Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hanya Sistem Islam yang Mampu Menghentikan Pandemi


Topswara.com -- Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari setahun. Namun, banyak negara di dunia yang masih harus berjibaku untuk mengatasi pandemi. Dilansir dari KOMPAS.com (6/08/21) bahwa kasus baru Covid-19 di Indonesia masih tinggi, begitupun angka kematian. Data dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 hingga Jumat (6/8/2021) pukul 12.00 WIB menunjukkan, ada penambahan 39.532 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan tersebut menyebabkan total kasus Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai 3.607.863 orang. 

Media asing Bloomberg memberikan penilaian bahwa Indonesia adalah negara yang dinilai paling buruk dalam menangani pandemi. Hal ini disebabkan tingginya angka kematian harian dan rendahnya vaksinasi, yaitu 11.9 persen dari total penduduk. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa tidak ada jurus jitu untuk menangani Covid-19. Ia mengatakan, tidak hanya di Indonesia saja, tetapi seluruh negara di dunia juga sedang berjuang menangani pandemi (Tribunnews.com, 31/7/2021). 

Penanganan pandemi yang tidak tepat, menimbulkan banyak gelombang protes dari rakyat. Dikutip dari Republika.co.id (01/08/2021), Presiden Tunisia, Kais Saied menerapkan keadaan darurat nasional dengan memberhentikan perdana menteri, membekukan parlemen, dan merebut kendali eksekutif. Hal tersebut dilakukan karena keadaan darurat akibat pandemi virus Corona dan pemerintahan yang buruk. Peristiwa ini langsung direspons oleh penasihat keamanan nasional AS, Jake Sullivan yang mendesak presiden Tunisia agar segera membawa negaranya kembali ke "jalur demokrasi".

Gelombang protes dari rakyat yang terjadi saat ini ternyata masih berporos pada pakem demokrasi, paling jauh dengan mendorong sikap otoriter seperti yang dilakukan oleh presiden Tunisia. Rakyat yang seharusnya menjadi pihak yang mendapatkan pelayanan dari negara, nyatanya saat pandemi semakin menderita. Ironisnya, ketika kondisi pandemi tidak terkendali, pemerintah kita justru masih memberikan karpet merah kepada para TKA yang jelas-jelas bisa menjadi pemicu munculnya imported case. 

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dalam sistem kapitalis demokrasi lebih memihak kepada urusan investasi dan ekonomi daripada memikirkan risiko terhadap keselamatan nyawa masyarakat. Berbagai rekomendasi dari peneliti, dokter, hingga tenaga ahli kesehatan seolah diabaikan. Sungguh, inilah gambaran kebobrokan sistem kapitalis sekuler yang tidak pernah ikhlas memberikan periayahan terhadap rakyat. Tidak ada yang gratis untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Lalu, apa akar permasalahan yang mengakibatkan pandemi ini semakin tidak terkendali?

Karut-marut Penanganan Pandemi dalam Sistem Kapitalis Demokrasi

Kesalahan dalam pengambilan kebijakan menyebabkan masalah Covid-19 ini seolah menjadi lingkaran setan. Kebijakan setengah hati dari para pemangku kebijakan menyebabkan solusi yang diambil pun hanya solusi tambal sulam. Bisa di bilang pemerintah mengatasi masalah dengan memunculkan masalah baru.

Pengambilan solusi yang parsial membuat rakyat bahkan sudah hilang kepercayaan dan ketaatan kepada penguasa. Sejak pandemi Covid-19, ada berbagai upaya pemerintah untuk menekan penyebaran virus Corona. Mulai dari kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PSBB Transisi, PSBB Ketat, PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Mikro, serta PPKM Darurat dengan berbagai level. Rakyat pun bertanya-tanya, kebijakan apa lagi yang akan ditetapkan?

Inkonsistensi penerapan aturan yang dibuat oleh pemerintah membuat masyarakat kebingungan. Hal ini sungguh telah menelanjangi bobroknya sistem kapitalis demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Jauh panggang dari api, keadilan sejatinya tak pernah dirasakan secara utuh oleh masyarakat. Semua itu justru menjadi bukti nyata abainya para penguasa untuk menjalankan tugas pokoknya dalam mengurusi urusan rakyat.

Jika pemerintah mengambil kebijakan lockdown maka konsekuensinya tentu harus memenuhi berbagai kebutuhan rakyat. Namun, ternyata saat langkah PSBB diambil untuk meminimalisasi risiko, nyatanya tetap menghabiskan biaya tinggi bahkan paparan virus juga tinggi. Pandemi yang terjadi bukan hanya memicu terjadinya resesi ekonomi, tetapi juga depresi sosial di tengah masyarakat. Akibat kebijakan yang tidak tepat, rakyat harus menjadi korban akibat uji coba kebijakan. 

Di tengah pandemi, negara-negara kapitalis bahkan masih mencari peluang untuk mencari keuntungan lewat investasi. Mereka masih berorientasi untuk mencari peluang untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya materi. Seolah kehilangan hati nurani, rakyat dibiarkan mengemis untuk dikasihani. Padahal bukankah dahulu saat dipilih mereka mengaku akan berpihak kepada kepentingan rakyat? Lalu, kapan janji manis itu bisa direalisasikan?

Pada akhirnya, dalam sistem kapitalis demokrasi kepentingan rakyat hanya menjadi slogan saja. Nyatanya, yang menjadi prioritas pelayanan adalah pemiliki korporasi dan para pejabat berdasi. Maka, apakah umat masih mau bergantung mencari solusi kepada sistem kapitalisme dan demokrasi? 

Dalam skala global, penanganan pandemi dengan lockdown dalam bingkai nation state pun jauh dari menyelesaikan masalah, justru semakin membuka kebobrokan sistem kapitalis sekuler di seluruh belahan dunia. Tampak jelas bahwa sistem ekonomi yang diterapkan oleh negara berideologi kapitalis tidak mampu menopang pelaksanaan lockdown itu sendiri. Sebab, negara mengandalkan kepada utang ribawi. Ditambah lagi kebijakan lockdown yang tidak satu komando, tetapi cenderung dibalut oleh nasionalisme dan ego dari negara sendiri buktinya tidak mampu menyelamatkan mereka dari pandemi. 

Penerapan Syariat Islam Kafah, Solusi Tuntas untuk Akhiri Pandemi

Permasalahan pandemi ini sejatinya memang tidak bisa diselesaikan dengan solusi tambal sulam. Namun, justru diperlukan solusi sistemik yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan ini hingga ke akarnya. Mengapa hanya syariat Islam yang benar-benar mampu menjadi solusi? Semua itu dikembalikan kepada hal filosofis bahwasannya Islam adalah sebagai mabda yang sahih, dimana sumber aturannya lahir dari Sang Pencipta, Allah SWT. Hal ini menjadi sebuah jaminan bahwa solusi yang ditawarkan tidak akan membawa kepada kesengsaraan.

Karantina wilayah secara syar’i yang diterapkan oleh kekhilafah Islam terdahulu di wilayah pertama kali wabah tersebut muncul menunjukkan kesiap-siagaan dari penguasa dalam menangani wabah. Ketika menerapkan aturan tersebut, negara menjamin pelayanan kesehatan termasuk penyediaan obat secara gratis bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa tebang pilih. Begitupun negara akan menerapkan seperangkat tata kelola penanganan pandemi secara cepat dan tepat. Hal tersebut semata-mata dilakukan karena dorongan ketaatan kepada Allah SWT. 

Konsekuensi dari dilakukannya karantina wilayah adalah penanganan pandemi di fokuskan untuk mengisolasi dan melakukan pengobatan untuk masyarakat yang sakit. Pemisahan yang sakit dan yang sehat penting agar tidak terjadi penyebaran penyakit lebih meluas lagi. Rasulullah Saw bersabada: “Janganlah kalian mencampurkan orang yang sakit dengan yang sehat”. (HR. Bukhari)

Imam al-Bukhari meriwayatkan di dalam sahihnya dari Usamah bin Zaid dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” Bagi orang-orang yang sehat di wilayah yang tidak terjangkit bisa tetap melanjutkan pekerjaan mereka. Lockdown secara syar’i ini akan mencegah imported case yang telah memicu meluasnya wabah ke seluruh dunia dengan cepat. Dengan demikian, kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat bisa berlanjut seperti biasa sehingga tidak melumpuhkan ekonomi.

Gambaran penanganan pandemi pada masa kekhilafahan ini menunjukkan bahwa Islam memberikan perhatian penuh terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa manusia. Rasulullah saw.bersabda: “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR.Nasa’i)

Selain itu, negara pun akan mendirikan rumah sakit serta laboratorium riset yang terintegrasi agar para tenaga medis begitupun para peneliti bisa optimal dalam menjalankan tugasnya. Tidak hanya aspek kesehatan saja, selama pandemi pun, tentu negara wajib menjamin terpenuhinya hak dasar dari masyarakat seperti pendidikan dan keamanan. Semua itu ditopang oleh sistem politik dan ekonomi yang mumpuni.

Pembiayaan kesehatan berbasis baitul maal dengan anggaran mutlak mengharuskan negara wajib untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dalam kondisi apapun. Jika kondisi kas negara sedang kosong, pajak bisa ditarik dari warga yang kaya dan sifatnya temporer saja. Penatalaksanaan hal yang vital ini tidak bisa diambil alih oleh koporasi yang justru memanfaatkan wabah untuk meraup keuntungan. Oleh karena itu, dengan pengaturan seperti ini memungkinkan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan secara gratis dari negara.

Di dalam sistem Islam, pajak bukan sumber pendapatan negara, bukan juga bergantung pada utang ribawi. Negara didorong untuk mandiri dalam hal industri berat begitupun dalam hal kesehatan. Pembangunan industri berat yang sejalan dengan politik dalam negeri dan luar negeri dari khilafah, memungkinkan negara bisa mandiri dalam hal pengadaan alat-alat kesehatan, vaksin, dan obat-obatan. 

Penangan pandemi dalam sistem Islam kontras dengan penangan pandemi dalam sistem kapitalisme sekuler. Di dalam negara yang berideologi Islam, masalah pandemi ini tidak bisa dipisahkan dari landasan keimanan. Oleh karena itu, permasalahan yang menjerat umat saat ini, sejatinya membutuhkan adanya kontrol negara yang secara penuh menjalankan tugasnya yaitu menerapkan syariat Islam secara kafah. Syariat Islam menjamin untuk terjaganya akal, jiwa, harta, agama, dan keturunan. Hal tersebut tergambar dari penerapan hukum syara’ dalam seluruh tatanan hidup masyarakat oleh negara.  Rasulullah SAW bersabda: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Hikmah pandemi yang terjadi di dunia saat ini seharusnya semakin membuka mata kaum Muslim bahwasanya ketergantungan kepada sistem kufur tidak akan mampu menyelamatkan kita dari wabah ini. Potret buram penanganan pandemi saat ini seharusnya menjadi cambuk bagi kita semua untuk bangkit dari segala keterpurukan menuju kepada kebangkitan yang hakiki. Dengan demikian, perlu adanya proses perjuangan politik untuk membentuk kesadaran dan opini umum agar umat mau kembali menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam institusi khilafah Islamiyah ala minhaj nubuwwah.

Wallahu a'lam bishawwab

Oleh: Annisa Fauziah, S.Si.
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar