Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Syekh Abdul Qadir al-Jailani (Kisah Langka Penuh Hikmah)


Topswara.com -- Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pakar fiqih mazhab Syafi'i dan sekaligus mazhab Hanbali, guru Syekh Muwaffaq al-Din al-Maqdisi al-Hanbali, penulis kitab al-Mughni, yang terkenal dengan sebutan Ibn Qudamah, memiliki seorang guru Al-Qur'an bernama Syekh Abu al-Wafa' Ali bin Aqil bin Abdillah al-Baghdadi al-Hanbali, (w. 513 H). 

Guru Syekh Abdul Qadir ini memiliki keistimewaan dijaga oleh Allah sejak kecil. Beliau tidak pernah bermain-main bersama anak-anak yang bermain. Beliau hanya berkumpul bersama para penutut ilmu. Beliau mengisahkan dirinya, saat usia telah mencapai 80 tahun, beliau merasakan haus ilmu melebihi di masa usia 20 tahun. Dan di usia 80 tahun ini beliau tidak sedikit pun merasa berkurang kecerdasan, hafalan, dan ketajaman pandangan mata,  bahkan masih bisa melihat bulan sabit (hilal) yg baru terbit. (Al-Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala', (19/446). 

Imam Al-Dzahabi, dalam kitabnya, Siyar A'lam an-Nubala (19/449) mengutip dari Abu al-Muzhaffar, cucu Imam Ibn al-Jauzi, dari Ibn Aqil sendiri tentang kisah yang sangat menakjubkan yg terjadi pada diri beliau. 

--  dan kisah ini dikutip oleh Dr. Muhammad Fadhil Jilani, salah satu keturunan Syekh Abdul Qadir al-Jilani, di dalam kitabnya Nahr al-Qadiriyyah fi Manaqib as-Syekh Abdul Qadir al-Jilani (hal. 97-98) -- 

Ibn Aqil mengisahkan, di suatu kesempatan aku berhaji. Tak diduga saat itu aku menemukan seuntai kalung intan permata dengan untaian benang merah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki tua lagi buta mencarinya dan berjanji kepada siapa saja yg dapat mengembalikannya akan mendapat imbalan 100 dinar (1 dinar = 4,25 grm emas 24 karat).

Aku pun kembalikan kalung tersebut kepada laki-laki tua itu. Dia pun berkata kepadaku, "Ambillah seratus dinar ini! " Aku menolaknya. 

Kemudian, setelah menyelesaikan manasik haji, aku berangkat menuju Syam dan berziarah ke Masjid Al-Aqsha di al-Quds. Setelah itu aku berangkat menuju Baghdad (Irak). Saat sampai di Aleppo, aku menginap di satu masjid. Saat itu aku sangat kedinginan dan lapar. Saat datang waktu shalat, orang-orang pun memintaku menjadi Imam. Aku shalat bersama mereka. Kemudian mereka pun memberiku makan. 

Peristiwa di atas terjadi di awal Ramadhan. Mereka mengatakan kepadaku, "Imam kami telah wafat. Kami berharap engkau menjadi imam shalat kami selama sebulan ini." Aku memenuhi keinginan mereka. Kemudian mereka juga berkata, "Imam kami punya seorang anak perempuan. Maukah Engkau menikah dengannya?" Aku pun akhirnya menikahi putri sang imam, tinggal bersamanya selama setahun, dan dikaruniai seorang anak laki-laki darinya. Namun sayang, istriku sakit pascamelahirkan. Pada suatu hari aku mengamatinya, ternyata di lehernya ada seuntai kalung intan permata yg dulu aku temukan di Makkah, intan permata dengan benang merah. Maka aku katakan kepada istriku, "Kalung ini memiliki sebuah kisah." Kemudian aku mengisahkan peristiwa di Makkah (yang saya kisahkan di atas). Dia pun menangis, dan berkata, "Oh, berarti laki-laki yg mengembalikan kalung itu adalah dirimu! Demi Allah, ayahku waktu itu menangis dan berdoa, 'Ya Allah, karuniakanlah putriku seorang suami seperti laki-laki yang mengembalikan kalung ini.' Sungguh Allah telah mengabulkan doa ayahku."

Ibn Aqil berkata, "Dalam beberapa waktu  kemudian, istriku meninggal. Maka aku pun mengambil kalung tersebut dan juga warisannya. Kemudian aku melanjutkan perjalanan ke Baghdad (tujuan awal)."


Oleh: Ustaz Utsman Zahid as-Sidany 
(Pengasuh Pondok Nahdlatul Muslimat/NDM Surakarta)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar