Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bayinya Sudah Lahir, Abi!


Topswara.com -- “Abi, buruan. Bayinya sudah lahir,” teriak Abroor, putra sulungku, sambil merentangkan kedua tangannya. Bocah 11 tahun itu menghadang motorku tepat di depan rumah Selasa (12/04/2021) pukul 15.00 WIB di Sidoarjo, Jawa Timur. Kontan saja, kuhentikan motorku tepat di depan pintu bercat cokelat itu. 

Dengan masih memakai sepatu, aku bergegas masuk rumah hingga lupa mengucapkan salam. 

“Umi di mana?” tanyaku kepada Hasna (7 tahun) yang berdiri di samping kakaknya.

“Di belakang, Bi,” jawabnya sambil menunjukkan jarinya ke arah dapur.

“Bi, bayinya nangis,” sahut si bungsu Roosikh (5 tahun) yang memakai pakaian cokelat bergambar Lightning McQueen. 

Astaghfirullah hal adhim. La haula Wa la quwwata Illahi billahil aliyyil adhim,” ucapku melihat kondisi istriku di dapur dengan posisi setengah duduk dan setengah berbaring. Tangan kirinya menopang tubuhnya sedangkan tangan kanannya memegangi bayi yang baru keluar kepalanya saja. Darah berceceran membasahi lantai dapur yang belum berkeramik. Jilbab merah motif kembang yang dipakainya, warnanya makin menua bercampur dengan darah. Wajahnya pucat dan lesu menahan sakit. 

“Mas...tolong bayinya, Mas,” pintanya lirih sambil menahan sakit.

Aku pegangi bayi yang baru keluar kepalanya itu. Dan bayi kecil itu pun menangis. “Oek...!!! Oek...!!!” jeritnya. 

Aku tertegun sebentar. “Kenapa aku membiarkan istriku dalam keadaan seperti ini. Harusnya, tadi siang aku tidak balik ke pabrik,” sesalku dalam hati. 

Sejurus kemudian, aku pegangi kepala dan punggungnya agar dia bisa melepaskan tangan kirinya yang sejak dari tadi menjadi penopang agar badannya tidak ambruk ke lantai. Entah berapa lama istriku berada dalam posisi seperti itu. 

***

Hari itu, Selasa, 20 April 2021. Seperti hari-hari biasanya, setiap istirahat kerja yakni pukul 12.00-13.00 WIB, aku selalu menyempatkan diri untuk  pulang ke rumah. Apalagi kondisi istriku saat itu usia kehamilannya memasuki minggu ke-36, tentu aku harus menjadi suami siaga kapan pun jika anak keempatku akan lahir. 

Aku bekerja di sebuah pabrik keramik bagian Laboratorium. Tugasku mengontrol proses produksi agar sesuai dengan standar mutu perusahaan dan melakukan riset produk-produk baru. Di luar itu, aku bergabung dalam pejuang Islam yang ingin melanjutkan kehidupan Islam. Di daerah, aku tergabung dalam Writer Troops. Di samping itu, aku juga sebagai reporter, editor dan pemred di sebuah portal online yang mengopinikan Islam di tengah-tengah umat.

Siang itu, kondisinya normal. Tak ada tanda-tanda istriku akan melahirkan. Pukul 12.45 WIB, aku pun kembali ke pabrik untuk bekerja. Pukul 13.28, istriku menghubungi Bu Elly lewat WA, seorang bidan yang membuka praktik di sebuah perumahan. Bu Elly juga yang telah membantu persalinan Roosikh 5 tahun yang lalu.

“Tadi, terasa ada yang meletup. Dan keluar putih-putih (air ketuban pecah),” tulis istriku.

“Tidak apa-apa, Mbak. Menjelang persalinan,” jawab Bu Elly lewat WA.

Setengah jam kemudian, istriku kembali menghubungi Bu Elly. “Ini sudah 15 menitan, slemet-slemet (perut terasa melilit karena kontraksi) Bu,” tulisnya.

Setelah menulis pesan kepada Bu Elly, istriku pun mengabariku lewat WA. 

“Mas, siap-siap ke bidan,” tulisnya pukul 14.04 WIB.

Aku belum bisa baca WA tersebut, karena HP kucas di laborat. Sementara aku mengecek di produksi. Setelah selesai memeriksa produksi, aku kembali ke Labolatorium dan melihat banyak sekali pesan WA yang masuk. Pesan yang kubaca pertama kali dari istriku. Waktu itu jarum jam menunjukkan pukul 14.35 WIB.

“Aku pulang sekarang atau nunggu jam 4,” jawabku.

Sik (sebentar), aku telepon Bu Elly,”  tulisnya.

Slemet-slemet terus ini,” lanjutnya.

“Bagaimana?” tanyaku setelah 3 menit tak ada respons.

Lha pulang Bi,” jawabnya. 

“Oke,” tulisku. Aku tahu yang membalas pesan terakhir itu bukan istriku. Dari redaksi katanya, sepertinya Abroor yang membalas. 

Aku bergegas memakai sepatu bersiap untuk pulang. Karena belum waktunya pulang, aku harus minta izin untuk bisa keluar dari pabrik. Setelah mendapatkan izin dari direktur dan personalia, dengan tergesa-gesa, aku pacu motor bututku agar segera sampai rumah. Namun, aku mampir sebentar ke minimarket untuk beli popok ukuran S buat persiapan kelahiran bayiku. Benar saja, sesampai di rumah ketiga anakku sudah di luar rumah menanti kedatanganku.

***

“Abroor, tolong ambilkan bantal di sofa,” pintaku kepada Abroor. Setelah menerima bantal dari Abroor. Kuletakkan kepala istriku pelan-pelan agar dia berbaring dengan nyaman. 

Sambil tangan kanannya masih memegangi kepala bayi, dia berkata, “Mas, tolong telepon Bu Elly agar ke sini.”

“Tapi, dia kan enggak tahu rumah kita,” jawabku.

“Tahan sebentar ya, Say. Aku jemput Bu Elly agar dia datang kemari,” lanjutku.

Bergegas kupacu motorku menuju rumah Bu Ely. Kurang lebih 5 menit perjalanan, aku tiba di rumah besar tingkat dua bercat putih tersebut.

“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam.

“Waalaikumsalam,” jawab suara wanita dari dalam rumah.

“Bu Elly, bayinya sudah lahir,” kataku.

“Ya, Allah...Mbak Tari. Bentar nggih Pak, aku siap-siap dulu,” sahutnya dengan wajah gelisah.

Menunggu Bu Elly selama 5 menit, bagiku seperti 5 tahun. Teringat wajah istriku, aku hanya bisa berdoa, semoga Allah menjaga istri dan bayiku. Setelah perlengkapan buat persalinan dibawa, aku langsung mengantarkan Bu Elly menuju rumahku. 

“Langsung lewat pintu belakang saja, Bu,” ucapku sesampainya di rumah.

”Abroor, tolong buka pintu belakang,” pintaku kepada Abroor.

“Iya, Bi,” jawabnya.

Dengan sigap Bu Elly segera membantu persalinan istriku di dapur. “Alhamdulillah. Sudah selesai. Bayinya laki-laki. Besar nih. Lebih besar dari kakaknya dulu,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar