Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PPKM Darurat, Menyebabkan Kondisi Semakin Darurat


Topswara.com -- Pandemi belum usai bahkan kian memekat. Menghadirkan kegalauan di tengah-tengah masyarakat. Tetapi Ironisnya, pemerintah malah membuat kebijakan yang tidak seimbang. Membuat rakyat semakin bingung. Aturan dan kebijakan yang dibuat pun serba tanggung.
 
Salah satu dari aturan PPKM Darurat Jawa-Bali yang diberlakukan tanggal 3 sampai 20 Juli 2021 adalah penutupan tempat ibadah, termasuk masjid dan mushala. Kementerian Agama pun membuat keputusan untuk meniadakan shalat Idul Adha 1442 H di masjid maupun di lapangan terbuka. (liputan6.com, 2/7/2021).

PPKM Darurat yang diperlakukan terhadap tempat tepat ibadah membuat kaum Muslim galau. Kaum Muslim yang jumlahnya mayoritas di negeri ini merasa berhak untuk menjalankan perintah agama tanpa dibatasi. Apalagi ketika  pembatasan aktivitas dirasakan tidak seimbang.  Misalnya, kegiatan konstruksi yang diperbolehkan beroperasi 100 persen. Wajar muncul pertanyaan umat. Mengapa masjid ditutup, shalat Idul Adha ditiadakan, pemberangkatan haji dibatalkan sementara  aktivitas yang lebih berpotensi menimbulkan kerumunan tetap dibuka ? 

Kebijakan yang Tidak Proporsional

Hal yang dipandang sebagai masalah oleh umat bukan semata kebijakan ditutupnya akses ibadah di masjid. Sebab syariat Islam membolehkan bagi seseorang untuk shalat fardu di rumah, terlebih ketika terjadi wabah. 

Namun yang  menjadi persoalan adalah kebijakan penanggulangan pandemi yang  seolah tidak memihak rakyat. Di Tasikmalaya, seorang penjual bubur di denda Rp5 juta hanya karena ada pelanggannya yang makan di tempat. Sementara mereka menyaksikan bagaimana puluhan TKA asal Cina masuk saat PPKM Darurat diterapkan.  

Adanya perubahan istilah dari PSBB, PSBM, PPKM, PPKM Mikro hingga PPKM Darurat, sejatinya hanya berganti nama. Esensi dari program ini sama, yaitu berorientasi pada kepentingan ekonomi. Sebuah solusi yang merujuk kepada pandangan kapitalistik.

Nampak dalam aturan PPKM Darurat, yang menyebutkan sektor esensial yang boleh tetap buka hampir semuanya sektor ekonomi. Termasuk dalam sektor esensial adalah bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan nonpenanganan karantina, serta industri orientasi ekspor. Semuanya itu termasuk ekonomi milik perusahaan, bukan rakyat pada umumnya. Bahkan, proyek strategis nasional, objek vital nasional, konstruksi, masuk sebagai sektor kritikal yang membolehkan 100 persen WFO. (kompas.com, 3/7/2021)

Adapun UMKM yang pelakunya mayoritas rakyat biasa, semakin terpuruk. Meski pemerintah telah membuat kebijakan BLT kepada tiga juta pelaku UMKM semua itu tidak bisa memberikan  solusi. Nominal sebesar Rp1,2 juta per bulan terhitung sangat kecil.  Bahkan tidakak menyentuh komunitas UMKM kecuali hanya sebagian kecil.

Merujuk pada data OJK, pada 2021 tercatat ada lebih dari 65 Juta pelaku UMKM di Indonesia. Bila yang menerima hanya tiga juta, betapa tidak menyentuh akar masalahnya. Kebijakan yang serba tanggung. Belum lagi adanya kesalahan data dan korupsi pun terjadi dalam  implementasi program bantuan ini. Kasus Mensos Juliari Batubara dan jutaan data fiktif penerima bansos masih belum lepas dari ingatan.

Sektor Ibadah Ditutup, Maksiat Dibuka

Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Wali Kota Makassar, Ramadhan Danny Pomanto tentang penundaan pelaksanaan ibadah di masjid, gereja, pura, dan wihara. SE ini telah menyulut kontroversi yang luas. Pasalnya SE ini berisi kebolehan dalam pelaksanaan kegiatan klub malam, diskotek, dan semacamnya, termasuk sarana penunjang tempat hiburan malam yang ada di hotel, diizinkan sampai pukul 17.00 WITA. (Detik.com, 7/7/2021)

Sungguh ironis! Tempat ibadah ditutup, sementara tempat kemaksiatan malah dibuka dengan alasan ekonomi. Padahal, dampak negatif yang ditimbulkan dari klub malam, diskotek, dan tempat hiburan lainnya yang berbau maksiat telah nyata. Prostitusi yang  tak bisa dilepaskan dengan diskotik, akan menyuburkan HIV/AIDS. Begitu pun narkoba dan miras yang merusak akal manusia, akan membawa pada hancurnya kehidupan di masyarakat.

Beginilah bila sistem sekuler kapitalisme menjadi dasar dalam membuat aturan. Sistem ini tak memandang apakah bisnis tersebut halal ataukah haram. Padahal sebuah kepastian bila perbuatan haram dilakukan, aneka kemudharatan akan  menimpa. 

Negara Gagal dalam Membuat Solusi 

Buruknya penanganan pandemi oleh kapitalisme telah menjadikan dunia terus dihantui oleh Covid-19. Bahkan virus Corona penyebab penyakit yang mendunia ini terus bermutasi. Beberapa negara makmur yang awalnya dipandang berhasil menyelesaikan wabah, belakangan ditemukan kembali kasus Covid-19 di negara mereka.

Sementara itu lembaga kesehatan dunia, WHO yang sejak awal menyerukan wacana New Normal (padahal kondisi alam belum normal) akhirnya  kewalahan. Lembaga ini tidak berhasil meminta negara penghasil vaksin untuk peduli pada negara miskin yang sangat memerlukan. Begitu pun hak paten vaksin Covid-19 yang masih saja belum dihapus, membuat produksi vaksin terhambat. Inilah tabiat kapitalisme yang miskin empati dan selalu  berorientasi pada keuntungan materi.

Sektor kesehatan yang sangat esensial dan tengah kesulitan dunia, malah dimanfaatkan oleh negara makmur untuk meraup keuntungan Sebutlah bisnis vaksin, ventilator, maupun obat-obatan. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan bahwa 90 persen bahan baku obat-obatan dan 94 persen alat kesehatan pun masih bergantung pada impor.

Berharap Pada Solusi yang Layak 

Permasalahan pandemi semakin berlarut-larut ibarat benang kusut. Pemerintah gagap dalam mengambil solusi. Andai saja dari awal wabah, penguasa cepat bertindak dan mendengar para pakar dengan menerapkan karantina wilayah,  niscaya wabah akan bisa dikurangi dan dikendalalikan penyebarannya.

Namun sungguh sayang, negara model korporatokrasi memang selalu menjadikan  pemilik modal sebagai pengendali kebijakan. Oleh karena itu, wajar jika sektor esensial dan nonesensial disesuaikan dengan kepentingan mereka.

Seharusnya negara yang menjadi pilar terdepan dalam melindungi nyawa warganya dan melindungi syariat agar sempurna penerapannya. Umat selayaknya diajak untuk semakin mendekat secara massal dan sistemik. Berdoa dan bertawakal  kepada Allah seraya berikhtiar  agar pandemi ini cepat berakhir. Bukan dengan kebijakan yang malah menjauhkan syariat dari umat seraya membuka peluang maksiyat.

Kebijakan PPKM darurat yang diterapkan secara tidak proporsional ini membuat kondisi semakin darurat. Selayaknya kondisi sulit ini membuat pemimpin bangsa  untuk tunduk kepada  syariat Allah SWT. Berhukum dengan hukum-Nya dan senantiasa mengatasi masalah dengan merujuk pada aturan-Nya. Tidak sekadar sebagai kewajiban, namun juga urgen untuk dilakukan strategi ini agar permasalahan pandemi ini segera usai.
Wallahu a'lam bishsawab.


Oleh: Ilmasusi
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar