Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Berharap Keadilan pada MK, bagai Pungguk Merindukan Bulan


Topswara.com -- Sejak awal disahkan pada 2 November 2020, UU Cipta Kerja (UUCK) atau yang kerap disebut omnibus law ini sarat kontroversi. Sejumlah pihak menilai UUCK adalah sebuah kesalahan fatal akibat proses legislasi yang ugal-ugalan. Tak lama setelah ditandatangani oleh Presiden Jokowi, sejumlah pihak termasuk KSPI mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas sejumlah pasal yang dinilai merugikan kaum buruh. Menyambut tuntutan dari berbagai pihak tersebut, akhirnya MK meminta DPR dan pemerintah merevisi UUCK.

MK telah memutuskan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak konstitusional. DPR dan pemerintah diberi waktu dua tahun untuk memperbaikinya agar dinilai konstitusional. Namun, hakim MK juga memutuskan bahwa UUCK tetap berlaku (voaindonesia.com, 03/12/2021).

Keputusan MK memberikan tenggat dua tahun untuk perbaikan pun menimbulkan polemik. Sejumlah pakar dan ahli angkat suara memberikan kritikan. Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, menilai putusan MK tidak tepat. Poin putusan yang menyatakan bahwa UU tersebut tetap berlaku menimbulkan kebingungan. Harusnya beku sementara waktu. 

Di lain sisi, Pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan putusan inkonstitusional bersyarat dua tahun tak lepas dari pertimbangan politik. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Fadli Zon, yang mengatakan UU tersebut bermasalah sejak awal pembuatannya. Menurutnya, terlalu banyak 'invisible hand' terkait UUCK. 

Kejanggalan demi kejanggalan tersebut semakin menegaskan bahwa MK hanya merespons tuntutan penolakan rakyat yang menuntut pemerintah merevisi, bukan mencabut UU yang cacat tersebut. Jika demikian adanya, benarkah kita masih bisa berharap pada MK ?

Berharap Keadilan pada MK, Utopis!

Indonesia menganut sistem politik demokrasi dengan konsep trias politika. Di mana pembagian kekuasaan ada pada tiga lembaga yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat atau membentuk undang-undang. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang, termasuk kekuasaan untuk mengadili setiap pelanggaran terhadap undang-undang.

MK adalah bagian dari lembaga yudikatif, yang tak terpisahkan dari sistem yang berlaku saat ini. Sebagai lembaga independen seharusnya MK bisa menjadi tempat berharap publik mendapatkan keadilan. Namun realitas saat ini menunjukkan bahwa ketiga lembaga tersebut lebih condong menjadi tameng bagi para kapital.

Sistem politik demokrasi yang dianut negeri ini nyatanya belum bisa memberikan jaminan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Segala peraturan maupun UU yang terlahir tak akan lepas dari berbagai kepentingan. Di mana bila simpul itu dihubungkan akan saling terkait yang ujung-ujungnya mengamankan kepentingan pemilik modal. Semua itu tidak lepas dari ideologi kapitalisme yang dianut negeri ini. 

Sedangkan kepemimpinan dalam sistem kapitalisme menempatkan penguasa hanya sebagai regulator. Bukan pengurus urusan rakyat. Karakter kepemimpinan yang seperti ini lahir dari rahim para korporat. Sehingga keberadaan mereka tunduk dan patuh pada para kapital. Terbukti dengan kebijakan yang mudah diutak-atik sesuai kepentingan sang empunya modal. Meskipun rakyat sendiri yang menjadi tumbal.

Mereka merencanakan dan mengesahkan UU yang memuluskan bisnis para korporat. Terbukti adanya UUCK yang diklaim untuk kepentingan rakyat, sejatinya adalah UU untuk mempermudah para kapital. Maka jelas ini adalah problem sistemik yang hanya bisa diselesaikan dengan pencabutan UU dan penataan ulang sistem ekonomi dalam negeri. 

Jadi berharap keadilan pada MK bagaikan pungguk merindukan bulan. MK sebagai lembaga Yudikatif yang independen belum bisa menjadi tempat umat mencari keadilan. Sebab, MK merupakan bagian tak terpisahkan dari rezim prokapitalis. 

Islam Menjamin Keadilan

Seperti yang dikatakan oleh Bivitri Susanti,  melihat rekam jejak MK yang selalu melakukan pertimbangan politik tidak hanya hukum. Semakin mempertegas bahwa lembaga kekuasaan yang ada dalam sistem sekuler saat ini berpeluang besar melakukan kecurangan. Mustahil rasanya berharap keadilan pada demokrasi kapitalisme yang dikendalikan korporasi. 

Menumpukan harapan kepada sistem buatan manusia yang amat lemah dan terbatas bagaikan berlindung pada sarang laba-laba yang terkena angin saja goyah. Sebagaimana firman Allah SWT,

Ù…َØ«َÙ„ُ الَّØ°ِÙŠْÙ†َ اتَّØ®َØ°ُÙˆْا Ù…ِÙ†ْ دُÙˆْÙ†ِ اللّٰÙ‡ِ اَÙˆْÙ„ِÙŠَاۤØ¡َ ÙƒَÙ…َØ«َÙ„ِ الْعَÙ†ْÙƒَبُÙˆْتِۚ اِتَّØ®َØ°َتْ بَÙŠْتًاۗ ÙˆَاِÙ†َّ اَÙˆْÙ‡َÙ†َ الْبُÙŠُÙˆْتِ Ù„َبَÙŠْتُ الْعَÙ†ْÙƒَبُÙˆْتِۘ Ù„َÙˆْ ÙƒَانُÙˆْا ÙŠَعْÙ„َÙ…ُÙˆْÙ†َ

"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui." (QS. Al-Ankabut: 41)

Apabila sistem saat ini tidak bisa menjadi harapan dan tumpuan. Kepada siapa lagi kita harus berharap selain kepada Allah. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini sudah sepaket dengan aturan-aturannya. Layaknya sebuah handphone baru pasti dilengkapi dengan manual instruction-nya. Begitu pula manusia yang Allah ciptakan lengkap dengan seperangkat aturan yang tertuang dalam kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW.

Lembaga peradilan dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini tidak lepas dari pengaruh filsafat Yunani. Di mana filosof hukum tersebut bersumber dari teori "iltizam". Dari teori tersebut melahirkan hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Teori tersebut berdasarkan keterikatan pada hukum karena kesepakatan. Tak peduli hukum tersebut benar atau salah, hakimnya zalim atau adil.

Berbeda dengan Islam. Dalam Islam, tidak mengenal teori iltizam sebab sumber hukum Islam bersumber dari wahyu Illahi. Bukan berdasarkan kesepakatan manusia. 

Peradilan dalam Islam diketuai oleh seorang qadhi yang disebut Qadhi Qudhat dengan syarat yang diatur oleh syari'at. Ada tiga macam peradilan dalam Islam.

1. Khusumat 
Adalah peradilan yang dipimpin oleh Qadhi Khusumat yang menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat baik yang berkaitan dengan muamalah maupun uqubat (sanksi).

2. Hisbah
Adalah peradilan yang dipimpin oleh Qadhi Muhtasib untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat. Tugas dan fungsinya adalah menegakkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran.

3. Madzalim
Adalah peradilan yang dipimpin oleh Qadhi Madzalim untuk menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya. Baik rakyat daulah ataupun bukan.

Tugas dan fungsi Qadhi Madzalim adalah menghentikan kezaliman yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya. Apabila terkait dengan kebijakan, Qadhi Madzalim akan membatalkan kebijakan tersebut. Apabila terkait dengan sikap atau tindakan semena-mena, maka Qadhi Madzalim akan menghentikan sikap dan tindakan tersebut. 

Selain itu Qadhi Madzalim juga mempunyai hak untuk menguji undang-undang dasar, undang - undang, dan peraturan pemerintah di bawahnya. Jika bertentangan dengan hukum syariat atau tabanni yang diadopsi negara, mengadopsi sesuatu yang seharusnya tidak boleh diadopsi maka Qadhi bisa membatalkannya.

Inilah tiga sistem peradilan dalam Islam. Semua orang dalam negara Islam mempunyai kedudukan yang sama dimata hukum. Dalam Islam tidak ada hukum lain yang diterapkan selain hukum Islam. Insya Allah dengan diterapkannya syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan akan membawa keadilan dan keberkahan di dunia dan akhirat. Bukankah kita sangat merindukan hadirnya sistem seperti itu?


Oleh: Ummul Asminingrum, S.Pd.
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar