Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengharap Solusi Tuntas Kriminalitas dari Lapas


Topswara.com -- Kabar duka datang dari Lapas Kelas 1 di Tangerang. Lapas tersebut terbakar dengan dugaan masalah arus pendek. 

Hal ini dipertegas oleh Menkumham, Yasonna Laoly, yang mengatakan bahwa Lapas Kelas 1 di Tangerang adalah bangunan lawas. Lapas tersebut ada sejak 1972 dan hingga saat ini tidak ada perbaikan instalasi listrik meskipun ada tambahan daya listrik. 

Selain itu, diketahui bahwa lapas tersebut juga kelebihan penghuni hingga 250 persen. Lapas yang harusnya diisi sekitar 600 orang, saat ini diisi sebanyak 2.072 orang.

Kejadian kebakaran pada lapas ini bukanlah yang pertama, juga tidak menutup kemungkinan akan ada kasus serupa di lapas lainnya. Hanya saja, apakah benar hal itu terjadi lantaran karena over kapasitas? Seolah tak pernah belajar dari kejadian sebelumnya dan sering mengklaim kejadian kebakaran tersebab over kapasitas.

Pernyataan over kapasitas ini dikemukakan oleh pihak Ditjen Permasyarakatan Kemenkumham. Alasan ini seolah menunjukkan kegagalan Kemenkumham menyelesaikan permasalahan lapas sejak lama.

Seorang anggota Komisi Hukum DPR meminta kasus tersebut diselidiki sampai tuntas dan hasilnya jangan ditutup-tutupi. Selain itu, harus dilakukan audit keamanan secara menyeluruh terhadap seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia agar kejadian serupa tak terulang di masa depan. (suaracom, 8/9/2021)

Di sisi lain, kita juga bisa melihat bagaimana penegakkan peradilan di negeri ini. Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, kelebihan penghuni hanyalah efek dari sistem peradilan Indonesia yang menjadikan penjara sebagai hukuman utama. Maidina mencatat sebanyak 52 kali hukuman penjara sering digunakan hakim dan jaksa dalam proses pidana. Sehingga, terjadilah over kapasitas karena narapidana senantiasa berakhir di penjara.

Belum lagi, mereka yang ditahan karena terjerat dengan pasal-pasal karet UU ITE yang berakhir di penjara. Tahanan yang semestinya tak perlu ditahan tetapi karena adanya kepentingan menjadikan mereka turut serta menjadi penghuni lapas sehingga menambah beban kapasitas lapas.

Sudah jamak diketahui solusi yang ditawarkan oleh penguasa bukanlah solusi yang tepat terhadap permasalahan yang timbul alias bersifat pragmatis. Solusi tersebut antara lain adalah:
Pertama, revisi UU Narkotika. Hal ini disampaikan oleh Menkumham Yasonna Laoly. Dilansir dari BBC, 8/9/2021, Menkumham Yasonna Laoly meyakini persoalan ini disebabkan dominasi narapidana kasus narkoba di penjara-penjara. Saat ini jumlahnya mencapai 50 persen dari total narapidana di seluruh Indonesia. Sisanya adalah kasus-kasus lain seperti teroria, pembunuhan, dan pencurian.

Pertanyaannya, apakah dengan revisi UU Narkotika over kapasitas lapas bisa terurai? Apakah dengan mengubah jenis hukuman bagi pengguna barang haram itu akan menyelesaikan masalah lapas dan menghentikan peredaran juga pemakaian narkotika?

Jika memang yang menjadi masalah adalah narkotika, harusnya memikirkan cara untuk memberantasnya hingga ke akarnya. 

Kedua, adanya pengesahan RUU Permasyarakatan. RUU ini dianggap sebagai solusi terhadap over kapasitas lapas. Tapi sayang, meski banyak RUU disahkan jika tidak menyentuh akar permasalahan, hasilnya akan tetap saja. Atau justru menimbulkan permasalahan baru nantinya. 

Ketiga, pemberlakuan sistem sanksi yang jauh dari efek jera bagi pelaku. Adanya hukuman penjara sering menjadi andalan untuk memvonis narapidana. Pasalnya, sudah banyak residivis keluar masuk penjara sebab tak ada hukuman yang membuat mereka jera. Parahnya, penjara juga bisa digunakan sebagai tempat transaksi narkoba.

Keempat, pembangunan penjara baru. Hal ini disampaikan oleh Mahfud MD, Menkopolhukam, dengan menggunakan dana hasil sitaan kasus BLBI untuk membangun penjara baru agar tidak over kapasitas. 

Lantas bagaimana bisa membangun penjara baru tanpa mengatasi tindak kriminalitas? Sebab, mau di bangun sebanyak apapun lapas nyatanya angka kriminalitas tetap ada bahkan meningkat setiap harinya.

Di awal tahun 2021 saja, angka kriminalitas mengalami kenaikan. Pada Februari 2021, angka kejahatan meningkat dari 4.878 kasus di pekan ke-3 menjadi 5.247 kasus di pekan ke-4. Parahnya, ini terjadi dalam kurun waktu satu bulan. 

Meningkatnya kasus kriminalitas bukan tanpa sebab. Hal ini tak bisa dilepaskan dari tatanan hidup sekuler. Dalam kehidupan hari ini orang begitu mudah melakukan tindak kejahatan karena tak adanya iman dalam diri mereka. Karena permasalahan ekonomi, orang tega mencuri, membegal, merampok, dan sebagainya. Ekonomi sulit juga bukan tanpa sebab, hal ini karena kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Negara juga tak memastikan dan menjamin kebutuhan dasar rakyat terpenuhi.

Kejadian ini akan berbeda jika dipandang dengan sudut pandang Islam. Penjara dalam Islam adalah salah satu jenis takzir, yaitu sanksi yang kadar hukumannya ditetapkan oleh khalifah. Dalam buku "Sistem Sanksi dalam Islam" karya Syekh Abdurrahman Al Maliki dijelaskan bahwa pemenjaraan memiliki arti mencegah atau menghalanhi seseorang untuk mengatur diri sendiri. Artinya, dia diberi batasan dalam melakukan aktivitas. Dia hanya diberi kebebasan beraktivitas sebatas keperluan asasnya sebagai manusia, seperti makan, minum, buang air, dan istirahat. Sanksi pemenjaraan sudah pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para khalifah setelah beliau saw.

Karena penjara adalah tempat untuk menghukum pelanggar dan pelaku kriminal, maka fungsinya haruslah memberikan rasa takut dan cemas. Lampu tidak boleh terang, tak boleh ada alat komunikasi, atau hiburan. Semua diperlakukan sama, baik kalangan pejabat atau rakyat biasa. Para narapidana tetap diperlakukan secara manusiawi namun tak mengistimewakammya. Tak seperti kondisi hari ini, ada sel penjara mewah, ada juga sel penjara tak manusiawi.

Islam juga memenuhi hak-hak narapidana sebagai manusia. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada masa khalifah Harun ar Rasyid, para narapidana dibuatkan baju khusus sesuai musimnya. Selain itu juga ada pemeriksaan kesehatan secara berkala. 

Hukum dalam Islam adalah hukum yang tegas. Sehingga sanksi yang diberlakukan akan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Efek jera ini memiliki fungsi zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Efek zawajir akan membuat orang lain tidak melakukan kejahatan serupa dengan pelaku. Sedangkan efek jawabir berkorelasi dengan akhirat kelak sehingga ketika sudah ditegakkan sanksi atas pelaku, maka tidak akan mendapat azab pedih dari Allah SWT di akhirat.

Islam juga memiliki strategi untuk mencegah kriminalitas, antara lain:
Pertama, membina keimanan dan ketakwaan individu dengan akidah Islam, juga penerapan Islam secara totalitas akan menumbuhkan ketakwaan di masyarakat maupun negara

Kedua, empati tinggi yang terwujud dalam dakwah amar makruf nahi mungkar. Dengan lingkingan Islami, setiap kemaksiatan bisa dicegah. Adanya kebiasaan untuk saling memberi nasihat, mengontrol, mengawasi, dan memuhasabah, maka setiap pelanggaram syariat akan bisa dicegah.

Ketiga, peran para penegak hukum sesuai fungsinya, mereka menyadari tanggung jawab serta memiliki keimanan yang kuat. Sehingga akan membuat masyarakat merasa aman dan tidak segan untuk melaporkan tiap kejahatan yang terjadi.

Keempat, adanya jaminan dari negara terhadap pemenuhan kebutuhan dasar per orang yang menjadi warganya. 

Jika semua itu sudah ditegakkan dan masih ada pelanggaran maka barulah diberlakukan aspek hukuman berupa sanksi. Dan hal ini akan bisa terwujud dalam tatanan kehidupan yang menerapkan Islam kafah dalam bingkai Khilafah.[]

Oleh: Nila Indarwati 
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar