Topswara.com -- Pemerintah melalui PP Tunas berupaya melindungi anak di ruang digital dengan membatasi akses dan meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas media sosial. Kebijakan ini lahir dari keprihatinan atas maraknya paparan konten pornografi, perundungan siber, hingga gaya hidup liberal yang mudah diakses anak dan remaja.
Fakta di lapangan menunjukkan, tak sedikit anak yang mengalami kerapuhan mental, depresi, bahkan memilih mengakhiri hidup ketika menghadapi tekanan hidup yang disebut-sebut dipicu oleh media sosial.
Namun, pertanyaannya, sejauh mana kebijakan ini efektif? Jika ditelaah lebih dalam, ruang digital sejatinya bukanlah penyebab utama berbagai masalah yang menimpa generasi muda.
Media sosial hanyalah sarana yang mempertebal emosi, perasaan, dan kecenderungan yang telah ada dalam diri anak. Anak yang memiliki ketahanan mental dan pemahaman hidup yang kuat tidak mudah tumbang meski terpapar berbagai konten negatif.
Sebaliknya, anak yang rapuh akan semakin terpuruk ketika berhadapan dengan tekanan, baik dari dunia nyata maupun dunia maya.
Akar persoalan sesungguhnya terletak pada sistem kehidupan yang diterapkan hari ini, yakni sekularisme-kapitalisme. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan kesenangan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan.
Akibatnya, anak tumbuh tanpa arah hidup yang jelas, miskin makna, dan minim pegangan nilai. Dalam kondisi seperti ini, pembatasan akses media sosial hanya menjadi solusi pragmatis yang parsial.
Kebijakan tersebut bertumpu pada aspek media semata, tanpa menyentuh persoalan mendasar yang membentuk kepribadian anak secara utuh.
Perilaku manusia pada hakikatnya dipengaruhi oleh pemahamannya, bukan oleh media sosial. Media sosial hanyalah produk kemajuan iptek (madaniyah) yang akan selalu dipengaruhi oleh ideologi yang melingkupinya.
Oleh karena itu, negara seharusnya membangun benteng keimanan yang kokoh melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah, agar anak mampu menyikapi setiap informasi dengan benar dan bertanggung jawab.
Lebih dari itu, dalam sistem khilafah, syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya pendidikan. Lingkungan sosial, media, ekonomi, dan hukum diatur agar sejalan dengan nilai Islam.
Dengan demikian, akan tercipta kondisi ideal untuk membentuk generasi yang taat, tangguh, dan berkepribadian Islam. Upaya ini tentu membutuhkan peran seluruh elemen generasi untuk bersama-sama memahami dan memperjuangkan penerapan Islam secara kaffah, demi keselamatan dan masa depan anak-anak umat.
Wallahu’alam bii sawwab.
Oleh: Siti Nurhasna Fauziah, S.Ag.
Aktivis Muslimah

0 Komentar