Topswara.com -- Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Tunas digadang-gadang sebagai langkah negara melindungi anak dari ancaman dunia digital. Pemerintah menyatakan regulasi ini bertujuan membatasi akses anak di media sosial demi mencegah cyber bullying, paparan pornografi, dan konten berbahaya lainnya (Kompas.com, 6/12/205).
Namun di balik narasi perlindungan tersebut, muncul pertanyaan krusial: apakah PP Tunas benar-benar menjawab persoalan mendasar generasi, atau sekadar menjadi ilusi perlindungan di tengah krisis yang jauh lebih sistemikls?
Generasi dalam Kepungan Krisis Digital
Data menunjukkan bahwa anak dan remaja Indonesia semakin akrab dengan dunia digital sejak usia dini. Rata-rata anak mengakses internet lebih dari 5 jam per hari, dengan media sosial menjadi konsumsi utam (nasional.kompas.com, 6/12/2025).
Di saat yang sama, laporan berbagai lembaga menunjukkan meningkatnya paparan pornografi, perundungan daring, ujaran kebencian, hingga normalisasi gaya hidup liberal di platform digital.
Kondisi ini berbanding lurus dengan meningkatnya masalah kesehatan mental pada remaja. Kasus depresi, kecemasan berlebih, self-harm, bahkan bunuh diri di kalangan pelajar terus bermunculan.
Media sosial kerap dituding sebagai pemicu utama, terutama karena budaya validasi semu, perbandingan sosial, dan tekanan eksistensi yang tak berkesudahan. Dalam situasi inilah PP Tunas hadir dengan pendekatan pembatasan akses sebagai solusi cepat.
Salah Menentukan Biang Masalah
Menjadikan media sosial sebagai kambing hitam adalah penyederhanaan masalah yang berbahaya. Ruang digital bukanlah penyebab utama kerusakan generasi, melainkan hanya medium yang memperkuat emosi, persepsi, dan kecenderungan yang sudah tertanam dalam diri anak.
Media sosial tidak menciptakan kegelisahan, ia hanya mempercepat dan memperbesar dampak dari kekosongan nilai yang telah lama ada.
Akar persoalan sesungguhnya terletak pada penerapan sistem sekularisme-kapitalisme yang menyingkirkan agama dari kehidupan. Sistem ini membentuk generasi tanpa orientasi akhirat, tanpa standar halal-haram, dan tanpa tujuan hidup yang benar.
Pendidikan lebih menekankan capaian akademik dan kompetisi pasar, sementara pembentukan kepribadian dan ketahanan mental diabaikan.
Dalam konteks ini, PP Tunas hanyalah solusi pragmatis dan teknokratis. Pembatasan usia dan akses digital tidak menyentuh aspek ideologis, tidak mengoreksi sistem pendidikan yang rusak, dan tidak mengubah lingkungan sosial yang permisif.
Regulasi ini hanya berfokus pada “alat”, bukan pada “manusia” yang menggunakannya. Akibatnya, kebijakan ini berpotensi mandul dan mudah ditembus, bahkan membingungkan dalam implementasi.
Perlindungan Berbasis Perubahan Sistemis
Perilaku manusia pada hakikatnya ditentukan oleh pemahaman hidupnya. Media sosial adalah produk kemajuan teknologi (madaniyah) yang bersifat netral, tetapi arah penggunaannya sangat ditentukan oleh ideologi yang melingkupinya.
Dalam sistem kapitalisme, media menjadi komoditas yang mengeksploitasi naluri manusia demi keuntungan. Dalam Islam, teknologi diarahkan untuk mendukung ketaatan dan kemaslahatan umat.
Karena itu, negara semestinya membangun benteng keimanan yang kokoh pada generasi melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam.
Pendidikan harus membentuk pola pikir dan pola sikap Islam, sehingga anak mampu mengendalikan diri, bersikap kritis, dan bertanggung jawab dalam menggunakan ruang digital tanpa harus diawasi terus-menerus oleh regulasi teknis.
Lebih jauh, perlindungan anak tidak akan efektif jika hanya dilakukan secara sektoral. Negara Islam (khilafah) akan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam bidang pendidikan, media, ekonomi, dan sosial.
Media akan difungsikan sebagai sarana dakwah dan edukasi, bukan alat perusak moral. Lingkungan sosial pun dibangun agar selaras dengan fitrah manusia.
Pada akhirnya, perlindungan hakiki terhadap anak tidak lahir dari pembatasan akses semata, tetapi dari perubahan sistem kehidupan.
Dibutuhkan kesadaran kolektif umat untuk memahami akar masalah dan memperjuangkan penerapan Islam secara kaffah. Tanpa itu, PP Tunas hanya akan menjadi kebijakan reaktif yang gagal menyelamatkan generasi dari krisis yang kian mengakar
Oleh: Wulandari, SP., S.Pd.
Pendidik

0 Komentar