Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme Menghalalkan Keharaman Miras


Topswara.com -- Indonesia memang negeri yang penuh sensasi dengan beragam kebijakannya. Bukan karena kebijakan positifnya, tapi sebaliknya, kebijakan membuat mengelus dada dan menyakitkan. Belum usai aturan lama, sudah datang aturan baru. Maksud hati mengubah seluruhnya, yang terjadi pengubahan setengah hati.  

Peraturan Presiden (Perpres) No. 10/2021 misalnya.  Berbagai kecaman dan penolakan atas Perpres tersebut terus dilontarkan elemen masyarakat karena mengandung bahaya besar bagi pelaku dan juga masyarakat. Tidak dilegalkan saja membawa keburukan apalagi dilegalkan. Kecaman itu berbuntut dengan dicabutnya lampiran Perpres No. 10/2021 yang terkait pemberian izin investasi industri miras. 

Namun sepertinya penolakan masyarakat ini masih belum final. Harapan untuk meniadakan peredaran miras di negeri ini nyatanya akan menjadi harapan semu. Lampiran yang dicabut tersebut adalah lampiran Bidang Usaha No. 31 dan No. 32. Sementara lampiran Bidang Usaha No. 44 tentang Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol dan No. 45 tentang Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol tidak dicabut. 

Kapitalisme Melegalkan  Keharaman

Negara yang harusnya mengakomodasi keinginan masyarakat untuk memutus peredaran dan penjualan miras tak berdaya dalam kaca mata kapitalisme. Padahal  aturan agama (Islam)  serta amanat UUD'45  menentangnya.

Sungguh miris. Negeri dengan penduduk mayoritas muslim terus dihadapkan pada fenomena kontradiktif. Negara mudah membuat aturan, mudah pula menyalahi. Sekalipun ada revisi dan pencabutan, sifatnya parsial, sebagaimana Perpres miras di atas. Selain itu, Perpres No. 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol masih tetap berlaku. 

Hal ini menunjukkan bahwa sikap yang diambil negara masih setengah hati jika masih membiarkan praktik peredaran miras terjadi  di tengah masyarakat. Sikap ini pula yang akhirnya menggambarkan kondisi negeri ini tak bisa lepas dari nilai investasi. Pasalnya, perdagangan miras dianggap memberikan manfaat secara ekonomi dan juga salah satu sumber pendapatan negara. Misalnya pada 2020 penerimaan cukai dari Etil Alkohol sebesar Rp240 miliar dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) Rp5.76 Triliun (cnnindonesia.com, 02/03/2021)

Keuntungan ini tentu tak dibarengi fakta jatuhnya korban yang terus berguguran akibat alkohol. WHO menyatakan, alkohol membunuh 3,3 juta orang di seluruh dunia setiap tahun melebihi korban akibat AIDS, TBC dan kekerasan. Alkohol juga telah mengakibatkan satu dari 20 kematian di dunia tiap tahun, setara satu kematian tiap 10 detik (kompas.com, 12/5/2014).

Di Indonesia sendiri banyaknya kasus  kematian akibat alkohol dan miras selalu menjadi pemberitaan menyesakkan. Termasuk berita terbaru, adanya penembakan terhadap orang orang di sebuah kafe oleh oknum polisi dalam keadaan mabuk. Tiga orang meninggal, satu masih dalam perawatan. 

Oleh karena itu, akar masalah miras yang paling mendasar bukanlah Perpres atau Undang-undang (UU Ciptaker) seperti asumsi kebanyakan masyarakat, tapi  bersumber dari sistem ekonomi kapitalisme yang diemban negara. 

Sekalipun Perpres dibatalkan atau dicabut, kapitalis tak akan membiarkan begitu saja. Sebab, sampai kapan pun watak kapitalis tidak akan hilang untuk mencari keuntungan sebesarnya. Tak peduli dampak negatif yang ditimbulkan apalagi mengerti soal halal-haram. Jadi, jangan mimpi dalam sistem ini miras dilarang total.

Demikianlah, potret buruk kapitalisme yang dijadikan pedoman negara memerintah. Negara penganut paham ini akan sulit menerima aturan agama meski jelas membawa kemaslahatan. Berbeda halnya dengan 'sesuatu' yang mendatangkan keuntungan. Negara begitu antusias untuk melegalkan, membuat Undang-undang, Perppu dan atau Perpresnya meski nyata-nyata sesuatu itu mengundang kerusakan dan sejuta bahaya tapi diabaikan. 

Islam Tempat Kembali Meraih Solusi

Allah Swt dan Rasul-Nya telah begitu gamblang menjelaskan bahaya khamr dan memerintahkan kaum muslim untuk menjauhinya. 

"Wahai orang-orang yang beriman, sungguh khamr, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan..." (QS. Al-Maidah [5]: 90)

Khamr merupakan induknya keburukan (kejahatan). Siapa yang meminumnya berarti ia mengikuti langkah setan dan para pelakunya yang terkait dengan khamr akan mendapat laknat.

"Rasulullah Saw telah melaknat kepada sepuluh golongan terkait miras, yakni pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pengantarnya, yang minta diantarkan, penuangnya, penjualnya, yang menikmati harganya, pembelinya dan yang minta dibelikan." (HR. At-Thabrani)

Bahaya miras bukan hanya berdampak pada pelakunya tapi juga orang lain serta tatanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kerusakan akal yang ditimbulkannya mengantarkan pada beberapa kejahatan dan dosa besar. Pelakunya yang hilang kesadaran akan melakukan pencurian, perampokan, perzinaan dan pembunuhan sekaligus dalam satu waktu. Tak mampu lagi berpikir jernih apakah korbannya itu ibunya, bibinya atau saudara perempuannya.

Tidakkah dengan munculnya kebijakan negara atas legalisasi miras menjadi indikasi masrarakat dibuat rusak dan merusak? Bagaimana masa depan generasi  jika negara memfasilitasi barang-barang haram dan peredarannya? Miris dan ironis.

Merajalelanya kemaksiatan dan kejahatan akhir-akhir ini akibat negara abai, individu acuh, masyarakat menutup mata, semakin menguatkan bahwa umat Islam harus segera disadarkan agar kembali pada syariat. Terlalu lama hidup dalam naungan kapitalisme sekuler hanya menambah kerusakan dari berbagai sisi. Satu abad runtuhnya junnah, satu abad umat tanpa perlindungan (28 Rajab 1342 H - 28 Rajab 1442 H).

Sudah satu abad pula simpul umat telah terlepas satu persatu. Pertama kali sistemnya, aturannya, ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanannya. Shalat sebagai simpul terakhir pun nyatanya sudah banyak ditinggalkan.

Shalat sebagai salah satu perintah Allah, memiliki hikmah dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar tak lagi terwujud dalam pribadi umat Islam. Miras yang harusnya dijauhi justru difasilitasi. Alhasil, kejahatan menggurita, kemaksiatan beragam rupa. Maka, solusi hakiki mengatasi keburukan akibat hilangnya kebaikan saat ini adalah berupaya melanjutkan kehidupan Islam dalam penerapan syariat kafah.

Dengan cara itulah simpul umat akan kembali merekat erat. Pelegalan atas keharaman tak akan lagi ada.  Aturan batil bernama kapitalisme sekuler juga segera sirna. Kunci utamanya terletak pada sistem pemerintahan Islam.

Islam dan pemerintahannya akan berusaha maksimal merealisasikan kemaslahatan publik. Umat hanya diarahkan pada investasi bernilai pahala, menjauhi diri dari dosa dan segala kemadharatan.  Masing-masing individu akan mendapat penjagaan optimal dari negara berupa: penjagaan akidah, akal, keturunan, harta, jiwa serta kehormatan. 

Demikian gambaran yang harusnya terwujud saat ini di tengah kaum muslimin. Cukuplah hukum Allah dan Rasul-Nya yang pantas dijadikan landasan berpijak. Bukan Perpres atau Perppu untuk mengatur publik. Bukan investasi atau kearifan lokal. Umat akan sejahtera atau bahagia, tetapi perlindungan negara penerap hukum syariat kunci dari segala harapan indah. []

Oleh: Uqie Nai
(Alumnus Branding for Writer 212)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar