menciptakan gaya hidup konsumtif. Yakni, mendorong kepada setiap individu untuk membeli barang sebanyak-banyaknya. Bukan karena mereka membutuhkan barang tersebut, tapi karena keinginan membeli lebih banyak barang. Mereka telah menjadi korban bujuk rayu informasi produk. 

Ditambah lagi, standar bahagia dalam sistem kapitalis adalah pemujaan terhadap materi. Maka, kepemilikan harta hanya berfokus untuk kesenangan dunia.  Mereka merasa bangga yang berlebihan terhadap kepemilikan barang tertentu, bukan karena fungsinya. 

Dari sinilah bermula persoalan sampah yang tiada habisnya. Karena semakin banyak barang dibeli, tentu akan berefek banyak barang yang dibuang/sampah. Sebab barang tersebut dianggap sudah tidak terpakak atau bermanfaat, padahal bisa jadi masih berfungsi dengan baik.  Nah, jelas terbukti sejatinya penerapan sistem kapitalislah  akar persoalan sampah yang terus bertambah tersebut.

Islam dan Pengelolaan Harta 

Konsep kepemilikan harta dalam Islam menyatakan bahwa pemilik segala sesuatu termasuk harta adalah Allah Pencipta alam semesta dan isinya.  Artinya, jika manusia mendapatkan harta sesungguhnya Allahlah yang memberikan izin kepadanya. Oleh karena itu, pengelolaan harta telah  diatur oleh syariat dengan detail. Agar digunakan  sesuai dengan yang Allah kehendaki/ridhai. 

Sementara cara pandang Islam tentang kesejahteraan bergantung kepada pengaturan urusan umat oleh penguasa.  Jika sesuai dengan syariat yang Allah tetapkan, pastilah kesejahteraan dan keberkahan akan melingkupi seluruh manusia. Jadi, kesejahteraan dalam sistem Islam tidak berkaitan dengan tinggi rendahnya produktivitas barang dalam negeri. 

Dalam sistem ekonomi Islam ada kepemilikan umum yang harus diberikan sepenuhnya oleh negara kepada rakyatnya. Negara tidak dibolehkan mengambil keuntungan. Sedangkan, pemenuhan kebutuhan asasi berupa sandang, pangan dan papan, akan dipastikan oleh negara terpenuhi per individu dengan mekanisme yang khas. 

Dari sisi produktivitas, sistem Islam memberikan fasilitas secara penuh. Di antaranya dengan memberikan bekal modal berupa pinjaman atau pemberian cuma-cuma dari sumber kepemilikan negara kepada rakyatnya yang membutuhkan. Begitu pula negara bertanggung jawab meningkatkan skill individu rakyatnya agar aktif berproduksi. 

Pun, dalam pengelolaan harta Islam membolehkan manusia menikmati rizki Allah, akan tetapi untuk kemaslahatan dan berbagai kemudahan dalam ketaatan.  

Nabi SAW bersabda, Sesungguhnya Allah suka untuk melihat tanda-tanda kenikmatannya pada hamba-Nya.” (HR at-Tirmidzi).

Bukan untuk  berfoya-foya yaitu mengkonsumsi barang karena kepuasan naluri eksistensi semata, dan cenderung mengikuti syahwat kepemilikan. Sebagaimana dalam firman Allah, "Kami telah menjadikan mereka hidup berfoya-foya di dunia." (QS al-Mukminun: 33).  

Makna orang-orang yang berfoya-foya (mutrafin) dalam ayat tersebut adalah mereka menyombongkan diri ketika menikmati kekayaan mereka. 

Bahkan Allah mengancam pelaku akan dimasukkan ke dalam neraka di akhirat kelak. Artinya Allah tidak meridhai perbuatan berfoya-foya tersebut. 

Allah berfirman, ”Hingga jika Kami menimpakan azab seketika atas orang-orang yang berfoya-foya di antara mereka, lalu mereka memekik minta tolong.” (QS. al-Mukminun: 64). 

Tentu ini kondisi yang tidak diharapkan. Pasalnya, standar kebahagian bagi setiap orang beriman adalah menggapai keridhaan Allah di dunia dan akhirat.

Demikianlah, ternyata cara pandang dalam sebuah sistem kehidupan berpengaruh terhadap produk sampah. Jika kapitalisme mendorong agar individu membeli barang membabi buta dan berfoya-foya, dengan alasan demi keberlangsungan produktivitas dan kesejahteraan. Sehingga berujung persoalan banyaknya produk sampah. 

Sementara Islam membatasi pengelolaan harta oleh negara dan individu harus sesuai dengan syariat, termasuk pembelian barang konsumtif. Sehingga berakibat, jumlah sampah sangat minim. 

Oleh karena itu,  hanya dengan "membuang sistem kapitalis pada tempatnya”, kemudian beralih ke sistem Islamlah persoalan sampah akan teratasi dari akarnya.


Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar