Topswara.com -- SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara diguncang ledakan pada Jumat (7/11). Peristiwa tersebut terjadi saat salat Jumat sedang berlangsung di masjid sekolah. Akibat ledakan tersebut, 96 orang terluka.
Setelah pemeriksaan, diketahui bahwa ledakan berasal dari bom rakitan yang dibawa oleh salah satu siswa SMAN 72. Pelaku membawa 7 bom rakitan, tetapi hanya 4 yang meledak. Di lokasi kejadian juga ditemukan senjata mainan.
Namun demikian, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Bhudi Hermanto mengatakan aksi ini tidak terkait dengan terorisme, tetapi dipicu oleh frustasi pribadi yang dialami pelaku.
Ada kemarahan dalam diri siswa tersebut pada keluarga dan lingkungan sekitarnya yang terakumulasi hingga akhirnya meledak. (kompas.com, 10-11-2025)
Peristiwa ini tentu saja mengejutkan semua kalangan. Sekolah yang harusnya menjadi tempat aman dan nyaman bagi siswa untuk belajar diguncang oleh kejadian mengerikan yang menimbulkan korban dan menyisakan trauma. Mirisnya, yang melakukan adalah siswa itu sendiri.
Ledakan di SMAN 72 menjadi tamparan keras sekaligus kecolongan besar bagi semua pihak. Bukan hanya sekolah yang bertanggung jawab, tetapi keluarga dan masyarakat tak bisa lepas tangan dari kasus ini.
Kesalahan ada pada semua pihak. Sekolah lalai mendeteksi tanda-tanda tak biasa dari peserta didiknya. Masyarakat gagal melakukan fungsi kontrol sosialnya.
Demikian pula keluarga yang tak berfungsi sebagai tempat menanamkan nilai-nilai agama, mempraktikkannya, dan membimbing keluarga untuk bertakwa.
Di atas semua itu, pihak yang paling bertanggung jawab adalah negara. Negaralah yang menerapkan sistem pendidikan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Kurikulum pendidikan sekuler memberi porsi yang amat sedikit bagi agama untuk diajarkan.
Sudah begitu, yang diajarkan pun sudah tercampur dengan pemikiran sekuler liberal yang menyimpang dari agama. Belum lagi tujuan pendidikan yang hanya fokus pada materi dan nilai, tetapi melupakan pembentukan karakter yang beriman dan bertakwa pada Sang Pencipta.
Hasilnya, agama dianggap tak penting. Agama tak dijadikan sebagai panduan hidup dan pengendali perilaku sehingga ketika ada masalah, nafsulah yang mengendalikan. Tak heran bila kemudian kekerasan menjadi jalan untuk menyelesaikan masalah.
Aksi peledakan ini bukan lagi kenakalan remaja biasa, tetapi sebuah kegagalan sistem pendidikan dalam membentuk karakter remaja. Kasus ini bukan masalah individu, tetapi cerminan rusaknya moral sosial akibat penerapan sistem pendidikan sekuler.
Karena itulah, sekularisme harusnya tidak terus dipertahankan. Saatnya sistem Islam yang mengatur kehidupan kita. Penerapan Islam menjadi solusi mendasar yang akan memberikan perbaikan menyeluruh dan mengatasi setiap permasalahan yang ada secara tuntas.
Mendidik anak diperlukan sinergi tiga pilar, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus berfungsi dengan baik sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang tangguh beriman.
Untuk itu, negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam. Dengan pendidikan berbasis akidah Islam, anak ditempa agar memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami. Pendidikan dalam Islam ditujukan untuk membentuk muslim yang bertakwa dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi bekal dalam menjalani kehidupan di dunia.
Pendidikan anak dimulai dari keluarga yang menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai Islam terus ditanamkan dalam pendidikan formal di sekolah.
Sekolah dan masyarakat menjadi tempat aplikasi nilai-nilai Islam yang telah diajarkan. Masyarakat juga menjadi pengontrol manakala muncul bibit penyimpangan.
Untuk menjamin setiap anak mendapatkan pendidikan, negara akan menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan. Negara juga akan menyediakan guru dan tenaga pengajar yang berkualitas.
Penyelenggaraan pendidikan yang gratis, tetapi berkualitas tersebut dapat terwujud karena negara memiliki anggaran yang cukup dari Baitulmal, yakni dari pos kepemilikan umum dan pos fai dan kharaj. Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, negara mengelola harta milik umum dengan baik sehingga mendapat pemasukan.
Peneyelenggaraan pendidikan juga didukung oleh media. Dalam Islam, media menjadi sarana edukasi, pembinaan akhlak, dan penyebaran dakwah. Karena itu, negara akan mengatur media.
Negara akan mendukung penuh media yang menumbuhkan keimanan, ketakwaan, dan kecintaan pada Islam. Konten-konten yang merusak moral, mengandung kekerasan, dan yang bertentangan dengan ajaran Islam akan dilarang.
Tidak kalah pentingnya adalah penerapan sistem hukum Islam. Negara akan menerapkan sanksi yang tegas kepada setiap pelanggaran syariat seperti halnya aksi kekerasan dengan meledakkan bom tanpa alasan syar’i. Ketegasan sistem sanksi Islam akan menciptakan rasa aman bagi semuanya.
Demikianlah Islam dalam menghentikan kekerasan di kalangan remaja. Hanya dengan Islam kaffah, lahirlah generasi tangguh, bertakwa, dan jauh dari kekerasan.
Oleh: Nurcahyani
Aktivis Muslimah

0 Komentar