Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Paradoks Kebijakan, Mudik Dilarang Pusat Perbelanjaan Dibuka Besar-besaran


Topswara.com -- "Lebaran sebentar lagi," berlebaran sekeluarga.

Suka cita ini bukan hanya basa basi semata. Lagu karya salah seorang personil Bimbo  yang dinyanyikan oleh grup band Gigi, melainkan juga euforia sambutan bahagia sudah lama menjadi tradisi di tengah umat Islam di Indonesia.

Di antaranya adakah tradisi mudik atau pulang kampung berkumpul dengan seluruh keluarga dan membeli pakaian baru untuk di pakai di hari raya. Kedua tradisi itu dianggap memiliki potensi penularan virus Covid-19 yang semakin tinggi karena potensi membuat kerumunan dan interaksi yang sangat luas. 

Untuk itu, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan larangan mudik menjelang perayaan 'Idul Fitri 1442 H atau tahun 2021. Tujuan utamanya cukup mulia untuk mencegah penularan virus ke berbagai daerah di seluruh Indonesia. Kebijakan tersebut mulai dijalankan dengan menyiapkan satuan petugas untuk siaga memulangkan kembali orang yang nekad mudik dan menutup armada transportasi umum per tanggal 7 Mei atau H-6 Lebaran dimana terprediksi setiap tahun menjadi waktu arus mudik tertinggi setiap tahunnya.

Padahal berkah tradisi mudik, berbelanja baju lebaran dan berbagi rezeki di hari raya ini bukan hanya dirasakan oleh setiap individu umat Islam, melainkan juga dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia dengan meratanya ekonomi di seluruh tanah air. Perputaran uang dan geliat perekonomian dianggap menanjak luar biasa di sepanjang waktu menjelang dan pasca hari raya 'Idul Fitri. Untuk itu tidak heran pemerintah khususnya menteri keuangan Sri Mulyani mendorong masyarakat untuk tetap membeli baju lebaran meski tidak mudik. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani, punya cara jitu mendongkrak perekonomian yang lagi lesu karena pandemi. Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu minta rakyat tetap beli baju saat Lebaran nanti, meski mudiknya tetap dilarang. Namun, warganet menganggap usulan itu sebagai guyonan karena kondisi rakyat sedang susah, jangankan untuk beli baju, untuk kebutuhan sehari-hari aja pas-pasan.
(wartaekonomi.com, 25 April 2021).

Memang benar kebijakan itu dianggap guyonan karena dorongan itu tidak selaras dengan kebijakan kebolehan perusahaan menunda atau menyicil THR untuk pekerja. Sehingga rakyat merasa kesulitan menghadapi hari raya karena harga kebutuhan terus melambung tinggi, tetapi upah dan tunjangan dipersulit. Kendati demikian tradisi sulit ditinggalkan dengan dorongan membeli baju lebaran ini sebagian masyarakat memaksakan diri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Terbukti dengan padatnya pusat-pusat perbelanjaan di tanah air. 

Contohnya Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat kembali disesaki pengunjung pada Minggu, 3 Mei 2021. Bahkan, Polda Metro Jaya turun tangan mengatasi kerumunan yang terjadi di Pusat Grosir Pasar Tanah Abang itu.

Fakta membludaknya kerumunan menjelang lebaran dan potensi penyebaran virus yang ditanggapi pemerintah bahwa itu tidak masalah selama masyarakat memiliki kesadaran untuk melakukan protokol kesehatan. Tentu saja pendapat itu salah besar, karena kesadaran satu atau dua orang individu masyarakat terhadap protokol kesehatan akan tergerus dengan longgarnya peraturan pemerintah yang membuka pusat-pusat perbelanjaan besar-besaran, hal itu tidak bisa dikembalikan pada kesadaran individu rakyat. Hal ini tentu butuh kebijakan yang selaras untuk mengantisipasi penularan virus, bukan hanya melarang dan mendorong masyarakat untuk melakukan satu aktivitas dan membolehkan aktivitas lain yang sama-sama berpotensi membuat kerumunan. 

Negara harus bertanggung jawab dengan memberikan fasilitas  agar geliat ekonomi tetap berkembang tetapi rakyat tetap aman. Berbelanja online dan pedagang pasar difasilitasi berjualan online dengan pengiriman barang gratis yang difasilitasi negara bisa menjadi alternatif. 

Hal yang lebih menggelikan bagi rakyat saat ini adalah paradoks Kebijakan bahwa mudik dilarang tetapi berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan justru didorong. Padahal potensinya jauh lebih besar kerumunan di pusat perbelanjaan daripada bertemunya masyarakat dengan keluarga dan kerabat di kampung halaman yang pastinya jumlahnya lebih terbatas. Kalau beralasan untuk pertumbuhan ekonomi, tradisi mudik jelas lebih baik membangkitkan dan memeratakan ekonomi di seluruh penjuru negeri ini. 

Justru dengan adanya kebijakan pemerintah yang mendorong konsumsi dengan alasan perbaikan ekonomi. Sungguh kebijakan penuh ironi bahkan paradoks yang  menunjukkan bahwa kebijakan antisipasi penularan virus Covid-19 masih tebang pilih. Lebih jelas lagi kebijakan ini menunjukkan keberpihakan negara selalu membela perusahaan pemilik modal atau para kapital daripada rakyat yang sudah banyak kesusahan masih saja jadi bahan perahan. 

Inilah sistem demokrasi kapitalis yang memiliki standar ganda untuk setiap kebijakannya dan selalu menyudutkan umat Islam dan hukum Islam. Berkah kebaikan hukum dan umat Islam selalu dikebiri dengan berbagai alasan palsu, sedangkan kepentingan kapitalis selalu dinomorsatukan meski dengan mengorbankan keselamatan rakyatnya. Paradoks ini menunjukkan betapa bobroknya sistem kapitalisme ini.

Bahkan sistem ini bisa menghancurkan tatanan kehidupan dan negara sekalipun demi kepentingan kapitalis semata yang justru sebagian besar adalah investor asing yang nantinya akan merampas kekayaan negeri dan di bawa ke negara mereka. Untuk itu sudah seharusnya seluruh umat Islam meninggalkan sistem bobrok kapitalisme ini dan segera kembali pada sistem Islam kafah dan menegakkan khilafah sebagai institusi negara yang dapat menerapkan Islam secara paripurna. 

Wallahu a'lam bishawwab.


Oleh Leihana 
(Ibu Pemerhati Umat)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar