Topswara.com -- Beberapa media rutin mengulas asal-usul 1 Januari sebagai “Tahun Baru”. Misalnya detik.com (25/12/2024) yang menjelaskan keterkaitan penetapan 1 Januari dengan sejarah kalender Romawi.
National Geographic Indonesia (28/12/2023) juga menulis bahwa bangsa Romawi mengaitkan 1 Januari dengan Janus (dewa “pintu/permulaan”), lengkap dengan tradisi persembahan pada momen awal tahun.
Dari sisi sejarah kalender modern, Encyclopedia Britannica menerangkan bahwa 1 Januari menguat dalam tradisi sipil sejak reformasi kalender Julius Caesar (Kalender Julian), lalu distandardisasi melalui reformasi Kalender Gregorian pada masa Paus Gregorius XIII.
TIME pun merangkum bahwa Januari 1 sebagai awal tahun adalah produk perjalanan panjang peradaban Romawi–Eropa, dan kemudian menyebar luas sebagai kalender sipil dunia.
Nah Sob, dari sini saja sudah kelihatan jika perayaan Tahun Baru 1 Januari bukanlah tradisi yang lahir dari Islam, melainkan dari sejarah dan simbol kebudayaan atau peradaban lain.
Dalam Islam, masalah “hari raya” bukan sekadar soal tanggal, tetapi syiar (identitas) yang terkait dengan cara pandang hidup dan peribadatan.
Pertama, hari raya umat Islam hanya dua, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Rasulullah Saw ketika tiba di Madinah mendapati penduduk memiliki dua hari bersenang-senang (tradisi jahiliah). Lalu beliau bersabda bahwa Allah menggantinya dengan yang lebih baik, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Hadis ini diriwayatkan antara lain oleh An-Nasa’i dan Ahmad.
Karena itu, ulama menegaskan umat Islam tidak membuat “hari raya” baru yang dijadikan momen perayaan rutin tahunan, apalagi meniru syiar perayaan umat lain.
Kedua, dilarang ikut-ikutan tanpa mengetahui asal-usulnya. Di sinilah dalil Al-Qur’an yang Bi minta itu “nendang” banget, Allah melarang kita mengikuti sesuatu tanpa ilmu,
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…” (QS Al-Isra: 36).
Ayat ini bukan melarang bertanya, tetapi justru memerintah kita berilmu sebelum mengikuti. Maka, ketika sebuah perayaan datang dari tradisi tertentu, seorang Muslim wajib paham, ini syiar siapa? akar maknanya apa? dampaknya pada akidah dan identitas apa?
Ketiga, kaidah ulama tentang tasyabbuh (menyerupai). Banyak ulama membahas konsep tasyabbuh adalah meniru kekhasan syiar atau perayaan non-Muslim. Intinya, yang haram adalah meniru perkara yang menjadi ciri khas (syiar) agama atau perayaan mereka, bukan sekadar hal umum yang netral.
Karena perayaan Tahun Baru 1 Januari pada praktiknya identik dengan ritual sosial khas, seperti pesta, hitung mundur, kembang api, tiup terompet, euforia “detik-detik”, ucapan selamat, bahkan sering bercampur ikhtilat tak terjaga, musik hura-hura, mabuk, dan pemborosan, maka banyak ulama memandangnya sebagai wilayah tasyabbuh dan membuka pintu kemaksiatan.
Sebagian kalangan memang membahas perbedaan pendapat, ada yang menilai pergantian tahun Masehi itu urusan kalender sipil/adat, bukan ibadah; sehingga yang dilarang adalah unsur maksiatnya.
Tetapi catat Sob, yang sedang kita bicarakan adalah “perayaan” bukan sekadar tahu tanggal, mengatur jadwal kerja, atau administrasi. Ketika sudah menjadi “pesta tahunan” dengan simbol, slogan, dan euforia khas, ia mudah bergeser menjadi syiar yang ditiru tanpa sadar.
Keempat, lalu sikap Muslim bagaimana?Islam tidak mengajarkan umatnya jadi “anti tanggal”. Islam mengajarkan anti ikut-ikutan dan anti menjadikan hidup sekadar kalender. Maka saat pergantian tahun datang, sikap paling layak bagi seorang Muslim adalah,
Pertama, muhasabah diri. Sudah seberapa taat kita? seberapa jujur shalat kita? seberapa bersih rezeki kita? seberapa kuat kita menjaga kehormatan?
Kedua, taubat dan rencana amal, bukan resolusi ala motivator doang, tetapi langkah konkret memperbaiki iman, ilmu, dan amal.
Ketiga, menjaga syiar Islam. Jangan menggadaikan identitas Islam demi “biar ga kudet”.
Dalam cara pandang Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, umat Islam harus menjaga kepribadian Islam (syakhsiah islamiah), pola pikir dan pola sikap yang dibangun di atas akidah dan hukum syara’. Di antara konsekuensinya ialah tidak larut dalam budaya peradaban lain yang membawa nilai dan syiarnya, terutama yang menanamkan cara hidup sekuler (hidup tanpa Allah dalam standar publik).
Maka “ganti tahun” seharusnya menjadi alarm muhasabah bahwa tahun ini harus lebih salih dari tahun kemarin, lebih jujur, lebih bersih, lebih kuat menahan nafsu, lebih serius menuntut ilmu, lebih giat berdakwah, lebih lembut pada keluarga, bukan lebih heboh kembang apinya.
Karena Muslim itu bukan budak tren. Muslim itu hamba Allah yang menutup tahun dengan taubat, dan membuka tahun dengan niat lurus.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar