Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemetaan Masjid dan Ponpes: Ilusi Pencegahan Radikalisme


Topswara.com -- Isu radikalisme kembali menyudutkan Islam. Pasalnya, pihak Kepolisian RI berencana melakukan pemetaan masjid dan pondok pesantren (ponpes) di seluruh tanah air. 

Hal tersebut tentu memicu berbagai penolakan. Mulai dari ormas NU, Muhammadiyah, Ponpes Gontor, Pimpinan MUI maupun beberapa tokoh seperti  Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW).  Mereka sepakat mengatakan rencana tersebut meresahkan dan berpotensi memecah belah umat.

Bahkan HNW berpendapat isu radikalisme juga terorisme yang dikaitkan dengan masjid dan ponpes justru menampakkan wajah islamofobia, serta kesengajaan framing negatif dan tidak adil terhadap umat Islam (detikNews.com, 28/1/2022).

Radikalisme vs Islam 
 
Seperti diketahui bersama, bahwa isu radikalisme  bukanlah hal baru. Bermula ketika Presiden AS Donald Trumph berpidato secara terbuka di depan kongres pada tahun 2017. Maka sejak saat itu muncullah istilah Islam radikal. 

Dari sini jelaslah, bahwa istilah tersebut lahir dari mereka, bukan dari Islam.  Bahkan, jika radikal dimaknai dengan perilaku ekstrim/berlebih-lebihan dalam beragama, maka hal tersebut tetap tidak diperbolehkan dalam Islam. 

Menurut Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat FH Undip), isu radikalisme sampai saat ini bukanlah definisi hukum, akan tetapi  definisi politik. Sehingga pihak yang berkuasa mudah menarik ulur dan digunakan sebagai alat pukul bagi pihak yang berseberangan dengannya. 

Menilik definisi politik ini, tentu tak bisa lepas dengan agenda perpolitikan dunia yang diusung negara adidaya AS terhadap negeri-negeri Muslim. Sebagaimana tertuang dalam kajian yang dilakukan Rand Corporation sebuah tim think tank pemerintahan AS mengklasifikasikan umat Islam menjadi: pertama, kaum fundamentalis; kedua, kaum tradisionalis; ketiga, kaum modernis; keempat, kaum sekularis. 

Kaum fundamentalis inilah yang kemudian mereka labeli sebagai kelompok radikal. Yakni kelompok yang memusuhi Barat dan AS.

Padahal, faktanya kelompok ini adalah Muslim yang taat terhadap syariat Islam. Mereka menginginkan syariat Islam diterapkan seluruhnya dalam kehidupan. Dari sini tampak jelas, bahwa isu radikalisme sesungguhnya bagian dari politik belah bambu AS dan negara-negara barat pengusung ideologi sekuler bagi umat Islam.

Pun sesuai dengan pernyataan mantan PM Inggris Tony Blair, bahwa kelompok radikal yang berideologi Islam mempunyai ciri-ciri : pertama, menolak legitimasi Israel; kedua, memiliki pemikiran bahwa syariat adalah dasar hukum Islam; ketiga, kaum Muslim harus menjadi satu kesatuan dalam naungan khalifah; keempat, tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat. 

Oleh karena itu, kebijakan mencegah radikalisme dengan solusi memetakan masjid juga ponpes sungguh jauh panggang dari api.  Sebab, telah terang benderang bahwa istilah radikalisme merupakan upaya Barat untuk menghadang kebangkitan umat dan tegaknya kembali ihilafah islamiyah. 

Bahkan berbagai pihak menduga isu radikalisme dimunculkan kembali untuk mengalihkan persoalan bangsa yang lebih besar dan tidak mampu ditangani pemerintah.  HNW mengatakan isu ini dimunculkan untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap aksi “radikal” OPM yang kian gencar di Papua selama pandemi Covid-19 ini (detikNews.com, 28/1/2022). 

Umat Bersatu Tolak Isu

Umat Islam tidak memerlukan label dari pihak lain. Cukuplah Allah Pencipta alam semesta yang menyebut umat Islam dalam firman-Nya surat ali-Imran ayat 110 yang artinya, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,..” . 

Sementara Allah juga yang mengabarkan bahwa ajaran Islam akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana dalam surat Al-Anbiya Ayat 107 yang artinya,” Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Sehingga wajib hukumnya umat Islam menolak tudingan tak berdasar istilah radikal yang disematkan Barat kepada kaum Muslim dan ajaran Islam.

Di samping itu, umat tidak perlu bersedih dengan perlakuan buruk pihak yang memusuhi Islam.  Bukankah Rasulullah juga tak luput dengan labelisasi buruk kaum kafir Qurais kala itu?  Mulai julukan tukang sihir ataupun orang gila?

Akan tetapi Allah SWT juga membantahnya dalam Q.S. At-Thur 29 yang artinya, “Maka tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang tukang sihir dan bukan pula seorang gila. “

Oleh karena itu, sebagaimana Rasulullah SAW yang tetap memberi peringatan, yakni terus berjuang dan berdakwah, walau diberikan berbagai gelar buruk. Terus berjuang sampai Islam diterapkan dalam negara Madinah.  

Maka umat Islam juga harus terus berdakwah dan berjuang bersama, untuk menegakkan syariat Islam seluruhnya  dalam bingkai khilafah. Sebab, hanya dengan tegaknya negara berideologi Islamlah, umat akan mampu menghadapi dan menghentikan seluruh agenda musuh Islam, termasuk isu radikalisme ini.

Tak kalah pentingnya, umat harus tetap bersatu. Saling menguatkan dan mengokohkan. Bukankah umat Islam itu seperti satu tubuh? Satu bangunan? Sesungguhnya Allah hanya menurunkan satu Islam. Tidak ada Islam fundamentalis, radikal, moderat sebagaimana yang dikelompokkan Barat. 

Wallahu a’lam bishawab


Oleh: Sitha Soehaimi
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar