Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menimba Ilmu Sembari Menyuci Baju

Topswara.com -- Musim penghujan di bulan ini membuat pagi hari terasa dingin. Minuman penghangat badan adalah pilihan untuk menemani aktivitas pagi, seringkali dalam keluarga saya ngopi,  kendati bukan kewajiban tapi ada yang kurang ketika belum ngopi. Ya, kopi hitam juga menemani serunya mengikuti diskusi di grup WhatsApp Coaching with Om Joy (CwOJ) Pembuatan Straight News Angkatan Pertama, Jumat (5/2/2021) yang dimulai pukul 06.30. WIB.

Melihat notif di ponsel ada pesan masuk, Om Joy mengirimkan gambar sebuah berita. Judul dalam berita tersebut adalah “Tengku Zul Kena Kepret Juga: Dinar Emas Maupun Dinar Candy Bukan Alat Tukar yang Sah, HTI Sih!”. Pagi itu saya lagi bantuin mae (ibu) memasak, sesekali saya nyeruput kopi hitam di gelas tadi.

Selanjutnya tertulis pertanyaan di grup terkait judul. “Silakan dianalisis, judul macam apa itu... ujar Om Joy.

Saya terpana dengan penggalan judul dari gambar yang dikirim tertulis “HTI sih!”, auto saya kirim emotikon ketawa sampai miring-miring, karena menurut saya tendensius sekali judulnya.

Peserta yang lain pun tak lupa menjawab dari pertanyaan yang dilontarkan Om Joy tadi, tak lama kemudian Om Joy memberikan clue dari pertanyaannya sendiri. Di bawah ini kutipannya:


“Ini saya kasih clue

Judul:
Tengku Zul Kena Kepret Juga: Dinar Emas Maupun Dinar Candy Bukan Alat Tukar yang Sah, HTI Sih!

Lead (kepecah jadi tiga paragraf):

Pegiat Media Sosial Eko Kuntadhi, merespons pernyataan Mantan Petinggi MUI Tengku Zulkarnain yang mempertanyakan Bank Indonesia (BI) soal dinar dan dirham bukan alat tukar jual-beli.

Terkait itu, Eko pun tampak ngegas memberikan penjelasan terhadap Tengku Zul ini. Ia menyebut bahwa alat tukar yang sah Rupiah. Bahkan, dinar emas bahkan DJ yang bernama Dinar Candy bukanlah alat tukar yang sah di Indonesia.

Alat tukar yang syah itu rupiah. Dinar emas maupun dinar Candy bukan alat tukar yang syah di Indonesia, cuitnya dalam akun Twitternya, seperti dikutip, Kamis (4/2/2021).

Pernyataan terkait HTI (baru muncul di paragraf ketujuh):

Tegasnya, ini adalah Indonesia dan bukan bangsa khilafah. HTI sih, dalam UUD?nya memang menggunakan dinar sebagai mata uang. Tapi ini Indonesia, bukan bangsa khilafah, tegasnya.

Pertanyaannya: Judul macam apa itu?
https://www.google.com/amp/s/amp.wartaekonomi.co.id/berita326204/tengku-zul-kena-kepret-juga-dinar-emas-maupun-dinar-candy-bukan-alat-tukar-yang-sah-hti-sih”

Pak Ivan, peserta angkatan pertama, turut serta menganalisis dari berita tersebut. Dalam analisisnya yang lumayan panjang itu, pada bagian analisa judul tertulis 'judul tidak sesuai lead'. Dan saya sendiri juga mencoba menjawab pertanyaan tersebut, akan tetapi belum tepat. Terdengar suara mae (ibu) yang sudah menyuruh mencuci baju. "Waduh ini lagi seru-serunya mau jawab pertanyaan," gerutuku. 

Baru sempat membalas  "Belum" atas respon pesan dari Om Joy, mae sudah datang menyampaikan untuk segera mencuci baju, ya sudahlah saya tinggal dulu diskusinya.

Diskusi terus berjalan sampai terdapat pembahasan nasi gulai menyertai kelas yang Om Joy ibaratkan.

Dari jawaban peserta belum ada yang memuaskan hati Om Joy. Ya, karena memang belum tepat. Sehingga Om Joy kembali mengingatkan tentang bahasan mengenai judul. "Kita kan sudah bolak-balik bahas judul kan? Sebagai bukti kita paham cara membuatnya, kita juga bisa menilai judul SN yang ada, apakah sudah sesuai dengan pedoman pembuatan judul SN apa belum," tandasnya.

Kembali saya melanjutkan membaca komentar di grup setelah cucian saya kelar, tertulis pada kesimpulan Om Joy adalah bahwa berita tersebut termasuk dalam kategori misleading (keliru atau menyesatkan). Kemudian penjelasan ditambah dengan voice note,  Om Joy menjelaskan ulang bahwa judul menyalahi aturan straigh news.

Pada gambar berita tadi,  judul tidak sesuai dengan lead, dibuat bombastis yang dosisnya berlebih, ya bisa disebut judul lebay karena ada kata 'juga' pada  judul 'kena kepret juga'. Tidak mengandung saripati dari lead, karena ada kata 'HTI Sih! yang tidak ditemukan dalam lead di paragraf satu melainkan di paragraf ketujuh.

"Pokok permasalahannya itu langsung ditulis di paragraf pertama. Paragraf pertama itu disebut dengan lead (teras berita). Di dalam paragraf pertama ini ada kalimat pertama (angle), angle itu adalah sudut pandang pemberitaan, angle inilah yang sebetulnya pokok permasalahannya," tutur Om Joy dalam voice note.

Om Joy pun melanjutkan penjelasannya bahwa SN yang orang awam sebut itu berita merupakan rekonstruksi suatu informasi atau kejadian yang langsung pada pokok permasalahan. Pokok permasalahan itu harus ada di lead bahkan di angle. Dalam lead ini tercantum 5W 1H, adapun judul merupakan saripati dari lead (angle). Contoh yang disampaikan barusan jelas menyalahi kaidah penulisan judul, juga menyalahi penulisan lead

Mendengar pesan suara itu saya semakin paham tadi pertanyaan yang seharusnya dijawab itu judul yang missleading.

Di grup itu juga ada pertanyaan, dari peserta yang bernama Faizah, ''Kenapa kok bisa tayang Om?''  

Dengan cepat Om Joy membalas singkat, “(Karena) tidak profesional.”

Jam menunjukkan pukul 07.56 WIB, Dosen Pembimbing (Dosbing) Rasman baru nongol dan langsung memberikan tanggapan, "Judul enggak sesuai dengan angle (menurut saya judul fatal)."  

Dosbing Rasman juga memberikan argumen  terkait dengan koridor penulisan judul, yang seakan menunjukkan orang HTI yang (jika judul dibaca) kemudian "HTI sih" kan adanya di paragraf bawah. Enggak ada di lead. Jadi sudah jelas salah penulisan judulnya (enggak sesuai koridor penulisan judul SN). Jawaban dosbing inilah yang benar sesuai pertanyaan Om Joy.

Menurut Om Joy, karena tidak profesional begitu, maka dapat disimpulkan SN di atas tidak objektif. Padahal secara instrinsik yang namanya SN harus objektif. Karena SN merupakan bagian dari news (berita atau rekonstruksi suatu kejadian) bukan views (opini atau sikap atas kejadian).

Dosbing Rasman menimpali, “Bisa di duga berita semacam ini untuk menggiring opini seakan ada  HTI di baliknya (padahal jelas mereka hanya menyasar ajaran Islam dengan dalih HTI. 

Menurutnya, membuat SN yang tidak objektif itu sah-sah saja buat mreka. Setiap media kan mempunyai Ideologi. Nah bisa jadi mereka menulis atau menerbitkan berita dengan judul fatal begitu karena kepentingan mereka

“Nah, ini bahasannya sudah unsur ektrinsik,” ujar Om Joy merespons pernyataan Rasman.

Om Joy menegaskan, secara instrinsik tidak boleh bikin SN yang menyalahi pedoman pembuatan SN. 

“Secara ekstrinsik, tentu saja kita musuh ideologis dengan mereka. Tetapi secara instrinsik kita maupun mereka harus sama-sama profesional dalam berperang, dengan cara membuat SN yang objektif alias sesuai dengan kaidah jurnalistik atau yang saya sebut di atas sesuai dengan pedoman membuat SN yang profesional. Dan contoh SN yang dibahas di atas, adalah contoh ketidakprofesionalan musuh dalam berperang, tegasnya.

“Bagi kita enggak boleh Om. Tapi bagi mereka (kita enggak tahu). Apalagi bila standar mereka bukan berdosa atau tidak. Halal atau haram. Tapi demi kepentingan dunia mereka semata. Jadi walau menyalahi aturan bisa saja mereka lakukan... (apalagi kalau ideologi mereka sekuler)…” sanggah Rasman sembari memunculkan emotikon senyum.

Mbak Reni, peserta angkatan pertama,  berkomentar mendukung Dosbing Rasman. Menurutnya ini masalah ketakwaan individu.  Ketakwaan individu, tulisnya me-replay komentar Dosbing Rasman.

“Ya, benar ketakwaan individu. Tapi jangan salah individu bertakwa juga belum tentu bisa bikin SN yang sesuai kaidah. Dan orang yang bisa membuat SN sesuai kaidah, belum tentu juga bertakwa. Orang kafir yang membuat SN sesuai kaidah tentu saja bukan orang bertakwa, beber Om Joy menjelaskan duduk permasalahannya. 

"Benar juga ya," batin saya membaca ulasan yang disampaikan Om Joy.

Om Joy menyimpulkan dari pembahasan panjang judul di pagi itu adalah masalah profesionalitas dalam membuat SN. Orang bertakwa maupun orang fasik dan kafir mestinya sama-sama profesional dalam membuat SN. Agar SN-nya terkategori objektif. 

“Kalau dari sisi pemilihan narsum dan kutipan pernyataan narsum, sepertinya bukan masalah bagi editor karena memang satu visi misi. Yang jadi masalah itu dari sisi instrinsiknya, editornya pun tidak memahami kaidah pembuatan SN yang benar. Alias editornya pun tidak profesional, tegasnya.

Om Joy menilai karakter profesional itulah yang menjadikan seorang reporter menulis straight news (berita lugas) dengan objektif. Kemudian dari hasil diskusi tentang judul tersebut diakhiri dengan tugas untuk membuat opini, feature atau straight news terkait yang baru saja dibahas.

Alhamdulillah bersyukur sekali  join di WAG  CwOJ, ilmu mengalir seperti air. So teman-teman yang sudah gabung jangan bolos sekolah dengan tidak membuka grup, sehingga terlewat info dari dosbing. Jangan sia-siakan kesempatan, jangan ngerasa "gelas penuh", meskipun musim penghujan cucian berhari-hari baru kering, jangan biarkan hati kita mengering. [] Munamah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar