Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menimbang Delik Marital Rape dalam RUU KUHP


Topswara.com -- Pro kontra mengenai produk hukum yang mengatur masalah perkosaan dalam perkawinan (marital rape) mendapat perhatian dari masyarakat dan sejumlah tokoh, terutama para pemerhati keluarga. Delik marital rape ditambahkan dalam rumusan pasal 479 RUU KUHP supaya konsisten dengan pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yaitu tidak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami. 

Secara lebih khusus tertuang pada pasal 479 ayat 1 dan 2a yang berbunyi :
(1) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
(2) Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan :
a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah.

Sekilas terlihat menjadi solusi atas problem pernikahan yakni meningkatnya kasus ‘pemerkosaan terhadap istri’ beberapa tahun terakhir. Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini  mengatakan bahwa catatan tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk tahun 2020 dan 192 kasus untuk tahun 2019. (detikNews, 16/6/2021)

Melihat fakta ini tentu butuh diperdalam untuk bisa mendudukkannya dengan jelas dan konstruktif. Perlu diketahui bahwa pemilihan istilah, terutama istilah yang nantinya dijadikan kekuatan hukum mengikat dalam hal ini “marital rape” dalam RUU KUHP pasti mewakili sebuah konsep khusus. Term marital rape dipilih untuk menggambarkan kondisi bahwa rape merupakan pemerkosaan yang terjadi antara pelaku dan korban, yang disini terikat oleh institusi pernikahan.

Sehingga, seorang suami yang menyetubuhi istri (atau sebaliknya) di luar kehendak si istri atau suami itu dapat terkena hukuman pidana. Lebih dari itu, diduga mengandung pemahaman bahwa dalam keadaan apapun seseorang memiliki hak seksual mutlak atas dirinya sendiri dan tidak dapat diintervensi orang lain. Bila diterapkan dalam pernikahan, maka suami-istri pada dasarnya tidak memiliki hak seksual atas pasangannya kecuali apabila pasangannya itu menginginkannya. 

Agaknya inilah dasar pemahaman mengapa pelaku marital rape diberi hukuman pidana. 
Melihat konteks Indonesia, melanggengkan ikatan pria-wanita sehingga diharapkan terwujud keturunan masih mempercayakan institusi pernikahan sebagai institusi legal dan halal (bagi Muslim). Selain itu, institusi keluarga dilihat sebagai unsur terkecil yang menjaga peradaban manusia agar tetap mulia. Setidaknya itulah pandangan Islam terhadap pernikahan. Maka, sebagai mayoritas penduduk Negara Indonesia yang merupakan Muslim, Islam berhak diberi ruang untuk memandang masalah ini.

Bagaimana Islam mendudukkan “marital rape”?

Islam memandang bahwa hukum asal hubungan seksual adalah haram kecuali bila sesuatu membuatnya halal, yaitu akad nikah. Tentunya setelah seluruh syarat-syaratnya terpenuhi sesuai hukum syara’ pernikahan, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mu’minun ayat 5-7:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” 

Ternyata Islam juga mengatur mengenai hubungan seksual suami istri. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Sahih Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda 

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.”

Hadis tersebut mengandung makna bahwa suami memiliki hak bersetubuh atas istrinya, dan istrinya itu tidak boleh menolak kecuali ada halangan (haid, sakit, kelelahan, dan lain-lain). Dalil inilah yang biasa dijadikan anak panah yang dilesatkan para feminis atau sekuleris untuk memfitnah hukum Islam dan menganggap terjadinya marital rape bisa jadi karena suami secara keukeuh  memegang prinsip ini, sehingga wajib bagi istri untuk memenuhi ajakan seksual suami dalam kondisi bagaimanapun, meskipun secara psikis tertekan, atau ada hak bagi suami untuk melakukan pemaksaan hingga berujung kepada terjadinya penganiayaan atau kekerasan.

Ini adalah fitnah keji kepada hukum Islam dalam pengaturannya terhadap hubungan seksual antara suami-istri. Secara umum, Islam mendorong kaum muslim untuk berbuat ihsan pada segala sesuatu, termasuk relasi antara pasangan sah, suami-istri. 

Firman Allah dalam Surah An Nisa ayat 19 
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Maksud dari “bergaullah dengan mereka secara patut” ini mencakup segala hal, perkataan maupun perbuatan hingga pemenuhan hak dan kewajiban, yang termasuk di dalamnya hubungan seksual dimana Islam memiliki panduan agar terwujud kebaikan pada kedua belah pihak. Karna itu, haram hukumnya untuk melakukan apapun yang buruk kepada pasangan.

Dengan demikian jelas, bahwa Islam tidak mengenal “marital rape” karena istilah “rape” atau perkosaan tidak masuk akal untuk terjadi dalam konteks hubungan suami istri, karena keduanya dituntut ahsan dalam memenuhi hak dan kewajiban. 

Mengenai fakta makin meningkatnya kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga itu sebenarnya ada faktor lain yang mendorong terjadinya hal itu, sangat tidak berkaitan dengan pemahaman terhadap hadis Nabi Muhammad di atas. Penganiayaan suami terhadap istri (atau sebaliknya) dengan atau tanpa melibatkan tindakan seksual adalah salah. Dan dalam Islam jelas melaknat hal tersebut.

Patut diduga perluasan pendefinisan perkosaan dalam RUU KUHP ini menyimpan hidden agenda dari para pembenci Islam. Mereka berupaya merusak institusi terkecil masyarakat yaitu keluarga, dengan menanamkan benih keambiguan memahami pemenuhan hak dan kewajiban. Dengan mencatut hadis, melakukan tafsir liberal terhadapnya mereka kaum sekuleris dan feminis menggiring para ummahat atau kaum Muslimah untuk kacau cara berpikirnya. 

Maka, diperlukan upaya penyadaran secara massif kepada Muslim dan Muslimah untuk memahami Islam secara komprehensif dan mendudukkan masalah pada tempatnya agar tidak mudah terpengaruh fitnah keji para pembenci syariat. 
Wallahu a’lam bishawwab


Oleh: Errita Septi Hartiti, S.Pd.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar