Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ajengan Ahmad Sanusi, Pejuang Syariah Islam


Topswara.com -- KH Ahmad Sanusi, atau yang lebih dikenal Ajengan Genteng, adalah seorang ulama pejuang syariah Islam. Pria yang dilahirkan pada 3 Muharram 1036 H (18 September 1889) dan meninggal tanggal 15 Syawal 1369 H (1950) dalam usia 64 tahun ini dalam setiap dakwahnya senantiasa menyerukan agar umat menjalankan syariah Allah. 

Menurut Ajengan, Al-Qur’an sebagai kitab Allah merupakan sentral dalam kriteria keberimanan seseorang. Karena itu, menurut beliau, syarat diterimanya keimanan dan ketaatan kepada Allah adalah harus percaya, menghormati dan mengakui seluruh kitab Allah, termasuk di dalamnya Al-Qur’an. 

Oleh karenanya, beliau menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan semata-mata untuk memperbaiki segala perilaku kehidupan umat manusia. Al-Qur’an berisi sejumlah perintah dan larangan yang kemudian disebut hukum Islam. Menurut KH Sanusi yang dimaksud dengan hukum Islam (hukum syariah) adalah firman Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf.

Putra dari KH Abdurrahim, pimpinan Pesantren Cantayan di Sukabumi ini, selanjutnya menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab Allah yang berisi sejumlah ketentuan bagi manusia dalam hidup. Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah tuntunan hidup bagi manusia yang ingin selamat dunia dan akhirat melalui penjelasan-penjelasan dalam Al-Qur'an tentang aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Oleh karenanya, KH Sanusi menerangkan lebih lanjut bahwa di dalam Al-Qur'an ada empat kategori hukum, yakni: pertama, berkaitan dengan keimanan dan kebebasan beragama dalam memilih dan menjalankan ketentuan-ketentuan agama; kedua, berkaitan dengan rumah tangga dan pergaulannya seperti pernikahan dan perceraian, keturunan dan kewarisan; ketiga, berkaitan dengan prinsip kerjasama antarsesama umat manusia seperti jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lain; dan keempat, berkaitan dengan pemeliharaan kehidupan, yaitu berupa peraturan pidana dan perdata untuk menghukum di antara sesama manusia yang melakukan kesalahan.

Komitmen Haji Ahmad Sanusi bahwa Al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam, semasa hidupnya digunakan untuk memahami Al-Qur'an, di samping ilmu-ilmu keagamaan yang lain. Di pesantren yang didirikannya, yakni Pesantren Genteng Babakan Sirna, Cibadak. Sukabumi, pria yang pernah menuntut ilmu selama 15 tahun di Makkah ini mengajarkan ilmu-ilmu Al-Qur'an dan tafsir Qur'an kepada santri-santrinya. 

Ketekunannya dalam menyampaikan ilmu inilah yang mendorongnya untuk menulis tafsir Al-Qur'an berbahasa Sunda yang ditulis dengan huruf Arab yang kemudian terbit dalam judul Malja’ ath-Thalibin. Proses mengajar tafsir Al-Qur'an kepada santri di lingkungan pesantren berjalan terus sehingga tak lama kemudian terbit sebuah kitab yang sifatnya terjemahan dari Al-Qur'an yang berjudul Rawdah al-Irfan fi Ma’rifah Al-Qur'an. Masih dalam wilayah tafsir, Ajengan Genteng juga mengarang sebuah kitab tafsir dalam Bahasa Melayu dengan huruf Latin dengan judul, Tamsiyat al-Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb al-Alamin. Tafsir ini sengaja beliau buat untuk para pembaca yang tidak memahami bahasa Sunda dan Bahasa Arab.

KH Ahmad Sanusi, sebagai tokoh Syarikat Islam, aktif dalam usaha mengusir kolonial Belanda dari Tanah Air. Akibatnya, ia menjadi tahanan politik selama tujuh tahun di Batavia. Selama di pengungsian, ia menulis buku dan membentuk suatu organisasi yang bernama al-Ittihadiat al-Islamiyah pada tahun 1931.

Setahun kemudian, ia kembali ke Sukabumi, menangani organisasi al-Ittihadiat al-Islamiyah dan pada tanggal 5 Februari 1933 mendirikan lembaga pendidikan Syams al-Ulum yang lebih dikenal dengan Pesantren Gunung Puyuh. Selain itu, Ahmad Sanusi juga menerbitkan Majalah Al-Hidayah al-Islamiyah (Petunjuk Islam) dan Majalah At-Tabligh al-Islami (Dakwah Islam) sebagai bahan bacaan dalam rangka da’wah bi al-lisan (dakwah yang disampiakan secara lisan). 

Al-Ittihadiat al-Islamiyah akhirnya dibubarkan oleh penguasa Jepang. Namun, ia mengadakan konsolidasi dan mengubah nama organisasi tersebut menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).
PUI dalam Masyumi. 

Sampai menjelang kemerdekaan republik Indonesia, dia tercatat sebagai anggota panitia Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indoensia (BPUPKI). Namanya dicoret dari keanggotaan BPUPKI karena ia anggap terlalu banyak memihak Islam. Hal ini beliau lakukan dengan tujuan agar kelak Indonesia merdeka menjalankan peraturan yang berdasarkan syariah Islam.

Ditulis kembali oleh: Aslan La Asamu

Disadur dari Buku: Al-Wa’ie, No. 125, Gus Uwik, Januari 2011
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar