Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penanganan Covid-19 dengan Utang, Sejatinya Kemana Dananya?


Topswara.com -- Pandemi hampir dua tahun di negeri ini. Angka-angka korban dan kasus baru juga masih menunjukkan kenaikan. 

Kasus positif Covid-19 di Indonesia Sabtu (7/8/2021), bertambah 31.753 kasus. Total kasus selama pandemi menjadi 3.639.616 orang. Kasus kesembuhan terdapat 39.716 pasien sembuh, sehingga totalnya menjadi 3.036.194 orang. Namun, kasus kematian akibat Covid-19 masih tinggi. Tercatat 1.588 kasus pasien meninggal hari ini. Dengan penambahan itu, total pasien meninggal 105.598 orang (OkeZone, 7/8/2021).

Pandemi sungguh membawa derita dan kesusahan yang nyata. Terlebih nakes sebagai garda pertama penangganan, dan pengobatan korban.

Amnesty International Indonesia (AII) memaparkan aduan dari 21.424 tenaga kesehatan (nakes) yang tersebar di 21 provinsi terkait pemberian insentif yang dijanjikan selama menangani pandemi virus corona (Covid-19). Media and Campaign Manager AII Nurina Savitri menyebut ribuan aduan itu merupakan kumulatif keluhan nakes dari periode Juni 2020 yang notabenenya bulan pertama insentif nakes disahkan pemerintah, hingga Juli 2021.

Adapun aduan itu terkait pemberian insentif yang molor hingga pemotongan sejumlah insentif dari yang dijanjikan. "Kami menemukan ada sejumlah penundaan atau pemotongan pembayaran insentif mulai Juni 2020-Juli 2021, dari ujung di Sumatera hingga timur di Papua, rata. Setidaknya ada 21.424 nakes di 21 provinsi yang tersebar di 34 kabupaten/kota yang pernah mengalami itu," kata Nurina dalam diskusi daring, Jumat (6/8).

Nurina menjelaskan temuan itu AII dapatkan dengan mengonfirmasi laporan media dan laporan yang diterima oleh inisiatif data independen LaporCovid-19 dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang daerah, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan asosiasi profesi medis lainnya.

Nurina juga mengatakan, 2.754 dari 3.689 nakes yang disurvei pada periode Januari-Februari 2021, sekitar 75 persen di antaranya mengatakan tidak menerima insentif sama sekali (CNN Indonesia, 6/8/2021).

Yang menyebabkan semakin perih, ternyata beberapa daerah mengaku sudah adanya dana turun tapi tidak terbayar juga insentif untuk nakes. Insentif nakes daerah baru cair 23,66 persen per 17 Juli 2021. 

Padahal nakes adalah tenaga yang menjadi garda terdepan penanganan Covid-19. Tidak adakah alokasi dana secara teknis untuk Covid-19 dalam APBN??

Badan Anggaran (Banggar) DPR RI angkat suara soal besarnya utang pemerintah saat menanggulangi Covid-19. Asal tahu saja, utang pemerintah pada akhir tahun 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun (Kompas.com, 25/7/2021). Ini jelas menyebutkan bahwa adanya dana utang untuk penanggulangan Covid-19.

Tingginya kenaikan utang negara dalam satu tahun dengan alasan penanggulangan Covid-19 tentu saja dipertanyakan untuk apa dan kemana  alokasinya.

Ketua Banggar Said Abdullah mengatakan utang tersebut digunakan pemerintah untuk menambah anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Berbagai bantuan seperti insentif kesehatan, biaya vaksinasi, hingga bantuan sosial dianggarkan dalam program tersebut (Kompas.com, 25/7/2021). 

Agenda PEN nasional yang sudah dilakukan terbukti adanya kebocoran di sana sini. Sebutlah korupsi bansos oleh Juliari dan Hengky.

Tindakan korupsi di tengah situasi penderitaan masyarakat sungguh tidak bermoral. Yang jelas, ada dugaan anggaran yang dikorup via data penerima bansos ganda yang mencapai 21 juta sebesar Rp. 35 triliun. Korupsi ini tidak bisa diusut, karena pemerintah telah melindungi korupsi anggaran bansos untuk covid-19 dengan menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (menjadi UU No. 2 Tahun 2020).

Kasus lain adanya vaksin terbuang yang mencapai 12 juta. Vaksin terbuang, jika di hargai Sinovac maka setara dengan 2,5 T. Tidak dijelaskan detail tentang alasan belasan juta vaksin bisa terbuang. 

Dalam sebuah wawancara di CNN Indonesia TV, Rabu (28/7), Arya Sinulingga hanya menyebut bahwa vaksin itu terbuang karena tidak terpakai setelah kadung dibuka dari tempat penyimpanan (Rmol, 29/7/2021). Mengingat saat ini sedang gencarnya kegiatan vaksinasi dengan target dua juta dosis per hari maka hal ini merupakan kehilangan yang besar.
Kebijakan pemda untuk mencairkan dana pun berbeda-beda. Kepala Bagian Humas Pemkot Surabaya, Febriadhitya Prajatara mengakui keterlambatan pencairan dana insentif pelayanan Covid-19 dikarenakan Pemkot Surabaya harus melakukan proses refocusing anggaran terlebih dahulu (CNNIndonesia, 27/07/2021) .

Kasus demi kasus yang terjadi semakin menjadikan masyarakat curiga dan tidak percaya pada penguasa negeri ini. Kemana dana besar itu pergi? Sementara angka Covid-19 terus meningkat, banyaknya rakyat terdampak tanpa bantuan logistik dan pengobatan. Juga tingginya kematian isoman. 

Jika serius menangani pandemi kenapa juga hingga hampir dua tahun dan sudah masuk gelombang dua serangan Covid-19 Indonesia sudah ngos-ngosan.

Rakyat butuh angin segar dan harapan untuk bertahan dalam pandemi dan sulitnya hidup dalam Kapitalisme. Alih-alih instrospeksi penguasa selalu mengulang kesalahan yang sama. Menyalahkan rakyat untuk penyebaran Covid-19, lalu memperpanjang PPKM level 4 tanpa adanya jaminan. 

Tugas terpenting yang harus dilakukan selama PPKM adalah testing, tracking dan treatment wilayah yang ada. Berapa persen yang terdampak, harusnya sudah bisa dibaca wilayah dan polanya. Jika 3T dilakukan dengan benar.

Tugas demi tugas penanganan Covid-19 tidak lepas dari peran dokter dan nakes. Tapi lihatlah rezim dan sistem kapitalis ini. Nakes dan dokter serta rakyat bukanlah pengemis yang harus memelas meminta hak nya dan perlindungan. 

Sudahlah dana APBN membengkak karena utang yang katanya untuk pemulihan negara tapi faktanya untuk rayahan para konglomerat dan penguasa tamak. Beberapa saat yg lalu pemerintah lebih memilih memberikan dana APBN utk sekitar 12 BUMN daripada untuk bansos dan insentif nakes. Maka terlihatlah jelas kecenderungan penguasa negeri ini. Mereka memilih aspek ekonomi daripada penyelamatan rakyatnya. 

Persoalan pandemi adalah bagian dari persoalan kesehatan. Sehingga, fokus penyelesaiannya juga menggunakan pandangan sistem kesehatan, bukan mencampuradukkan pada masalah ekonomi. Jika hal itu terjadi, masalahnya tidak akan selesai, bisa jadi justru akan lebih parah. 

Meskipun demikian, tidak dipungkiri bahwa seluruh sub sistem saling berkaitan. Kesehatan berhubungan dengan ekonomi, sebagaimana ekonomi juga berhubungan dengan kesehatan. Untuk penanganan kesehatan negara wajib menanggung semua pembiayaan tanpa kecuali.

Negara perlu memiliki pemasukan yang independen, seperti pemasukan dari pengelolaan sumber daya alam. Dalam Islam, ada pemasukan lain seperti jizyah, kharaj, ghanimah, dan lain-lain. Pengelolaan seperti ini tidak akan diperoleh dalam sistem ekonomi kapitalis. 

Ketika ada dugaan penyalahgunaan harta negara oleh pejabat, atau tidak dijalankannya fungsi riayah, Mahkamah Mazhalim akan membuktikannya dan memberi sanksi yang tegas pada pelaku. Demikianlah sistem Khilafah mewujudkan kekuasaan yang amanah dan melaksanakan riayah sehingga terwujud rakyat yang sejahtera.
Wallahu a’lam bishawwab

Oleh: Retno Asri Titisari
(Pemerhati Politik)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar