Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menakar Empati Tuan Penguasa


Topswara.com -- Viral mural bertuliskan "Tuhan, Aku Lapar". Mural di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang tersebut kemudian dihapus oleh Polisi dan disimpulkan sebagai bentuk penyampaian aspirasi. Benar, mural yang viral di media sosial itu seakan mewakili fakta kondisi rakyat Indonesia saat ini.

PPKM yang tujuannya untuk menekan laju penularan Covid-19, namun terasa bagai neraka bagi sebagian besar masyarakat. Terutama yang berpenghasilan harian, semisal pedagang dan buruh. Mau tidak berjualan, sementara tuntutan perut keluarga pun harus dipenuhi. Tetap berjualan, berhadapan dengan aparat keamanan.

Pemerintah tidak menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat selama penerapan PPKM. Ada bansos dan BLT, namun tidak semua rakyat mendapatkan paket sembako. Dana BLT pun tidak merata, dengan nominal yang tidak manusiawi.

Di saat rakyat sedang berjuang untuk bertahan hidup, tuan penguasa justru asyik sendiri dengan urusan pribadinya. Seakan tidak peduli nasib rakyat. Inilah mental sebagain penguasa dalam sistem kapitalisme.

Krisis Empati para Penguasa di Sistem Kapitalis

Empati menjadi barang langka bagi penguasa dalam sistem kapitalis. Perasaan untuk bisa merasakan hal yang sama dengan orang lain itu dihalangi oleh "rasa pejabat" yang dimilikinya. Lihat saja, di tengah PPKM yang menyusahkan rakyat, Menkopolhukam masih bisa menonton sinetron tv (kompas.com, 17/07/2021).

Ada juga para anggota DPRD kota Solo yang karaoke bersama di ruang komisi saat PPKM Darurat (detik.com, 27/07/2021). Berdalih tidak direncanakan demi pembenaran sikap yang dilakukan. Merayakan ulang tahun sambil karaokean dengan fasilitas kantor itu apa pantas dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya wakil rakyat?

Sedikitnya ada tiga faktor yang membuat tuan penguasa minim empati. Pertama, demokrasi itu mahal bung. Untuk bisa duduk di singgasana kekuasaan, tuan penguasa harus merogoh kocek yang dalam. 

Kontestasi pemilu adalah ajang membeli suara rakyat agar bisa menduduki jabatan. Bagaimana agar rakyat kenal dan memilih dia? Satu-satunya cara adalah dengan money politik. Entah uangnya dibagi-bagi langsung, atau dengan pesta rakyat, atau dibelikan merchandise untuk dibagi-bagikan ke rakyat.

Hal pertama yang akan dilakukannya saat memengkan kontestasi adalah mengembalikan modal. Lebih parah lagi jika modal tersebut dari pihak ketiga, para kapital. Maka konsekuensinya, segala kebijakan yang diambilnya adalah untuk kepentingan kapital. Jadi, rakyat tidak mendapat tempat di hatinya.

Kedua, jabatan ajang menumpuk harta. Betapa banyak pejabat yang hartanya bertambah signifikan saat berkuasa. Ini yang membuat banyak orang yang berlomba-lomba menjadi pejabat dan penguasa. Mana sempat memikirkan rakyat jika yang dipikirkan hanya harta.

Ketiga, sekularisme memutus koneksi akhirat. Sekularisme adalah pondasi dalam sistem kapitalisme. Faktor ketiga inilah yang menyebabkan banyak orang menghalalkan segala cara untuk jadi penguasa. Money politik, entah uangnya dari harta halal atau haram. Puja-puji, sikut sana sini demi jabatan. Sudah jelas atasannya salah, tetap dipuja demi tetap menjabat.

Terputusnya koneksi akhirat menjadikan sang tuan pejabat bertingkah laku seenak hatinya. Tidak peduli benar salah, halal haram, terpuji tercela, yang penting bahagia. Parahnya, standar bahagianya adalah ukuran-ukuran dunia yang semu dan tidak ada habisnya. Lupa bahwa ada pertanggung jawaban akhirat atas jabatan yang diembannya. Kalau sudah begini, mana sempat dan mana mau mengurusi rakyat? 

Sistem Islam Melahirkan Penguasa yang Peduli Rakyatnya

Dalam sistem Islam jabatan adalah amanah yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Sebagaimana hadits Rasul SAW:  “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Pondasi akidah dalam sistem Islam melahirkan pemimpin yang amanah dan adil. Mereka merasa khawatir dan takut jika tak mampu menjalankan amanah, sebab azab Allah SWT  akan menantinya.

Rasul SAW bersabda: "Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, ia tidak akan dapat merasakan bau surga.'' (HR Bukhari dan Muslim). 

Ridha Allah SWT adalah standar kebahagiaan manusia di sistem islam, termasuk penguasa. Jika Allah SWT. ridha, Allah akan memberi ampunan, pahala dan surga bagi hambanya-Nya. Allah SWT telah berjanji memberikan naungan di hari kiamat kelak kepada para pemimpin yang adil. 

Menjalankan amanah jabatan dengan sebaik-baiknya adalah satu-satunya pilihan bagi penguasa dalam sistem Islam. Sehingga kita akan mendapati banyak cerita mengagumkan dari para khalifah dan wali pada masa kekhilafahan Islam.

Kita sudah familiar dengan kisah Khalifah Umar bin Khattab yang memanggul karung gandum dan memasakkannya untuk rakyatnya. Atau saat Umar bin Khattab mematikan lentera saat anaknya ingin berbicara masalah pribadi di ruang kantornya. Sebab tidak mau menggunakan fasilitas umum demi kepentingan pribadi.

Atau kisah Umar bin Khattab yang menangis tersedu-sedu setelah mendapat kabar kematian seekor keledai. Ajudannya heran, hanya seekor keledai kok ditangisi. Umar ra. pun menjawab, matinya keledai karena jalan yang rusak. Sementara pengadaan infrastruktur yang baik merupakan salah satu kewajiban penguasa. Apa yang bisa kukatakan di depan Rabb-ku jika si keledai mengadukanku kelak di akhirat? Demikian tangis Umar bin Khattab.

Masih di masa kekhalifahanfahan Umar bin Khattab. Terjadi bencana kelaparan yang membawa wabah penyakit dan kematian. Selama bencana tersebut beliau hanya makan roti dan minyak sampai warna kulit beliau menghitam. Umar ra. berkata: "akulah sejelek-jelek pemimpin jika aku kenyang sementara rakyatku kelaparan."

Demikianlah sosok penguasa dalam sistem Islam kaffah. Mereka memandang jabatan adalah amanah. Setiap amanah akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Sehingga, menjadi pemimpin yang adil dan amanah serta peduli pada rakyat adalah satu-satunya pilihan, tidak ada yang lain.
Wallahu a'lam

Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar