Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

SKB Tiga Menteri: Wajah Moderasi Islam dalam Hipokrisi Demokrasi



Topswara.com-- Moderasi dan toleransi. Adalah dua diksi yang menjadi spirit Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah yang diterbitkan pada Rabu (3/2/2021).  Mendikbud Nadiem Makarim menuturkan, pengaturan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan sebagai salah satu komponen pendidikan khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah, harus mencerminkan moderasi keagamaan dan toleransi atas keragaman agama (okezone.com, 3/2/2021).

SKB tersebut sebagai respons terhadap polemik aturan seragam jilbab bagi siswi non-muslimah di Padang beberapa waktu lalu. Sekilas, SKB ini terkesan adil dan bijak karena melarang sekolah tidak membolehkan atau memaksa penggunaan pakaian khas agama. Juga memberikan pilihan bagi warga sekolah untuk berpakaian khas agama mereka atau tidak. 

Namun, sebagian kalangan umat Islam menilai SKB ini berpotensi memupus ketaatan generasi muslim pada perintah Allah Swt. Salah satunya datang dari Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas.  

Dia memandang, negara dalam hal ini pihak sekolah seharusnya tidak membebaskan muridnya yang belum dewasa untuk memilih. Hendaknya mereka mewajibkan anak didiknya agar berpakaian sesuai ajaran agama dan keyakinannya masing-masing. Sehingga tujuan sistem pendidikan nasional yaitu membuat peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan seterusnya, dapat tercapai. Menurutnya, sesuai isi Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945, negara harus bisa menjadikan agama sebagai kaidah penuntun kehidupan termasuk di dunia pendidikan (republika.co.id, 4/2/2021).

Alih-alih menghentikan polemik aturan seragam berjilbab, SKB ini diduga memicu munculnya polemik baru. Mengapa moderasi beragama gencar dilakukan dalam berbagai program dan kebijakan? Inikah wajah hipokrisi (kemunafikan) demokrasi?


Hipokrisi, Wajah Asli Demokrasi

Mencermati isu intoleransi di balik polemik seragam jilbab di Padang hingga upaya moderasi dalam SKB Tiga Menteri ini, diduga demokrasi menunjukkan wajah hipokritnya. Setidaknya, ada beberapa gejala terkait ini. 

Pertama, kekompakan pejabat publik, dari Mendikbud Nadiem Makarim, KPAI, hingga Komnas HAM turun gunung memberikan tanggapan dan penanganan. Padahal, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang dialami rakyat dalam kasus lain. Kedua, tidak hadirnya pemerintah saat beberapa waktu lalu siswi muslimah dilarang berjilbab. 

Ketiga, diamnya pemerintah terhadap banyaknya busana asusila yaitu yang melanggar norma hingga mengundang syahwat dikenakan. Keempat, didengungkan kembali narasi intoleransi yang menyerang syariat Islam. 

Mencermati poin pertama, kekompakan mereka seolah menunjukkan bahwa pemerintah mengidap fobia Islam yang berdampak kepada fobia jilbab. Hanya karena aduan via sosial media yang viral, tindakan dilakukan untuk membela kasus ini.  Padahal, aturan tersebut sudah berjalan lama. Maka aneh jika pemerintah bersahut-sahutan menggoreng isu intoleransi dan pelanggaran HAM.

Soal pelanggaran HAM. Ya, sesuai jargon kebebasan ala demokrasi, negara ini sering kali menyuarakan perlindungan HAM. Jika benar melindungi HAM, pemerintah mestinya membela dan tidak memojokkan aturan seragam jilbab. Pemerintah juga tidak boleh mendesak pemerintah daerah memberikan sanksi atau pemecatan kepada pihak terkait aturan tersebut. Karena seragam jilbab ini sesuai dengan kearifan lokal yang islami.

Terkait poin kedua, seperti kasus pelarangan siswi berjilbab di Manokwari dan Bali beberapa tahun lalu. Mengapa kasus tersebut tidak dianggap intoleransi dan pelanggaran HAM? Yang mampu membuat pihak sekolah mendapat sanksi hingga pemecatan? Dari sini, terlihat sikap diskriminatif terhadap umat Islam. Sebagai kaum mayoritas, namun tidak bebas menjalankan syariat-Nya.

Menyoal poin ketiga. Telah menjadi "kewajaran", anak (remaja) di sekolah dituntun menjadi anak baik, tetapi di televisi dan media sosial dipertontonkan gaya hidup hedonis dan liberalis. Lalu, di mana peran negara melindungi generasi bangsa? Di mana suara lantangnya menghapus konten perusak generasi?

Membahas poin keempat, isu intoleransi dan HAM bagaikan pisau bermata dua yang bebas menebas tanpa tolok ukur jelas. Umat Islam yang dilarang menjalankan aturan agamanya tidak dibela dengan isu toleransi. Giliran umat Islam ingin menaati aturan-Nya dicap intoleran dan melanggar HAM. 

Hal ini mengindikasikan isu toleransi dan HAM adalah narasi sebagai dalil pembenaran bebas melanggar syariat-Nya. Ini jahat sekali, narasi yang dibuat untuk mendiskreditkan Islam.

Jika sesuai jargon demokrasi yang memihak suara mayoritas, seharusnya pemerintah mendukung aturan wajib seragam berjilbab. Karena umat Islam di Padang khususnya, dan di negeri ini pada umumnya adalah kaum mayoritas yang seyogyanya dilindungi hukum dalam menjalankan aturan-Nya.  

Jangan karena satu orang non-muslim yang keberatan, seluruh umat Islam harus mengalah dengan dalil toleransi dan HAM. Seharusnya satu orang ini yang menghargai nuansa islami di sana. Inilah wajah hipokrisi demokrasi. Kebebasan dilindungi, ajaran Islam dikebiri.

Jika umat Islam terhalang menjalankan ajaran agamanya, para pendekar toleransi membisu. Tetapi, saat umat Islam menerapkan aturannya, dicap intoleransi. Ini adalah standar ganda yang menyerang Islam. hal tersebut memverifikasi bahwa hipokrisi demokrasi itu nyata. 

Umat Islam harus memahami bahwa demokrasi bukan rumah mereka. Syariat Islam tidak akan pernah bisa diterapkan secara totalitas (kafah) dalam demokrasi. 


Moderasi, Jauhkan Umat dari Islam Hakiki

Tak hanya hipokrit, demokrasi juga hendak mencabut dan menjauhkan ajaran Islam dari pemeluknya. Buktinya? Akhir-akhir ini, moderasi agama (Islam) masif digulirkan dalam berbagai kebijakan. Sebut saja, penempatan guru non-muslim di madrasah hingga Perpres anti ekstremisme (salah satunya ada program pelatihan penceramah agama untuk mendorong moderasi agama). 

Pun SKB 3 Menteri tak luput dari target moderasi. Di mana Kemenag bertugas mendampingi dan menguatkan pemahaman serta praktik beragama moderat ke pemerintah daerah dan atau sekolah yang tidak melaksanakan ketentuan dalam SKB ini. Kebijakan untuk tidak memaksa dan melarang warga sekolah berpakaian muslimah pun menjadi wajah moderasi beragama. 

Arus moderasi beragama  sebenarnya tak hanya terjadi saat ini. Kemenag sebelumnya menempuh delapan upaya untuk akselerasi penguatan moderasi beragama, antara lain review 155 buku pelajaran agama Islam untuk memperkuat pemahaman moderasi beragama para siswa, pembelajaran khilafah yang dulunya menekankan aspek fikih diubah ke kajian sejarah, menggelar diklat 160 instruktur moderasi beragama, menerbitkan 12 buku pendidikan agama Islam berperspektif moderasi beragama, pendirian rumah moderasi beragama di sejumlah PTKI, dst. (republika.co.id, 18/2/2021)

Mengapa mesti moderasi Islam? Moderasi Islam merupakan upaya menjadikan Islam sebagai ajaran moderat. Targetnya salah satunya untuk menghadang apa yang disebut sebagai Islam radikal, eksklusif, ekstrem.

Moderat ditafsirkan sebagai jalan tengah, tidak liberal, namun juga tidak radikal. Islam diambil sebatas ritual dan syariat parsial, seperti dalam pernikahan, perceraian dan akhlak. Serta menolak penerapan syariat secara keseluruhan seperti sistem politik, pemerintahan, hukum pidana dan sosial ekonomi.

Dalam aspek keyakinan,   menganggap Islam dan agama lain sama benar.  Karenanya mereka mengembangkan toleransi sampai pada batas menerima kebenaran agama lain, ikut merayakan hari raya agama lain, memfasilitasi perkembangan agama lain, dan menerima kepemimpinan agama lain.

Dalam kaitannya dengan dakwah, Islam moderat mengajarkan dakwah yang hanya menyeru kepada ibadah dan akhlak. Inilah yang mereka sebut sebagai dakwah yang ramah,  santun, dakwah yang tidak membenturkan umat dan penguasa.

Sepintas, gagasan moderasi Islam (Islam moderat) seolah positif dan elegan. Namun jika ditelisik, kampanye Islam moderat tak lepas dari peristiwa WTC 11 September 2001 di mana kelompok muslim dituduh bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Akhirnya, umat Islam menjadi tertuduh, dan diciptakanlah istilah Islam radikal untuk menggiring kaum muslim agar menerima istilah Islam moderat. 

Dari berbagai pernyataan para politisi dan intelektual Barat terkait klasifikasi Islam menjadi Islam moderat dan Islam radikal atau ekstremis, akan kita jumpai bahwa yang mereka maksud Islam moderat adalah Islam yang tidak anti Barat (anti kapitalisme sekuler), serta tidak menolak berbagai kepentingan Barat. Substansi Islam moderat adalah Islam sekuler, mau menerima nilai-nilai Barat seperti demokrasi dan HAM, serta mau berkompromi dengan imperialisme Barat dan tidak menentangnya. Moderasi Islam hendak menjadikan "Islam ramah" dan bisa menjadi mitra Barat.  

Bagaimana jika mereka mendasarkan argumentasinya pada QS. Al Baqarah: 143 tentang "ummatan wasathan" yang mereka maknai bahwa posisi umat Islam adalah moderat, bersikap jalan tengah? Tidak terlalu ketat dalam praktik beragama, pun tidak bebas melampaui batas ketetapan hukum Islam. 

Jika dicermati, penggunaan ayat tersebut untuk menjustifikasi Islam moderat merupakan argumentasi yang dipaksakan. Karena jika kita mengaitkan makna ummatan washatan dengan tafsir ulama terdahulu, akan kita dapati maknanya adalah umat pilihan atau umat terbaik. 

Imam ath-Thabary mengartikannya sebagai umat terbaik/pilihan. Sayyid Qutub memaknainya sebagai umat adil dan pilihan serta menjadi saksi atas manusia seluruhnya. Adapun Imam Ashobuni juga mengartikan sebagai umat adil dan pilihan. 

Dengan demikian, sejatinya Islam moderat merupakan pemahaman yang tidak datang dari Islam dan tidak dikenal dalam Islam. Pemahaman ini berkembang pasca diruntuhkannya negara khilafah dengan dukungan negara-negara Barat. 

Tujuannya agar nilai dan praktik Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum Islam lainnya dapat dieliminasi dari kaum muslim dan diganti pemikiran serta budaya Barat. Pengkotak-kotakan Islam moderat dan Islam radikal diduga kuat sebagai strategi memecah-belah kaum muslimin dan menghancurkan Islam. 

Inilah wajah moderasi agama dalam hipokrisi demokrasi. Akankah kaum muslimin terus memercayainya sebagai sistem politik terbaik? Tidakkah kita merindukan sistem pemerintahan yang menerapkan firman-Nya? Semoga Allah Swt berkenan menolong kaum muslimin dengan hadirnya kembali khilafah 'ala minhajin nubuwah.[]



Oleh: Puspita Satyawati* dan Ika Mawarningtyas**
*Analis Politik dan Media 
**Analis Muslimah Voice


Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar