Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Individu, Masyarakat, dan Negara Bersama Mengejar Surga



Seberapa seringkah kita melihat sepasang laki-laki dan perempuan berduaan begitu mesra di tempat umum? Apa yang ada dibenak kita saat itu? Ah sudah biasa? Memang sudah zamannya? Pernahkah kita berpikir, apakah mereka pasangan halal? Atau malah berpendapat, ngapain pusing ikut campur urusan orang, itu kan hak mereka?

Atau, seberapa sering kita disuguhi berita perkosaan? Predator seksual yang tak peduli usia bahkan tak lagi melihat jenis kelamin? Pedhofil? Sodomi? Masihkah kita merasa negeri ini baik-baik saja karena yang pacaran bukan anggota keluarga kita? Karena yang mengalami kekerasan seksual bukan saudara kita? Karena hidup kita masih aman-aman saja kemudian tak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana? Yang penting bukan kita? Yang penting kita jadi orang baik?

Inilah fakta hari ini. Kebebasan bertindak dan bergaul, baik yang dilandasi suka sama suka atau dengan pemaksaan dan kekerasan sudah menjadi santapan sehari-hari. Keadaan ini diperparah dengan sifat individualistik masyarakat karena merasa bukan bagian dari tanggungjawabnya. Juga  peran negara yang belum juga mampu menemukan solusi tuntas untuk mengatasi masalah tersebut. 

Hukuman kebiri menjadi salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi kasus predator seksual. Hukuman dengan menyuntikkan bahan kimia untuk melemahkan hasrat seksual ini dianggap menjadi balasan setimpal sekaligus mampu memberikan efek jera bagi pelaku. Benarkan demikian? Apakah hanya predator seksual yang layak dihukum setimpal?

Bagaimana dengan perilaku pacaran? Apakah karena suka sama suka dan bukan termasuk tindakan kriminal maka tidak layak dihukum? Adakah peraturan yang menghukum orang pacaran? Mendengarnyapun mungkin aneh, mengada-ada atau bahkan bisa dianggap melanggar hak asasi manusia. Karena mereka merasa punya otoritas dalam menentukan apa yang boleh dilakukan dan tidak, termasuk pacaran. Asalkan pacarannya sehat, tidak sampai berzina, maka dianggap bukan sebuah pelanggaran atau perbuatan yang merugikan. Padahal, perilaku pacaran justru berpotensi menimbulkan kerusakan yang berkelanjutan dari generasi ke generasi. 

Mungkin memang tidak ada kerugian materi. Tapi, dampak dari kemaksiatannya justru lebih luas dari itu. Pacaran berpotensi menggiring kepada zina. Sementara itu, anak hasil berzina, yang suci tanpa dosa, harus menerima konsekuensi dari perbuatan haram orangtuanya. Sang anak tidak bisa bernasab kepada ayahnya, tidak bisa mendapatkan hak waris, dan jika perempuan, tidak bisa menjadikan ayahnya sebagai wali saat menikah. Bagaimana status pernikahan anaknya, keturunannya dan seterusnya? 

Mereka memang tidak melanggar peraturan pemerintah, tapi mereka menabrak larangan Allah. Sementara itu, azab Allah tidak hanya menimpa mereka yang berbuat maksiat, namun juga ditimpakan kepada yang melihat kemudian mendiamkan atau bahkan malah mengikuti jejaknya. Bukankan ini akan menjadi bencana yang tak berkesudahan?

Inilah dampak dari sistem sekulerisme, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Menurut mereka bergaul bukan termasuk ibadah. Itulah sebabnya dalam bergaul tidak memakai aturan agama, tapi hanya sekedar baik buruk menurut persepsi manusia. 

Begitu pula dengan pelaku kekerasan, pemerkosa, predator seksual, pedhofil, sodomi, dan sebutan sejenis lainnya. Di satu sisi, keyakinan mereka akan keberadaan Tuhan dan aturan-aturanNya patut dipertanyakan. Karena tertarik kepada lawan jenis kemudian muncul hasrat seksual adalah fitrah. Hanya cara memenuhinya yang dapat dipilih. Apakah mau bebas sekehendak hati, tanpa peduli halal-haram atau memilih berhati-hati karena sadar ada konsekuensi pahala dan dosa yang tidak ringan.

Di sisi lain, apa yang membuat aqidah umat menjadi lemah sehingga mudah berbuat maksiat? Apakah upaya menguatkan aqidah umat sudah dilakukan dengan maksimal oleh semua pihak? Atau justru masyarakat masih terbatas dalam mengakses pendidikan agama, tapi begitu bebas mengakses hal-hal negatif seperti pornografi, pornoaksi, atau kemaksiatan lain yang dapat merusak iman?

Kemudian yang tidak kalah penting, bagaimana sanksi yang diterapkan? Apakah benar-benar mampu memberi efek jera hingga sang pelaku kapok sekaligus membuat orang lain tidak terpikir untuk melakukan kemaksiatan yang sama? Fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Sehingga, kasus masih saja berulang dan korbanpun terus bertambah. 

Dalam Islam, sistem pergaulan diatur begitu jelas dan rinci. Allah menetapkan pembagian peran laki-laki dan perempuan secara proporsional sesuai fitrahnya. Perintah menundukkan pandangan, menghindari berdua-duaan (khalwat), kewajiban menutup aurat, larangan berhias dan bercampur baur (ikhtilat), aturan bepergian bagi perempuan, tidak lain adalah untuk menjaga kehormatan, meninggikan derajat dan martabat perempuan. Namun aturan ini justru dianggap sebagai pengekangan dan diskriminasi. Saat mereka mengalami pelecehan dan kekerasan seksual barulah berteriak menuntut keadilan. 

Sementara itu, sanksi menjadi upaya terakhir untuk mencegah kriminalitas, yaitu dengan menciptakan rasa takut. Contoh hukum dera (cambuk) 100 kali bagi pezina yang belum menikah atau rajam hingga mati di depan umum bagi yang sudah menikah, akan membuat orang berpikir seribu kali sebelum bertindak. Selain itu, hukuman ini akan menjadi kafarat (penebus dosa) di akhirat yang siksanya jauh lebih berat. Syariat yang dinilai kejam dan tak manusiawi oleh sebagian masyarakat, padahal dampak dari penerapan hukum ini adalah, perlindungan total dari maraknya perzinahan, pelecehan dan kekerasan seksual yang terus memakan korban. 

Untuk kasus perkosaan yang di dalamnya ada unsur pemaksaan, penyiksaan, menyakiti, dan sebagainya, maka ulama berpendapat bahwa ia akan terkena hukuman yang lebih berat dari hukum rajam bagi pezina, sesuai keputusan hakim. 

Dibutuhkan sinergi yang kuat antara individu, masyarkat dan negara agar permasalahan benar-benar tuntas hingga ke akar. Aqidah yang kuat pada diri setiap muslim akan membuatnya berusaha keras menghindari apapun yang Allah haramkan. Benteng diri dari pengaruh buruk pergaulan bebas. Pengendali pertama dan utama agar nafsu tak terjebak pada pemenuhan yang menyimpang apalagi sampai bertindak kriminal. 

Kepedulian masyarakat tidak hanya dibutuhkan saat terjadi bencana alam, kemiskinan, wabah atau bencana fisik lainnya. Tapi juga sangat dibutuhkan dalam mencegah bencana moral, krisis aqidah. Masyarakat yang beriman tidak akan tinggal diam saat melihat orang bebas pacaran mengumbar maksiat. Tidak akan rela melihat aurat tetangganya masih terbuka. Tidak akan pernah bosan mengingatkan teman agar tidak meninggalkan sholat. 

Negara hadir dengan menciptakan kondisi yang menunjang terjaganya aqidah umat. Mulai dari menyediakan sistem pendidikan yang berdasarkan aqidah islam, melakukan kontrol media dari konten merusak moral, juga menerapkan sanksi tegas bagi para pelanggar syariat sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, yang pasti benar, pasti adil. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah: 50).

Sinergi antara aqidah individu, peran masyarakat dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan negara yang hadir melayani, membimbing dan melindungi umat akan menciptakan kehidupan yang penuh berkah. Allah berfirman dalam Surat Al A’taf: 96: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”.

Untuk itulah, shaleh dan masuk surga tak bisa sendiri. Individu, masyarakat juga negara harus mengejarnya bersama-sama, dengan menjadikan Islam sebagai solusi tuntas atas semua kemaksiatan yang semakin tak terkendali. Bukan sekedar kebiri, penjara atau rehabilitasi ala sekulerisme, yang jelas banyak cacat dan jauh dari sempurna karena berasal dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas.

Wallahu’alam bishawab.

Anita Rachman – Muslimah Peduli Peradaban

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar