Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perang Baliho: Kepak Syahwat Kekuasaan di Atas Penderitaan Kaum Emperan


Topswara.com -- Pandemi belum usai, 2024 sudah mulai. Kalimat sindiran seorang warga ini viral di dunia maya, merespons perang baliho antarpolitikus menuju kontestasi Pilpres 2024. Masih tiga tahun lagi. Namun gebyarnya seolah menandakan tak lama lagi. 

Tak ayal, fenomena yang tersebar di seantero negeri ini menuai kritikan tajam berbagai kalangan. Pasalnya, di tengah duka pandemi yang kian tak bertepi, pemasangan baliho menjadi hal tak relevan. Pun tak berkorelasi terhadap penuntasan pandemi Covid-19. 

Wajar jika banyak warganet menggugat aksi para politikus tersebut di laman media sosial mereka. Mereka mempertanyakan masihkah memiliki rasa malu memajang gambar narsis besar-besar berbiaya tinggi, sementara rakyat tengah bergulat melawan pandemi dan berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Demi mengepakkan syahwat kekuasaan, apa pun akan dilakukan. Bahkan hingga mati rasa empati terhadap penderitaan kaum emperan atau berbagai keadaan di hadapan. Sebuah "fenomena biasa" dalam alam demokrasi kapitalistik yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Pun pijakan untuk meraih kekuasaan selanjutnya yang lebih lama dan lebih luas.

Krisis Empati

Alih-alih memfokuskan pada penyelesaian pandemi Covid-19, sejumlah pejabat (politikus) justru mengambil ancang-ancang bertarung menuju Pilpres 2024. Dalam model kemenangan berbasis pengumpulan suara terbanyak, menjadi sosok terkenal adalah keniscayaan. Semakin seseorang dikenal, entah karena: keturunan, kekayaan, jabatan, kecerdasan, dan lain-lain, ia pun kian berpeluang dipilih dalam ajang kontestasi. 

Maka, pemasangan baliho dipandang sebagai salah satu cara efektif mengenalkan diri ke publik, demi menaikkan citra hingga mendulang popularitas. Meskipun menghabiskan dana sangat banyak. Inilah salah satu wajah penerapan demokrasi berbiaya tinggi. 

Tak hanya soal baliho. Kritikan bahwa para pejabat atau pemimpin negeri ini minim empati di masa pandemi, telah ada sejak virus Covid-19 bertandang ke Indonesia. Saat itu, mereka bersikap remeh dan abai dalam menganalisis potensi ancaman krisis. Tentu tidak elok menyikapi hal demikian dengan cara remeh seperti: candaan, kelakar, gelak tawa, serta beragam sikap santai lainnya, seolah menganggap tidak terjadi apa-apa atas pandemi Covid-19. 

Hingga sekarang, aroma krisis empati masih terasa menyengat. Beberapa waktu lalu, seorang pejabat membuat cuitan aktivitasnya di Twitter yaitu menonton sinetron yang sedang hits saat pemberlakuan PPKM. Bahkan, ia sampai mengomentari detil alur ceritanya. Bukti bahwa dirinya menonton dengan seksama. Sikap seperti ini tentu tidak pantas dilakukan sekelas menteri saat rakyat susah akibat penerapan PPKM. 

Selain itu, fenomena perang baliho tak hanya menunjukkan krisis empati para pemimpin negeri ini. Juga ketidakmampuan menetapkan skala prioritas dan urgensitas langkah penanganan pandemi. Tak heran jika ada beberapa hal yang menjadi sorotan publik yaitu: buruknya tata kelola komunikasi publik dalam menghadapi krisis yang berujung pada disinformasi dan kegaduhan, ketidakadilan  penanganan hukum terhadap pelanggar prokes, pola kebijakan tidak integral seperti PPKM yang menyuruh rakyat di rumah tanpa jaminan kebutuhan pokok, hingga minimnya fasilitas kesehatan bahkan bagi para nakes.

Pemasangan baliho saat ini jelas tidak tepat momentumnya. Tidakkah lebih utama jika dananya untuk membantu rakyat memenuhi kebutuhannya? Atau hal lainnya yang lebih dekat pada penyelesaian problematika pandemi. Ayolah, rakyat butuh kerja nyata Anda, wahai para pemimpin bangsa! Rakyat tak akan sehat dan kenyang, hanya dengan memandang wajah Anda di baliho yang terpasang.

Terlebih soal etika. Apakah syahwat kuasa lebih berharga daripada rasa empati terhadap penderitaan kaum jelata? Tegakah menebar citra dengan berpose narsis, di antara wajah duka dan isak tangis para anggota keluarga yang kehilangan sanak saudara akibat Covid-19? Juga di tengah ratusan nakes yang gugur menjalankan tugas menyelamatkan rakyat? 

Ya, politik tanpa etika nampaknya menjadi hal biasa yang terus-menerus dipertontonkan di hadapan publik. Ironi semacam ini bukanlah hal aneh dalam praktik pemerintahan demokrasi kapitalistik. Bersandar pada ruh kebebasan, materialistik dan abai Tuhan (Allah), pemimpin dalam sistem ini cenderung bermain politik ala Machiavelli. Menurutnya, penguasa kuat harus bersikap keras terhadap rakyat, serta kelangsungan kekuasaan membenarkan segala cara meski brutal dan tidak bermoral. 

Oleh karena itu, kekuasaan di tangan rakyat hanya mantra kosong demokrasi. Faktanya, rakyat bukan penguasa. Pun penguasa bukan pelayan rakyat. Yang berkuasa adalah penguasa itu sendiri bergandeng mesra dengan para pemilik modal di mana kepentingan merekalah yang diprioritaskan. Kemaslahatan rakyat adalah nomor dua. Maka, berharap pemimpin yang memiliki rasa empati tinggi hadir dalam sistem politik demokrasi seperti bermimpi. Lantas, mengapa masih bertahan dengan mengatakan demokrasi harga mati?

Pemimpin Berempati Tinggi

Sekian fakta minimnya empati pemimpin dalam sistem demokrasi kapitalistik telah terbukti. Selain krisis empati, rakyat bukanlah prioritas. Mereka tidak berorientasi melayani kebutuhan rakyat. Namun lebih menyelamatkan dan memperkaya diri serta lingkarannya, tanpa tersentuh penderitaan rakyat. 

Karakter pemimpin ala kapitalistik tentu bertolak belakang dengan gambaran penguasa dalam Islam. Sebagaimana sosok Rasulullah SAW sebagai prototipe terbaik dalam mengelola pemerintahan. Bergelar uswatun hasanah, beliau memberikan teladan bagaimana memilih pejabat hingga menetapkan kebijakan yang bernilai empati tinggi.

Sejak Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau memerintah dan memelihara kepentingan masyarakat. Ketika mengangkat pejabat, beliau memilih orang terbaik dalam posisinya. Beliau juga bertanya kepada mereka tentang tata cara yang akan dijalani dalam mengatur pemerintahan. 

Pun beliau mengirim wali kepada orang yang masuk Islam dan memerintahkannya untuk membimbing mereka. Para wali juga bertugas menggembirakan masyarakat dengan Islam, mengajarkan Al-Qur'an, bersikap lemah lembut kepada masyarakat dan tegas terhadap kezaliman.

Rasulullah SAW mengangkat para qadhi yang bertugas menetapkan keputusan hukum. Juga mengangkat seorang kepala untuk setiap urusan kemaslahatan, sebanyak apa pun jumlahnya.

Pada saat terjadi wabah, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu. Dan bila terjadi wabah sementara kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya." (HR. Muslim). Inilah yang dikenal sekarang dengan istilah karantina wilayah atau lockdown, sebagai solusi shahih menangani wabah. 

Sepeninggal Rasulullah SAW, di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab juga pernah dilanda wabah. Nampaklah karakter pemimpin berempati tinggi yang dimotori langsung oleh sang khalifah. Dalam buku “The Great Leader of Umar bin Khaththab” karya Dr. Muhammad Ash-Shalabi, kita bisa melihat penanganan pandemi di era keemasan Islam ini. 

Berawal dari keteladanan sang khalifah, beliau bergaya hidup sederhana terlebih di kala wabah. Beliau senantiasa bertobat memohon ampun, mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meminta pertolongan-Nya. Nyawa manusia diprioritaskan, bukan ekonomi yang didahulukan. Ini terbukti ketika wabah melanda, beliau memberi makan orang-orang yang  datang ke Madinah sebagai pusat pemerintahan. Dikisahkan jumlahnya mencapai 70.000 orang. 

Selain itu, Khalifah Umar juga menunda pengambilan zakat selama masa sulit. Demikianlah, nyawa manusia dan kebutuhan rakyat sangat diperhatikan dan rakyat tidak dibebani di masa sulit (krisis). Khalifah Umar sangat memahami bahwa satu nyawa dalam Islam dihargai sama dengan seluruh nyawa manusia. 

Sebagaimana firman Allah SWT, ”Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…” (QS. Al-Maidah: 32). 

Dalam sistem Islam, jabatan bukan sarana memperkaya diri, mencari kehormatan dan reputasi fatamorgana. Kepemimpinan adalah tanggung jawab besar. Terlebih di tengah pandemi, tanggung jawab tersebut memerlukan strategi jitu dalam menetapkan kebijakan. Tidak bisa sembarangan tanpa perhitungan. 

Setelah melihat bukti kerusakan yang terjadi, hendaknya sistem demokrasi kapitalistik segera dicampakkan. Sistem rusak pasti melahirkan pemimpin cacat pola pikir, serakah, serta minim empati. Hanya sistem Islam yang melahirkan pemimpin amanah, berempati tinggi, dan menjadikan rakyat sebagai prioritas demi mencapai ridha Allah SWT. []


Oleh: Puspita Satyawati
(Analis Politik dan Media)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar