Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ilusi Demokrasi: Negeri dengan 1001 Cerita Dongeng


Topswara.com -- Dilansir dari kompas.com, Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda. Dikatakan bahwa Pemilu akan ditunda maksimal dua tahun. 

Usulan yang sangat mengagetkan, namun sebenarnya usulan seperti ini juga telah mencuat dua bulan yang lalu. Usulan yang serupa pernah disampaikan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahaladia. 

Anehnya, sebelum usulan penundaan pemilu ini hangat diperbincangkan, telah lebih dulu beredar kabar tentang perpanjangan masa jabatan Joko Widodo sebagai Presiden. Sekilas terlihat bahwa keduanya ini berkorelasi.

Wacana Berubah-ubah Sesuai Kepentingan

Muhaimin atau yang biasa disapa Cak Imin ini mengatakan bahwa penundaan pemilu dilakukan untuk mengantisipasi hilangnya momentum perbaikan ekonomi usai dihajar pandemi. Ditambah tuntutan dari para pengusaha. Tentu hal ini menuai polemik di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya usulan ini bertolak belakang dengan Pilkada di tahun 2020 lalu. 

Pilkada saat itu tetap digelar di tengah pandemi, padahal banyak pakar telah mewanti-wanti agar Pilkada ditunda. Mengingat pada saat itu kasus positif Covid-19 di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebut bahwa salah satu yang menyebabkan kasus positif Covid-19 itu tinggi adalah karena Pilkada (kompas.com). 

Salah satu alasan Presiden Jokowi Widodo tidak ingin menunda Pilkada karena melihat negara-negara lain tidak ada yang menunda pemilu padahal kasusnya lebih buruk dari Indonesia.

Dilansir dari Koran Tempo (09/12/2020), Kolaborasi Tempo dan Auriga Nusantara, Pegiat Pelestarian Sumber Daya Alam dan Lingkungan menemukan setidaknya ada 931 perusahaan yang terafiliasi dengan para calon pemimpin daerah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengusaha memang berperan besar dalam pendanaan para kandidat. 

Konsekuensi dari permainan politik ini adalah praktik balas budi. Pemenangnya akan memuluskan berbagai proyek dan perizinan perusahaan. Akhirnya kandidat yang terpilih tadi seketika lupa akan janji-janjinya di masa kampanye. Lantas penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 ini atas kepentingan siapa? Mengapa kali ini Jokowi diam saja dengan usulan penundaan Pemilu? 

Selain Cak Imin, usulan penundaan Pemilu juga datang dari Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Partai Golongan Karya (GOLKAR) Airlangga Hartanto. Menurut mereka, negara perlu fokus pada perbaikan ekonomi yang ambruk dihantam pandemi. 

Mengingat dana yang dibutuhkan untuk Pemilu tidak sedikit, maka ini harus ditunda. Usulan yang mereka ajukan ini telah didukung oleh sebagian besar penduduk Indonesia, menurut klaim mereka sendiri. Data tersebut diperoleh dari Big Data serta aspirasi rakyat secara langsung (kompas.com, 1/3/2022). 

Data ini kontraproduktif dengan temuan survei indikator politik Indonesia pada Desember tahun lalu. Pada data tahun lalu ditemukan 67,2 persen reponden yang memilih untuk tetap melanjutkan Pemilu meski dalam kondisi pandemi. Sedangkan yang memilih menunda hanya 24,5 persen.

Ilusi Demokrasi

Perbaikan ekonomi dijadikan dalih untuk penundaan Pemilu. Di sisi lain, Pilkada saat itu tetap dipaksakan walau angka kasus positif Covid-19 sedang tinggi. Lantas, apakah dengan ditundanya Pemilu kali ini akan memperbaiki ekonomi? Dilansir dari katadata, Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah hingga akhir Januari 2022 mencapai Rp 6.919,15 triliun. 

Angka yang menurut masyarakat sampai kapan pun utang Indonesia tidak akan bisa lunas. Jangankan lunas, faktanya mengalami penurunan saja tidak pernah. Lalu perbaikan ekonomi yang seperti apa yang dimaksud? Apakah dengan mengoptimalkan berbagai proyek? Justru pemerintah sedang dihantam oleh berbagai proyek yang mangkrak. Seperti Kereta Cepat Jakarta - Bandung, LRT Jabodebek, Tol Cisumdawu, dan lain-lain.

Sebelum pandemi, kita semua menyaksikan bagaimana sadisnya Pemilu di tahun 2019. Ratusan orang yang bertugas di TPS meninggal dengan "diagnosa" kelelahan dan intimidasi saat bertugas di TPS. KPU mengumumkan jumlahnya mencapai 287 orang. 

Tak hanya sampai di situ, fakta menggelikan terkait kotak pemungutan suara yang terbuat dari kardus dan digembok semakin menunjukkan betapa sadisnya permainan politik dalam negeri ini. Ditambah dengan pengumuman hasil Pemilu yang ditayangkan tengah malam. Ilusi negeri dengan 1001 dongeng bukan?

Seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa dalam demokrasi permainan politik praktik balas budi menjadi hal yang wajar. Terdapat pihak-pihak di balik layar yang memanfaatkan pelaksanaan demokrasi untuk mencapai tujuannya. Maka tak heran jika kita melihat ketimpangan yang terjadi di negeri ini. 

Karena sejatinya kekayaan dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang ingin meraih tujuannya tadi. Pemilu dengan gelontoran dana yang besar tidak kemudian menjamin terwujudnya kepemimpinan yang ideal. 

Utang yang semakin menumpuk, proyek mangkrak yang akhirnya dijual, kemiskinan yang semakin meningkat adalah secuil fakta yang terjadi saat ini. Mengharapkan kepemimpinan ideal dalam demokrasi hanyalah halusinasi.

Realita Syariat Islam dan Kebaikan Sistemnya

Masyarakat seharusnya lebih jeli dan menyadari bahwa masalah terbesar dalam negeri ini bukan pada sosok yang sedang berkuasa, melainkan pada sistem yang diberlakukan saat ini. Sistem demokrasi yang merupakan bagian dari ideologi sekularisme kapitalisme itulah yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Ideologi ini berasaskan manfaat. 

Semua dipandang sesuai dengan keuntungan. Wacana berubah-ubah sesuai kepentingan dijadikan hobi layaknya permainan. Lebih khusus, mengingat bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seharusnya sadar dan paham bahwa sekularisme kapitalisme bukan berasal dari Islam.

Sekularisme kapitalisme merupakan ideologi yang berasal dari Barat dan disebarluaskan ke seluruh negeri-negeri Muslim. Tak heran jika banyak kaum Muslim saat ini yang teracuni gaya hidup ala Barat. Karena memang itulah yang menjadi asas dari ideologi ini yakni pemisahan agama dari kehidupan. 

Umat Islam tidak memahami agamanya sendiri. Jelaslah yang menjadi persoalan bukan pada orangnya, tapi pada sistem atau ideologi yang diemban oleh negara tersebut. Maka yang harus diubah bukanlah kebijakannya, melainkan sistemnya. Tidak perlu repot mengadakan survei apakah Pemilu dilanjutkan atau tidak. 

Selama negeri ini masih mempertahankan demokrasi, hasilnya tetap akan sama. Kekacauan akan terus terjadi dikarenakan banyak pihak-pihak yang sibuk dengan kepentingannya sendiri untuk mendapatkan manfaat.

Harus ada yang menggantikan ideologi sekularisme kapitalisme yang merusak ini. Sebagai seorang Muslim yang didorong atas keimanannya, tentu kita berharap hidup dan mati kita hanya dipersembahkan untuk Islam. Nyatanya, Islam tidak hanya sekadar agama ritual seperti yang dipahami oleh kebanyakan umatnya saat ini. 

Islam merupakan ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali hukum dan politik. Islam yang merupakan sistem shahih memiliki konsep pemikiran dan aturan yang sempurna karena berasal dari Pencipta manusia, Allah SWT. Dalam Islam, amanah kepemimpinan baik di Pusat maupun Daerah dijalankan berdasarkan aturan dari Allah.

Pemimpin Daerah di wilayah setingkat Provinsi disebut Wali. Seorang Wali tidak dipilih melalui Pemilu, namun langsung ditunjuk oleh khalifah (pemimpin negara Islam). Kinerja seorang Wali berada langsung di bawah kontrol khalifah. 

Tidak akan ada cerita pemerintah pusat dan daerah beda suara atau kebijakan. Dengan penunjukan langsung dari khalifah, maka tidak dibutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama. Masa jabatannya pun tidak dibatasi periode tertentu. Akan langsung diberhentikan jika rakyat melihat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukannya dalam menjalankan hukum-hukum Allah. 

Adapun metode pengangkatan khalifah adalah dengan baiat dari ahlul halli wal aqdi sebagai wakil dari umat. Umat akan mengawasi dan mengoreksi (muhasabah) terhadap jalannya pemerintahan. 

Adapun pemilu hanya dijadikan cara untuk memilih pemimpin. Karena sejatinya pemimpin dalam negara Islam dianggap sah untuk menjalankan aturan Islam karena ada baiat dari ahlul halli wal aqdi tadi. Masa pemilihan khalifah tidak boleh lebih dari tiga hari dua malam. Khalifah yang terpilih harus segera menerapkan hukum-hukum Islam dan melayani kepentingan rakyatnya. 

Dan harus diingat bahwa khalifah tidak didukung oleh pemain-pemain di balik layar atau partai politik yang berkepentingan. Untuk itu, aturan yang dijalankannya murni berasal dari Islam, bukan pesanan dari para pemilik kepentingan. 

Dengan demikian ia akan bekerja maksimal demi kemaslahatan umat, bukan demi manfaat dan kepentingan semata. Karena ia meyakini bahwa kepemimpinannya itu akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah SWT. 

Sehingga seluruh waktu yang ada bagi khalifah hanya didedikasikan untuk melayani umat dan memastikan penerapan hukum Allah berjalan dengan benar, baik oleh penguasa maupun rakyatnya. Inilah kondisi politik yang ideal dalam Islam dan hanya bisa terwujud dalam institusi khilafah Islam yang menerapkan politik Islam yang dilandasi keimanan.

Wallahu a'lam bishshawab.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar