Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemerintah Impor Garam, Garam Lokal Termarginalkan


Topswara.com -- Pemerintah Indonesia kembali memutuskan mengimpor garam pada tahun 2021.Tidak tanggung-tanggung, sebanyak tiga juta ton garam siap menyerbu industri garam dalam negeri. Menteri Dalam Negeri Indonesia menyampaikan impor garam dibutuhkan sebab kualitas garam dalam negeri yang diproduksi oleh PT. Garam dan petani rakyat belum mampu menyaingi kualitas garam impor. Menurutnya, pelaku usaha garam dalam negeri harus memandang kebijakan impor sebagai peuang untuk memperbaiki dan mengembangkan kualitas garamnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menyampaikan Produksi garam nasional diprediksi hanya mencapai 2,1 juta ton, sementara kebutuhan garam nasional sebanyak 4,6 juta ton. Demi menutupi kekurangan garam nasional, maka pemerintah memutuskan untuk mengambil kebijakan impor garam disamping pemerintah terus berupaya memperbaiki kualitas garam lokal. (Kompas.com, 19/3/21).

Padahal, Indonesia hanya memerlukan impor 2,57 juta ton sehingga keputusan jumlah impor sebanyak tiga juta ton itu berlebihan. Namun Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Maritim Kemenko maritim dan Investasi, Safri Burhanuddin berdalih hal tersebut demi menjaga kestabilan stok garam industri. Jika impor garam 2021 terealisasi seluruhnya, maka impor ini akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah tren impor garam nasional dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasar data dari UN Comtrade, impor garam nasional pada tahun 2018 sebanyak 2,839 juta ton dan 2011 sebanyak 2,835 juta ton.

Banyak pihak menolak kebijakan impor garam pemerintah. Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI), Jakfar Sodikin, menyayangkan kebijakan impor garam yang diiringi dengan pembatalan target swasembada petani garam tahun 2022. Awal Januari 2021 saja masih terdapat 800 ribu stok garam petani yang tidak terserap sebab pemerintah lebih mengandalkan garam impor. Kondisi ini hanya menambah keterpurukan petani garam dalam negeri.

Juru Bicara Menteri Kelautan Perikanan Wahyu Muryadi berpendapat petani garam Indonesia harus mampu mandiri. Potensi Indonesia dengan garis pantai kedua terpanjang di dunia (54,716 km) seharunya dapat dimanfaatkan agar tak perlu impor garam. Ia pun menyangkal bila kebijakan impor garam disebabkan kualitas garam dalam negeri yang masih dibawah standar. Ia mencontohkan garam produksi petani garam Kebumen sudah mampu mencapai 97,7 persen kadar NaCl alias selisih 0,3 persen saja dari batas yang dibutuhkan industri sehingga hanya perlu sedikit diolah lebih lanjut. (Tirto.id, 17/3/21).

Impor Garam Lagi, Memang Solusi?

Kebijakan impor garam pemerintah nampaknya memang perlu dikritisi. Potensi alam Indonesia dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia mestinya dapat mendorong produksi garam nasional tanpa harus ketergantungan dengan impor. Sayangnya, pemerintah seolah buta dengan hal tersebut dan lebih memilih bermanis muka kepada asing dengan melakukan kerja sama impor garam yang justru akan membunuh petani garam dalam negeri dan lambat laun akan menghancurkan ekonomi nasional.

Impor garam yang dilakukan secara kontinu bahkan cenderung meningkat trennya sepanjang lima tahun terakhir telah menurunkan produksi garam nasional. Dari 2,85 juta ton (2019) menjadi 1,36 juta ton (2020). Lantas dengan dalih ini, pemerintah semakin menggalakkan impor garam. Apakah dengan hal ini pemerintah hendak membangkitkan ekonomi nasional atau membasmi petani garam dan membunuh mereka perlahan?

Importasi Garam, Mengukuhkan Hegemoni Kapitalis

Nampak terang pemerintah tidak serius dalam mengupayakan ketahanan pangan nasional. Pemerintah lebih memilih untuk mengambil langkah instan dengan mengimpor garam. Semestinya dalam mengambil keputusan politik, pemerintah harus berupaya mewujudkan kedaulatan pangan nasional serta berpihak pada kepentingan rakyatnya, terutama petani. Namun, hal ini tidak ditemui dalam kebijakan impor garam pemerintah. Pasalnya, meski petani garam menjerit dengan anjloknya harga garam lokal, pemerintah tetap saja melenggang untuk membuka kran impor garam selebar-lebarnya.

Problematika impor tentu tak bisa lepas dari sistem kehidupan yang diterapkan. Tatanan global yang diatur dengan paradigma sistem kapitalisme yang dikuasai oleh negara-negara kafir imperialis, telah menyebabkan banyak negara-negara berkembang termasuk Indonesia, tereksploitasi secara besar-besaran. Alih fungsi lahan untuk meyokong kebutuhan pabrik-pabrik dan infrastruktur telah menjadikan negara riskan kekurangan pangan. Akibatnya, banyak negara bergantung kepada negara lain untuk memenuhi komoditi pangan melalui mekanisme impor.

Sistem impor memang menjadi jalan keluar instan yang memudahkan dalam menyelesaikan masalah pangan, serta memberikan keuntungan bagi sebagian pihak yang menjadi kartel dalam bisnis ini. Sedangkan bagi negara-negara pengimpor, tentu mereka akan dikondisikan untuk terus-menerus bergantung pada negara pengekspor dengan adanya perjanjian kerjasama antar negara. Padahal, bila sewaktu-waktu negara pengekspor memutus pemasokan komoditinya, dapat dipastikan negara pengimpor akan kewalahan.

Ketergantungan negara berkembang kepada negara-negara imperialis memang sengaja dibentuk dalam sistem kapitalisme untuk melanggengkan hegemoninya di dunia. Alih-alih menyejahterakan rakyat, importasi garam di dalam pasar domestik, jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri-negeri Muslim. Negeri-negeri Muslim hanya dijadikan sasaran empuk yang dimanfaatkan oleh negara-negara raksasa ekonomi untuk menjadi alat pemulihan krisis finansial mereka hari ini, utamanya ketika dunia tengah merangkak bangkit dari deraan pandemi Covid-19.

Politik Ekonomi Islam, Wujudkan Ketahanan Pangan

Islam sebagai agama sekaligus mabda’ telah sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Islam menyuguhkan visi politik baru yang sama sekali berbeda dengan visi politik ideologi lainnya. Solusi yang ditawarkan Islam tak hanya berlaku bagi global, namun juga Indonesia agar terlepas dari belenggu hegemoni negara kafir imperialis. Dalam Islam, mewujudkan kemandirian pangan bukan semata-mata tanggung jawab rakyat, melainkan tanggung jawab negara.

Bertolak belakang dengan ideologi kapitalisme yang menjadikan negara berlepas tangan dan mengedepankan peran pasar sebagai langkah mewujudkan ketahanan pangan dan ekonomi negara, Islam justru sebaliknya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Imam adalah penggembala (ra’in) dan ia bertanggung jawab untuk orang-orang yang digembalakannya.” (HR. Bukhari).

Negara Islam berperan dalam melindungi, mengayomi, dan menjamin kesejahteraan rakyat. Politik ekonomi Islam tidak akan mau tunduk pada regulasi asing yang menindas negeri-negeri muslim. Dalam Islam, sumber daya alam akan dikelola dengan maksimal agar dapat mencukupi kebutuhan rakyatnya. Negara tidak akan menyia-nyiakan sumber daya alam yang ada apalagi menyerahkannya kepada asing sebab syariat Islam telah mengharamkan yang demikian. Allah SWT berfirman yang artinya, “… Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa:141)

Maka satu-satunya solusi agar negeri-negeri muslim terlepas dari hegemoni asing adalah dengan kembali membumikan aturan Islam. Dengannya, Allah akan mengangkat segala penderitaan umat Islam, mengangkat derajatnya menjadi umat terbaik, serta melimpahkan ampunan dan berkah-Nya kepada penduduk negeri di dalamnya. Ingatlah firman Allah SWT dalam Al-Qur'an yang artinya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (para Rasul), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al-A’raf:96)

Wallaahu ta’ala a’lam bi ash-showwaab[]

Oleh: Syafina MNA (mahasiswi muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar