Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Krisis Ekologis Global, Butuh Solusi Sistemis Sesuai Fitrah Humanis


Topswara.com -- Jauh api dari panggang. Itulah peribahasa yang tepat dalam agenda membendung bencana besar kerusakan ekologis global. Bagaimana tidak? dunia yang tengah mengalami krisis iklim di mana-mana hingga menarik komitmen global untuk menurunkan emisi karbon dan deforestasi adalah pelaku utama penghasil emisi karbon terbesar.

Telah disebutkan dalam dokumen Climate Change Conference of The Parties ke 26  (COP26) Explanation, untuk menjaga suhu planet tetap terkendali kenaikan karbon harus dibatasi hingga 1,5 derajat. Inilah yang dimaksud dengan mencapai net zero. Namun bersebrangan dengan hal itu, Sekjen PBB Antono Guterres menyatakan kita tengah menuju cuaca ekstrim dengan kenaikan suhu global 2,7 derajat celcius, padahal harusnya menuju sasaran 1,5 C (beritasatu.com, 20/9/2021).

Hal ini juga senada dengan temuan dari penelitian dua Badan Lingkungan Eropa saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP 26 di Glasgow, Skotlandia, dipaparkan bahwa jejak karbon 1 persen  orang-orang super kaya terus tumbuh, sedangkan jejak karbon 50 persen orang-orang miskin tetap kecil. Ironisnya sang penyumbang emisi terkecil justru akan merasakan dampak terparah dari perubahan iklim ini. 

Naftoke Dabi di Oxfam, dari Institut Lingkungan Stockholm dan Institut Kebijakan Eropa menyayangkan adanya dugaan kuat diberinya perizinan bagi sekelompok kecil elit untuk bebas melakukan pencemaran (viva.co, 8/10/2021).

Maka diadakannya Konferensi Iklim COP26 seolah hanya drama datangnya pahlawan kesiangan.Hal ini juga menjadi bukti hipokrisi terhadap apa yang selama ini dilakukan.

Indonesia sendiri merupakan salah satu dari lima negara teratas dunia yang kehilangan banyak area hutan selama dua dekade terakhir. Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia telah kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Janji rezim untuk memberantas deforestasi pada 2014 lalu namun realitas berkata lain. Indonesia kehilangan 929.000 hektar hutan yang notaben sebab pembukaan lahan sawit. 

Sejatinya muasal deforestasi dikarenakan beberapa sebab seperti alih fungsi lahan raksasa kelapa sawit, pertambangan yang menggila, juga pembangunan infrastruktur besar-besaran. Kemudian lahirnya UU Cipta Kerja (2020) makin mengkonfirmasi janji 2014 silam saya lip service belaka. Lantas, bagaimana bisa merealisasikan pengurangan deforestasi? Sementara, faktor-faktor penyebab percepatan laju deforestasi sendiri terlindungi undang-undang yang legal.

Usut punya usut dalam beberapa dekade terakhir, sebenarnya berbagai perjanjian internasional telah ditandatangani untuk mengatasi masalah perubahan iklim dan lingkungan. Seperti Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim 1992, Protokol Kyoto 1997, dan Kesepakatan Paris, namun tantangan lingkungan tak juga teratasi bahkan kian mengkhawatirkan.

Jika ditelisik akar penyebab krisis lingkungan adalah cara pandang dengan ideologi kapitalisme yang materialistik telah mendominasi politik, ekonomi, dan sosial semua negara saat ini. Tatanan yang terobsesi pada profit menciptakan pola konsumsi dan produksi yang mengenyampingkan nilai kemanusiaan, termasuk menyoal perlindungan lingkungan. Maka selama sistem kapitalisme dijunjung tinggi, selama itu pula masalah deforestasi menyelimuti.

Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang memiliki solusi tuntas mengatasi deforestasi dan krisis iklim. Dalam pandangan Islam hutan termasuk ke dalam kategori lahan kepemilikan umum dan pengelolaannya harus di bawah tanggung jawab negara untuk kemaslahatan masyarakat luas. Haram adanya praktek privatisasi oleh pihak tertentu, baik individu maupun pihak asing-aseng. Islam akan memperhatikan aspek pengelolaan, pemanfaatan produktivitas lahan, dan konservasi hutan agar berjalan beriringan.

Tatanan yang berlandaskan takwa ini juga akan mencipta karakter intelektual/pakar/pejabat kehutanan yang tidak mudah tergiur materi menjadikan potensi kehutanan sebagai tumbal untuk swasta. Negara Islam juga akan mendorong penguasa untuk memfasilitasi riset guna penjagaan pelestarian keanekaragaman hayati. Maka hanya dengan Islam planet ini bisa diselamatkan. 

Allah SWT berfirman yang artinya “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar-Ruum [30]: 41).

Sudah saatnya manusia meredam ego dan nafsunya. Tunduk kepada aturan Sang Pencipta Semesta termasuk dalam pengelolaan alam. Sebab Allah SWT ialah Dzat Yang Maha Mengetahui pengelolaan yang paling baik untuk semua ciptaan-Nya. 

Wallahu a'lam bishawab


Oleh: Agustin Pratiwi S.Pd.
(Owner Mustanir Course)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar