Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pinjol Legal dan Ilegal, Transaksi Ribawi Harus Dihapus


Topswara.com -- Di tengah ekonomi masyarakat yang semakin sulit akibat pandemi, Pinjaman Online (Pinjol) sering menjadi pilihan tercepat, agar masyarakatmudah mendapatkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya. 

Dengan berbagai tawaran seperti cepatnya proses pengajuan pinjaman. Persyaratan mudah tanpa berbelit-belit. Dana bisa cair secepat kilat, tenor singkat, serta tidak adanya kewajiban memberi agunan menjadi beberapa alasan masyarakat banyak yang tergiur. 

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing menyatakan sejauh ini ada 121 pinjaman online legal yang ada di Indonesia. Ratusan penyedia jasa pinjol ini telah menyalurkan pinjaman mencapai Rp. 200 triliun lebih.

Tongam mengatakan sejauh ini sudah ada 64,8 juta orang Indonesia yang meminjam uang ke pinjol. Total dana pinjaman yang berhasil disalurkan senilai Rp 221,56 triliun. (Detikfinance, 06/10/21) 

Beban bunga yang tinggi dan terus menumpuk pada akhirnya membuat utang makin tak terbayar hingga mustahil terlunasi. Akibatnya, marak cerita mengenaskan dari masyarakat yang terjerat pinjol. Ada yang stres hingga depresi, bahkan berakhir dengan bunuh diri dan berada di bui lantaran tak sanggup bayar bunga yang terlampau tinggi.

Seperti baru-baru ini beredar kasus dari korban pinjol yang diduga tak kuat terus diteror debt collector pinjaman online. Seorang ibu di Wonogiri, Jawa Tengah, tewas gantung diri di teras rumahnya. 

WPS (38) nekat mengakhiri hidupnya lantaran terlilit utang pada puluhan pinjol. Ibu dua anak itu disebut meminjam uang pada 23 aplikasi pinjol dan satu koperasi simpan pinjam. Melalui surat wasiat yang ditinggalkannya, ia mengaku merasa frustasi karena terus-terusan mendapatkan teror. (Merdeka.com, 06/10/21) 

Jika ditelusuri, masih ada deretan kasus lainnya yang berujung pada keputusan untuk mengakhiri hidup. Presiden akhirnya buka suara terkait maraknya praktik pinjaman online ilegal tersebut. Ia meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika segera menyetop sementara (moratorium) perizinan bagi pinjol. (Bisnis.com, 15/10/21) 

Pada dasarnya, pinjaman online berserta riba (bunga) yang selangit merupakan indikasi himpitan ekonomi masyarakat sehingga menuntut hadirnya lembaga kreditur online berupa pinjol. Inilah kondisi masyarakat sesungguhnya. Utang menjadi jalan instan agar bisa bertahan hidup. 

Tak jarang pula mereka rela menggadaikan aset berharga demi memutar roda perekonomian rumah tangga. Bahkan di luar alasan ekonomi, ternyata ada pula yang terjerat pinjol karena tuntutan gaya hidup. Budaya hedonis yang makin merebak di tengah masyarakat, sementara pada saat yang sama, pola berpikir pragmatis pun makin menguat. Gaya hidup konsumtif membuat masyarakat tanpa berpikir panjang tergiur dengan tawaran pinjaman ribawi tersebut. 

Kasus pinjol menjadi bukti buruknya dampak transaksi ribawi. Sepatutnya negara tidak hanya meregulasi tapi menghapus tuntas penyebab masyarakat terjerat transaksi tersebut. Mulai dari penyebab karena faktor  kemiskinan, gaya hidup konsumsi hingga adanya lembaga-lembaga keuangan ribawi yang masih eksis keberadaan. 

Pada 15/7/2021, BPS merilis laporan bahwa pada Maret 2021, 10,14 persen atau 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin. Tingkat kemiskinan ini sedikit turun dari September 2020, tetapi masih lebih tinggi daripada kondisi sebelum pandemi (September 2019). (smeru.or.id, 6/9/2021)

Saat ini OJK bersama 12 Kementerian dan lembaga lain bergabung dalam Satgas Waspada Investasi (SWI). Kegiatannya mencakup edukasi, pencegahan, dan penindakan. Beberapa pinjol ilegal juga sudah dipolisikan.

Namun, yang perlu digaris bawahi yaitu pemerintah tampak tak peduli bahwa sejatinya pinjol legal dan ilegal keduanya sama-sama haram. Karena meski telah berlabelkan “legal”, transaksi pinjol hakikatnya adalah praktik ribawi yang dosanya amat besar dan diharamkan.

Legalisasi inilah yang justru menyebarluaskan keharaman di tengah-tengah masyarakat. Alih-alih mencegah masyarakat dari perbuatan buruk dan haram. Serta menuntaskan permasalahan kemiskinan dan meluruskan gaya hidup yang rusak di tengah masyarakat. Negara justru memfasilitasi untuk kian terjerumus pada keharaman. Padahal sesuatu yang haram pasti akan berujung pada kerusakan dan kemudaratan.

Maka berharap sistem keuangan dan sistem hidup semacam ini menjadi solusi kesejahteraan, hanyalah khayalan. Ibarat jauh panggang dari api, yang terjadi justru kian kezaliman semakin merajalela, ketimpangan, bahkan penjajahan melalui uang.

Inilah konsekuensi hidup dalam sistem kapitalis yang diterapkan dengan asas sekularisme. Seolah bukan menjadi urusan negara ketika rakyatnya jatuh dalam maksiat riba dan menimbulkan kemudaratan.

Terlebih, transaksi riba yang dilegalkan saat ini bukan hanya pinjol saja. Nyaris semua transaksi keuangan yang ada dan berlaku di masyarakat, mulai level besar hingga mikro, berbasis pada skema riba. Padahal Allah SWT dengan tegas melarang praktik riba ini, bahkan menganggap pelakunya sedang menantang perang dengan Allah dan Rasul-Nya.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,
 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (TQS Al-Baqarah [2]: 278-279)

Bahkan dalam hadis Rasulullah SAW disebutkan, beliau pernah bersabda, 
“Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani) 

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban umat saat ini mencampakkan sistem rusak kapitalis dan menggantinya dengan sistem Islam. Yakni sebuah sistem yang tegak di atas keimanan dan ketakwaan pada seluruh hukum syara' yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah. Yang akan menjaga umat baik di dunia dan akhirat. 
Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Mesi Tri Jayanti, S.H.
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar