Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Di Antara Dua Pilihan, Ibu atau Suami dan Anakku?

Topswara.com -- Kubuka pesan WhatsApp dari grup keluarga. Sontak membuatku kaget dan terdiam sejenak tak tahu harus berbuat apa. Tertulis dalam pesan tersebut kalimat istirja: “Innalillahi wainna ilaihi raajiuun. Ema (panggilan keluarga besar kepada ibu) atos ngantunkeun dinteun Sabtu, 14 November  tabuh 14.45 WIB di Bandung (Ema sudah meninggal  Sabtu, 14 November 2020, pukul 14.45 WIB di Bandung).”

Mendadak sekujur tubuhku terasa lemas tak bertenaga, dadaku serasa sesak. Tak kusadari perlahan air mata ini jatuh membasahi pipi. “Entahlah, aku harus berbuat apa? Bisakah aku datang melihat ibuku untuk terakhir kali?” batinku berkecamuk.

Aku pun harus cepat pulang ke Bandung melihat ibu untuk terakhir kali sebelum dimakamkan. Terus terang saja sejak pandemi sampai meninggalnya, aku belum sempat mengunjunginya. Ibuku sudah lama terbaring sakit karena memang usianya sudah renta. Sebenarnya ada perasaan menyesal, kecewa mengapa sebelum ia meninggal aku tak sempat menengoknya. 

“Ya Allah, aku harus bagaimana. Berdosakah aku, di saat ajal menjemputnya aku tak ada di sisinya?” gumamku.

Sebenarnya, sejak awal pandemi aku tidak berani pergi jauh-jauh, apalagi pulang ke Bandung. Lagi pula waktu itu Depok salah satu  wilayah di Jawa Barat penyumbang terbesar korban yang terinfeksi virus corona dan berada dalam zona merah. Dengan terpaksa kuurungkan niatku pulang ke Bandung menjenguk ibu yang sedang sakit. 

Namun, selama ibu sakit, aku tetap menanyakan kabarnya melalui saudara-saudaraku. Aku hanya bisa mendengar suara dan wajah ibuku di WA. Kulihat wajahnya pucat pasi, perawakannya yang kurus kering karena usia yang renta ditambah sakitnya itu. Aku hanya bisa memandanginya.

Memang, tiga hari sebelum ibu meninggal, adikku menelepon. “Teh, kayaknya Ema sakitnya makin parah. Yang sudah meninggal disebut satu per satu dan semua anaknya ditanyain. Katanya Ema mau melihat anaknya satu per satu (Kami 12 bersaudara, 1 sudah meninggal). Teteh kapan mau ke sini?” 

Mendengar itu, aku tak kuasa menahan tangis. Air mata tak terasa mengalir deras di pipiku. Dada semakin sesak, seluruh tubuh lemas terasa tak bertenaga. Tak henti-hentinya aku menangis, sambil berkata, “Teteh harus bagaimana. Sebenarnya Teteh ingin tengok Ema, tapi Teteh baru pulang dari rumah sakit, suami Teteh baru selesai menjalani operasi TB kelenjar getah bening dan Auf (anakku yang kecil, sekarang kelas 2 SD) empat bulan sejak pandemi datang tidak bisa berjalan (lumpuh). Kalau Teteh ke Bandung siapa yang akan menjaga mereka?” 

Adikku pun mengerti keadaanku. Aku harus memilih di antara dua pilihan. “Menengok ibu yang sakit parah ataukah mengurus suami dan anak yang sedang sakit pula?” Andai saja sakit suami dan anakku tak separah itu, kemungkinan aku bisa menengok ibu. Sungguh pilihan yang menurutku begitu berat. 

Akhirnya kuputuskan untuk tidak berangkat ke Bandung. Itulah alasanku tidak bisa pergi menengok ibu yang sedang sakit parah. Dalam waktu yang bersamaan suami dan anakku sedang sakit juga. Suamiku awalnya didiagnosis sakit tumor kelenjar getah bening dan harus menjalani operasi biopsi untuk memastikannya. 

Alhamdulillah, hasil biopsi menunjukkan bukan tumor, tapi TB kelenjar getah bening dengan pengobatannya selama setahun dan biasanya dibarengi sakit lainnya sebagai efek samping obat TB. Efek samping obat yang baru dirasakan suami, badannya terasa lemas tak bertenaga. Dokter pun menyuruhnya berobat jalan seminggu sekali. Meskipun demikian, aku tetap bersyukur, walaupun sama-sama penyakit, setidaknya tidak separah tumor. Jika tumor? Entahlah, apa yang terjadi. Yang pastinya membuat dadaku kembali sesak dan pikiran yang aneh-aneh pun muncul. 

Dadaku pun semakin sesak ketika melihat kondisi anakku, sudah empat bulan belum bisa berjalan. Aku dan suami sudah berikhtiar agar dia bisa sembuh. Walaupun tidak ke rumah sakit, setidaknya ke tempat alternatif, baik ke tukang pijat refleksi maupun ke pijat akupuntur sudah kami lakukan. Menurut tukang pijat, anakku tidak bisa berjalan karena otot-otot dalam tubuhnya lemah. Katanya, InsyaAllah bisa sembuh, tapi butuh waktu cukup lama. Memang hasilnya belum terlihat, yang penting ada usaha untuk mengobatinya.

Semua itu terasa sangat berat bagiku. Bagiku sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada orang tuanya. Bagiku sebagai istri yang harus mengurus suami yang sedang dalam pengobatan. Bagiku sebagai seorang ibu  yang harus mengurusi anaknya karena tidak bisa berjalan. Bahkan, sebagai diriku yang sering kali sakit perut dan sakit pinggangku kambuh.

Aku menyakini, itulah jalan hidup yang telah Allah takdirkan. Seberat apa pun ujiannya aku harus tetap sabar, ikhlas dan tawakal. Terus terang saja, dalam keheningan malam, semua keluh kesah dan kegundahan hati ini, aku curahkan kepada Sang Pencipta manusia. Tak terasa butiran-butiran air mata jatuh ke pipi, aku tak bisa menahannya, semakin lama semakin tak terbendung.

Namun, aku tetap harus bersyukur mempunyai orang-orang yang selalu menyemangatiku. Walaupun suami sedang sakit, dia sering bilang, “Yang (sebutan suami kepadaku), yang sabar ya, insyaAllah banyak pahalanya,” katanya sembari menatapku penuh haru. Begitu juga teman-temanku sangat peduli. Mereka datang ke rumah untuk menyemangatiku serta mendoakanku agar aku tetap sabar dalam ujian ini. 

“Ya Allah, kuatkan dan teguhkanlah diriku dalam menghadapi ujian ini dan tetap di jalan-Mu. Lapangkanlah dadaku ini yang terasa sesak dengan ujian yang Engkau berikan.” Itulah doa yang selalu kupanjatkan agar tetap istiqamah dan tegar walaupun seberat apa pun ujian yang menimpaku.

***
Aku pun teringat kejadian sebulan sebelum ibu meninggal. Dalam sebuah acara via online WhatsApp grup, aku ditunjuk untuk menjawab salah satu pertanyaan. Aku lupa persisnya  pertanyaannya seperti apa. Kira-kira seperti ini, “Apa yang harus saya dahulukan. Menengok orang tua yang sakit ataukah mengurus suami yang dalam waktu bersamaan sedang sakit juga?” 

Tanpa ada perasaan apa pun, kujawab pertanyaan itu melalui voice note. Intinya, “Seorang perempuan ketika sudah menikah memiliki kewajiban kepada suaminya bahkan melebihi orang tua. Selama perintah suami tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka harus dipatuhi.  Namun, bukan berarti suami harus mengekang istri, apalagi jika istri punya orang tua.”

Aku pun melanjutkan jawaban, ”Jika kondisi orang tua sakit bersamaan dengan sakitnya suami. Seorang istri bisa melihat, mana yang lebih membutuhkan bantuannya. Jika orang tua lebih membutuhkan, sang istri bisa minta izin kepada suami untuk menengok orang tuanya. Tapi, jika kondisi suami lebih membutuhkan dan tidak ada seorang pun yang bisa menjaganya, sang istri lebih baik memilih mengurus suaminya. Agar tidak terjadi masalah, harus ada komunikasi dengan seluruh anggota keluarga.” Yang bertanya pun merasa puas dengan jawabanku dan ia berterima kasih. Namun tak disangka semua itu menimpa diriku.

Masyaallah, ternyata aku harus mempraktikkan juga jawaban yang kuberikan itu. Aku meyakini, “Itulah kuasa Allah. Manusia tidak bisa menebak apa yang Allah rencanakan. Yang pasti, akan tahu setelah kejadian itu menimpanya.” Aku harus menerima dengan hati lapang, sikap optimis dan tetap semangat karena semua yang menimpaku dan keluargaku sebagai ujian yang Allah berikan. 

Aku pun tersadar. Tak ada gunanya meratapi nasib, sekarang jalani saja hidup ini, karena masih punya tugas yang harus dilakukan. Selain mengurus suami dan anakku yang sakit, aku pun punya kewajiban untuk berdakwah walaupun lewat tulisan. Kebetulan aku aktif sebagai koordinator kepenulisan (KMM) Depok, editor dan penulis opini juga.  Setiap hari, setidaknya ada satu atau dua tulisan yang harus diedit dan dikirim ke media. Jika dikumpulkan ada sekitar 40 tulisan bahkan bisa lebih dalam setiap bulannya.

Memang, tanggung jawab itu berat juga bagiku. Tapi ini merupakan salah satu wasilahku dalam berdakwah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya. Bahkan, di sela-sela aku menulis atau mengedit tulisan, terkadang anakku minta ke kamar mandi. “Mah, mau pipis,” kata anakku.  “Sebentar Nak, Mama save dulu tulisannya ya,” jawabku sembari sibuk memegang laptop.

Aku pun beranjak mendekati anakku yang sedang duduk di tempat tidur. Kuangkat dan kubawa ia menuju kamar mandi. Setelah selesai di kamar mandi, anakku kembali memanggil. Aku pun menghampirinya lagi. Lalu, kuangkat dan kubawa anakku menuju tempat tidur. Sebenarnya, antara tempat tidur dan kamar mandi jika jaraknya sekitar 4 meter saja tidak termasuk jauh, tapi kadang aku sering ngos-ngosan ketika membawa anakku (yang berat badannya sekitar 32 kg). 

Aktivitas tersebut sudah kulakukan sejak Juli 2020, pertama kali anakku tidak bisa berdiri dan berjalan. Awalnya, aku dan suami bergiliran mengangkat anak ke kamar mandi. Hanya saja setiap usai mengangkat, suami sesak dada, bahkan dua bulan sebelum dioperasi kerap batuk rejan dan sebulan sebelum operasi, muncul beberapa benjolan di dileher suami (tiap pekan bertambah satu). Praktis hanya aku sendiri yang membawa dan mengangkatnya.

Namun, tetap saja perasaan berdosa tak bisa pulang ke Bandung terus membayangiku. Dalam tidur  pun aku teringat wajah ibuku yang sudah meninggal. Walaupun dirasa terlambat, sepekan kemudian kuputuskan untuk pulang ke Bandung, setidaknya datang ke pemakaman ibu. Aku meminta keridhaan suami untuk ditinggal dua atau tiga hari. Alhamdulillah, suami mengizinkan. Aku mempersiapkan semua keperluan suami selama aku tinggalkan. 

Untuk anakku yang tidak bisa berjalan, terpaksa dititipkan ke rumah teman. Aku merasa tenang meninggalkan mereka. Aku pun cepat-cepat bergegas pulang ke Bandung dan pergi ke makam ibuku. “Ya Allah, ampunilah segala dosa ibuku, lapangkanlah di dalam kuburnya, masukkanlah ia ke dalam surga-Mu. Aamiin.” []


Oleh: Siti Aisyah, S.Sos. (Koordinator Komunitas Muslimah Menulis Depok)

Nb: Artikel  "Di Antara Dua Pilihan, Ibu atau Suami dan Anakku?" dibuat untuk mengikuti Challange ke-3 Narasipost rubrik True Story (8 Maret-8 April 2021).
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar