Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemilihan Komisaris BUMN, Apakah Sudah Sesuai Kompetensi?


Topswara.com -- Beberapa hari yang lalu, tepatnya 28 Mei 2021, Menteri BUMN, Erick Thohir, mengangkat Abdi Negara Nurdin sebagai Komisaris PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk atau TLKM. Terpilihnya Abdi yang dikenal dengan sapaan Abdi Slank menjadi komisaris Telkom cukup mengagetkan banyak pihak. Bahkan belakangan muncul kontroversi karena pengangkatan ini dianggap erat kaitannya dengan kontribusi Abdi dengan pemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019.

Alasan diangkatnya Abdi Slank sebagai komisaris BUMN adalah untuk memajukan konten lokal di Telkom. Senior Vice President Corporate Communication & Investor Relations Telkom Indonesia, Ahmad Reza, menegaskan penunjukan komisaris Telkom sudah melalui beberapa tahap seleksi. Walaupun berlatar belakang seniman, tetapi Abdi Slank dinilai sudah banyak berkecimpung dalam dunia digital serta memberikan perhatian yang besar terhadap masalah hak kekayaan intelektual. (Kompas.com, 03/06/21)

Berbagai alasan yang diungkapkan oleh pemerintah tidak serta merta membuat masyarakat percaya bahwa orang-orang yang duduk di dalam kursi kekuasaan adalah orang yang memiliki kemampuan yang mumpuni dalam mengemban amanahnya. Terlebih lagi bukan kali ini saja jabatan strategis diserahkan kepada orang yang dekat dengan lingkaran istana. Maka, bukankah pantas bagi rakyat untuk mempertanyakan, mengapa banyak orang yang dekat dengan penguasa yang ditunjuk untuk menjadi petinggi negara? 

Perebutan Jabatan dalam Sistem Demokrasi

Dikutip dari artikel berjudul “13 Orang di Lingkaran Istana Jadi Komisaris BUMN” dijelaskan bahwa beberapa komisaris BUMN ternyata berasal dari orang partai, tim sukses, lembaga keagamaan, hingga mantan menteri (cnnindonesia, 29/05/21). Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya saat ini kompetensi seolah bukan menjadi hal utama yang dipertimbangkan untuk menduduki suatu jabatan, tetapi adanya relasi dengan pemangku kekuasaan.

Wajar hal ini terjadi karena dalam sistem demokrasi memungkinkan adanya oligarki. Yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa oarng yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Deretan relawan pro Jokowi yang diangkat menjadi komisaris ini menjadi bukti bahwasannya di negeri ini masih berlaku politik balas budi.

Selain seorang seniman, ternyata Abdi Slank menduduki jabatan di sejumlah perusahaan. Ia menduduki jabatan Komisaris PT Sugih Reksa Indotama sejak tahun 2020 dan Komisaris PT Negara Sains Ekosistem sejak tahun 2021. Abdi pun tercatat sebagai Co-Founder dan Founder di PT Hijau Multi Kreatif, Maleo Music, dan Give.ID. (Kompas.com, 03/06/2021)

Hal ini semakin menguatkan bahwasanya dalam sistem kapitalisme kekuasaan tidak akan pernah dipisahkan dari para kapital (pemilik modal). Begitupun kebijakan yang dibuat oleh penguasa akan senantiasa berpihak kepada pengusaha. Sungguh ironis, bagaimana keberpihakan negara kepada kepentingan rakyat?

Bagi-bagi kekuasaan dalam sistem politik demokrasi sudah lumrah terjadi. Sejatinya kalimat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya menjadi slogan yang jauh panggang dari api. Alih-alih berpihak kepada kepentingan rakyat, justru dalam sistem kapitalisme penguasa adalah pihak yang akan mengakomodasi kepentingan para kapital.

BUMN yang notabene adalah milik negara tentunya memiliki fungsi utama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi BUMN erat kaitannya dengan sektor vital, seperti energi, telekomunikasi, infrastrutur, transportasi, dan sebagainya. Oleh karena itu, seharusnya BUMN sendiri berfokus kepada pemenuhan hajat hidup orang banyak bukan kepada kepentingan segelintir orang.

Jika pada akhirnya BUMN dijalankan layaknya perusahan swasta yang sekadar berorientasi kepada profit, lalu bagaimana tanggung jawab negara terhadap pemenuhan kebutuhan rakyatnya? Jika alasan diangkatnya komisaris baru ini adalah untuk memperkuat konten digital, bukankah akan lebih baik jika melakukan pembenahan sistemik bukan sekadar mengandalkan “branding” oleh satu orang saja?

Media sosial saat ini memang menjadi wasilah yang efektif untuk melakukan branding terhadap seseorang. Banyak orang yang mengklaim sebagai influnecer dengan jangka waktu yang relatif singkat. Mirisnya, tidak ada standar sebagai influencer sendiri. Jikapun berdasarkan jumlah follower, tentu para pesohor akan menduduki peringkat teratas. Maka, wajar sejak kampanye pun banyak artis yang mendadak menjadi politisi. Pertanyaannya, apakah mereka memiliki kemampuan yang mumpuni untuk memegang amanahnya?

Jabatan adalah Amanah yang Harus Dipertanggung Jawabkan

Islam sebagai sebuah ideologi memiliki aturan yang terperinci termasuk mengatur masalah kepemimpinan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (TQS.An-Nisa [4]: 58)

Pemimpin yang adil dan amanah sejatinya adalah pemimpin yang bertakwa, yaitu yang menetapkan segala kebijakannya sesuai dengan hukum syara. Ia akan menjadikan Allah SWT dan Rasul-Nya menjadi pemutus dalam setiap perkara. Maka, syarat utama yang harus dipertimbangkan sebagai kualifikasi dalam memilih pemimpin adalah seseorang yang senantiasa taat kepada perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Rasulullah SAW pun bersabda: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (HR Al-Bukhari). 

Oleh karena itu, penunjukkan jabatan perlu memperhatikan aspek kapabilitas seseorang untuk memastikan agar ia mampu menunaikan amanahnya secara totalitas, yaitu ketika mengamalkan sesuatu dengan landasan iman dan ilmu.

Dalam tatanan sistem Islam tidak akan dijumpai orang-orang yang tidak kapabel memegang suatu amanah karena sejatinya jabatan bukanlah sekadar permainan apalagi trial and error. Amanah adalah sesuatu hal yang berat yang akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Maka, seharusnya hal ini menjadi refleksi bagi para pemangku kebijakan bahwasannya jabatan bukanlah kompetisi untuk meraih kekuasaan.

Di dalam Islam, ketika seseorang memegang jabatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak maka yang pertama kali tersirat bukanlah tentang seberapa besar gaji yang akan dia dapatkan. Namun, bagaimana pertanggung jawabannya dengan Allah SWT di akhirat kelak? Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak menunaikan hak rakyatnya), kecuali Allah akan haramkan dia (langsung masuk) surga.” (HR Muslim).

Oleh karena itu, kejadian ini seharusnya menjadi refleksi bahwasannya untuk menghasilkan pemimpin yang amanah dan kapabel dalam mengemban tugasnya tidak hanya dicukupkan kepada ketakwaan individu semata. Namun, harus ada kontrol masyarakat yang senantiasa melakukan amar maruf nahi munkar agar berbagai kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan hukum syara. Selain itu, yang terpenting adalah adanya institusi negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah agar amanah diberikan sesuai dengan kompetensi bukan karena adanya relasi. Wallahu a'lam


Oleh: Annisa Fauziah, S.Si
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar