Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konflik Agraria Kembali Rugikan Rakyat Kecil, ke Mana Negara Berpihak?


Topswara.com -- Koflik agraria kembali menelan korban. Kali ini konflik terjadi antara petani di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu berhadapan dengan perusahaan PT Daria Dharma Pratama (DDP). 

Dari laporan Koalisi Masyarakat Sipil, ada 40 petani disana ditangkap paksa lalu disiksa di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, Kamis 12/5/2022, hingga 15 2022, para petani itu masih ditahan. Dalam kasus ini, Koalisi Masyarakat Sipil menduga, anggota Brimob melakukan tindakan represif terhadap para petani itu (kabartrenggalek.com, 15/5/22).

Dari deretan kasus konflik agraria yang terjadi, menunjukkan bahwa pengelolaan tanah di negeri ini masih cenderung lebih dikuasai para oligarki. Para oligarki melalui penguasa dengan begitu mudahnya bisa menguasai lahan yang mereka inginkan. 

Sementara di sisi lain, para penduduk lokal/pribumi yang hanya manfaatkan sebagian kecil dari lahan yang ada umtuk pertanian masih seringkali kesulitan mendapatkan lahan/tanah. Kalaupun memiliki tanah untuk bertani, tak jarang dirampas paksa oleh para oligarki dengan bantuan aparat dan kekuasaan yang ada. Sungguh malang nasib petani kecil di negeri ini...!

Pengelolaan lahan oleh rakyat yang bekerja sebagai petani seharusnya wajar dan didukung penguasa sebab, mereka menjalankan tugasnya dan masalah yang mereka hadapi harusnya diberi kemudahan dalam penyelesaian. 

Namun faktanya berbanding terbalik. Petani kerap mengalami perampasan lahan pertanian dengan dalih wilayah perusahaan (milik ologarki). Maka dengan itu mereka bisa sengan mudah kehilangan hak atas tanah yang mereka garap. Mirisnya lagi, aparat sipil yang ada kadang lebih berpihak pada oligarki yang ada dibandingkan kepada rakyat mereka sendiri.

Hal ini semakin memberi bukti nyata bahwa dalam sistem kapitalisme, apapun bisa dikuasai selagi ada uang, bermanfaat, untung sama untung dan yang bisa melakukan hanyalah para pemilik modal yang berkolaborasi dengan penguasa. Alhasil, rakyat kecil dihakimi habis-habisan dan tak diberi wewenang untuk bisa memiliki lahan yang tidak terpakai sekalipun.

Dalam pandangan Islam, lahan atau tanah yang tidak digarap pemiliknya selama 3 tahun berturut-turut, maka lahan tersebut akan diambil alih negara kemudian diserahkan kepada rakyat yang memerlukan.

Selain itu, Islam juga melarang sistem sewa tanah pertaniaan, maka ini  "Dari jabir RA berkata, rasulullah SAW bersabda: barang siapa mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak bisa atau tidak mampu menanaminya, maka hedaklah diserahkan kepada orang lain (untuk ditanami) dan janganlah menyewakannya (HR.Muslim).

Dari sini dapat dilihat bahwa kepemilikan tanah dalam syariat Islam merupakan hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan tanah. 

Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 cara menurut hukum Islam, yaitu melalui: 1.) jual beli, 2.) waris, 3.) hibah, 4.) Ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), 5.) tahjir (membuat batas pada tanah mati), 6.) iqtha (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-siyasah sl-iqtishadiyah al-mustla, halaman 51). 

Beginilah pengaturan Islam dalam bidang pertania, semua itu tidak bisa dijalankan tanpa adanya kontitusi Daulah Islam. Oleh sebab itu marilah sebagai pengemban dakwah, penerus Rasulullah SAW, melanjutkan estafet dakwah Rasulullah SAW teruslah bergerak, berjamaah dan semangat dan Istiqomah sampai saatnya Islam kembali bersinar dan memimpin dunia kembali sehingga, persoalan demi persoalan terselesaikan dengan mudah, cepat dan hanya Islamlah solusi hakiki. 

Wallahu’alam bishawwab.


Oleh: Yafi'ah Nurul Salsabila
Alumni IPRIJA dan Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar