Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemerintah Cegah Khitan Perempuan, Pakar Parenting Islami: Yang Bahaya Itu Praktik Female Genital Mutilation


Topswara.com -- Menanggapi rencana pemerintah yang serius berkomitmen mencegah sunat perempuan, Pakar Parenting Islami Ustazah Yanti Tanjung menjelaskan bahwa yang berbahaya sesungguhnya praktik female genital mutilation. "Yang bahaya itu praktik female genital mutilation," tuturnya kepada Topswara.com, Kamis (7/10/2021).

Menurut Ustazah Yanti, jika praktik khitan perempuan dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, tidak membahayakan, justru berdampak baik bagi kesehatan reproduksi perempuan. Oleh karena itu menurutnya, justru yang berbahaya adalah menjadikan masalah female genital mutilation sebagai agenda global yang wajib ditindaklanjuti negara-negara di dunia, khususnya negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Sebab, ia menilai agenda itu merupakan upaya liberalisasi ajaran Islam.

"Jika ditinjau lebih jauh maka kampanye ini lebih kepada menebarkan aroma liberalisasi ajaran Islam, seakan-akan Islam dianggap memaksa anak perempuan melakukan sunat atau khitan," ujarnya.

Menurut Ustazah Yanti, pemerintah serius berkomitmen mencegah terjadinya praktik perlukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. 

Lebih lanjut, menurutnya, komitmen pemerintah itu dilakukan untuk mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017, terutama dalam menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan.

Sementara itu, menurut Ustazah Yanti, persoalan sunat perempuan kembali mencuat ke permukaan tidak lepas dari upaya mempercepat terwujudnya kesetaraan gender dengan Planet 50×50 dan SDGs 2030.
 
"Untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan gender dengan Planet 50×50 dan SDGs 2030, dibuatlah kampanye multigenerasi “Generation Equality: Realizing women’s rights for an equal future” oleh UN Women," ujarnya.

Berkenaan dengan kampanye tersebut, Ustazah Yanti menjelaskan hal itu sejalan dengan pernyataan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus pada kesempatan Hari Internasional Nol Toleransi untuk Mutilasi Genital Perempuan tanggal 6 Februari 2020 yang lalu, yang menegaskan tekad “zero female genital mutilation by 2030.” 

Ustazah Yanti menjelaskan, dunia melarang dengan anggapan sunat perempuan merupakan tindakan kekerasan terhadap anak perempuan dan dapat berakibat buruk pada kesehatan reproduksi perempuan di kemudian hari. Hal itu dilihat pada praktik-praktik sunat anak perempuan di daerah tertentu yang menyalahi, seperti di wilayah Afrika atau pelosok-pelosok. Sayangnya mereka mengabaikan khitan anak perempuan dalam Islam yang sama sekali berbeda.

"Jika kita perhatikan realitas kampanye ini dan apa yang terjadi pada sunat perempuan di kehidupan kaum Muslim sebenarnya jauh berbeda," terangnya.

Ustazah Yanti menjelaskan, beberapa metode yang digunakan dalam sunat perempuan menurut WHO, yaitu: pertama, clitoridectomy, pemotongan sebagian atau seluruh klitoris, atau selaput di atasnya; kedua, excision, pemotongan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau labia minora dengan atau tanpa memotong labia majora; dan ketiga, infibulation, mempersempit lubang vagina dengan selaput penutup, dengan memotong atau mengubah bentuk labia majora dan labia minora. Sedangkan klitoris tidak disentuh sama sekali. Tindakan lain yang melukai vagina tanpa tujuan medis. 

Sementara itu, Ustazah Yanti menilai dunia telah mengabaikan metode khitan perempuan dalam Islam. "Dunia fokus ke female genital mutilation tapi tidak menyinggung metode pemotongan sedikit klitoris yang merupakan khitan yang dibenarkan dalam Islam. Namun, kampanye ini memberlakukan pelarangan seluruh bentuk metode sunat perempuan," imbuhnya. 

Karenanya, ia menilai, kampanye zero female genital mutilation lebih kepada liberalisasi ajaran Islam, sebab sesungguhnya khitan atau sunat sebenarnya berasal dari tradisi Islam dan bagian dari ajaran Islam. "Atas nama hak asasi manusia, kampanye ini ingin memerangi Islam sebagai ajaran yang intoleran terhadap hak-hak reproduksi perempuan dan menciderai kesuksesan ide kesetaraan gender yang notabene sebagai ranah perjuangan perempuan dunia," pungkasnya. [] Saptaningtyas
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar